Oleh: Setyo Puji Santoso
Ketua Panwascam Jebres, Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 telah resmi diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Rabu, 14 Februari 2024.
Keputusan terkait penyelenggaran Pemilu tersebut tertuang dalam Keputusan KPU RI Nomor 21 Tahun 2022.
Kepastian terkait waktu penyelenggaraan Pemilu Serentak tersebut tentu saja dinantikan banyak pihak, mengingat spekulasi yang muncul di tengah masyarakat sebelum keputusan itu keluar adalah adanya wacana mengenai perpanjangan masa jabatan presiden.
Namun yang menjadi pertanyaan mendasar selanjutnya adalah bagaimana pengawasan yang akan dilakukan agar Pemilu tahun 2024 berjalan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai amanat konstitusi?
Baca juga: Bawaslu, KPU dan DKPP akan Bertemu Bahas PKPU Keterwakilan Perempuan 30 Persen
Tentu saja pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh masyarakat sendiri dan lembaga penyelenggara Pemilu terutama institusi Pengawasan Pemilu dalam hal ini adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Sebab, di era digital saat ini tentu pengawasan Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu membutuhkan kerja keras dan tidak mudah.
Bagaimana tidak, potensi pelanggaran Pemilu kini tidak lagi hanya terjadi sebatas di ruang publik yang nyata.
Potensi pelanggaran juga terjadi di dunia maya, khususnya terkait dengan informasi bohong (hoaks) dan juga ujaran kebencian (hate speech).
Berbicara mengenai potensi hoaks dan hate speech di dunia maya, jika dikaitkan dengan Pemilu 2024 patut untuk menjadi perhatian serius karena dampaknya yang sangat luas dan mudah menyebar atau viral.
Berdasarkan data dari internetworldstats, disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2021 saja telah mencapai angka 212,35 juta jiwa.
Indonesia tercatat menempati urutan ketiga teratas pengguna internet di Benua Asia.
Urutan pertama ada China dengan 989,08 juta jiwa dan urutan kedua ditempati India dengan angka 755,82 juta jiwa.
Data yang sedikit berbeda disajikan oleh Hootsuite pada Januari 2021.
Hootsuite menyatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta jiwa.
Jumlah tersebut setara dengan 73,7 persen jumlah populasi di Indonesia.
Jumlah pengguna internet di Indonesia juga tercatat mengalami kenaikan selama satu tahun.
Kenaikan tersebut di angka lebih dari 27 juta jiwa atau setara lebih dari 15,5%.
Kemudian pengguna internet yang aktif di media sosial sebanyak 170.0 juta jiwa.
Banyaknya pengguna aktif internet terutama media sosial tersebut seharusnya menjadi tantangan tersendiri bagi pengawasan Pemilu.
Sebab, informasi yang akan didapat oleh masyarakat akan banyak diperoleh dari internet terkhusus media sosial.
Pada Pemilu 2019 misalnya, kita bisa melihat adanya pembelahan di masyarakat dengan sebutan cebong dan kampret.
Tentu hal itu tidak terlepas dari interaksi masyarakat, terutama antar pendukung pasangan calon yang abai dengan ketentuan hukum di media sosial sehingga merusak iklim demokrasi.
Berkaca dari pengalaman itu, Bawaslu sebagai institusi pengawasan Pemilu harus mampu hadir untuk dapat mengantisipasi potensi pelanggaran Pemilu di dunia maya.
Tujuannya agar masyarakat atau pengguna internet kita tidak terjerumus dan meyebarkan informasi hoaks dan hate speech yang dapat merusak iklim demokrasi di negara kita.
Baca juga: PKPU 10/2023 Berangus Pencalonan Perempuan, Aktivis Desak Bawaslu Kirim Rekomendasi ke KPU
Pencegahan dan Penindakan
Pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Karena pemimpin yang dihasilkan merupakan aspirasi dari mayoritas dari masyarakat.
Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut diperlukan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Langsung, umum, bebas, dan rahasia sebagai hak peserta Pemilu. Jujur dan adil merupakan tugas penyelenggara Pemilu.
Namun, semua itu hanya dapat terjadi jika ada strategi pencegahan yang efektif dan juga penegakan hukum yang tegas dari pengawas Pemilu.
Terkait dengan pencegahan, hal yang dapat dilakukan adalah perbaikan sumber daya manusia, khususnya mengenai literasi digital.
Literasi digital tidak hanya kepada pengawas Pemilu dan peserta Pemilu tapi juga masyarakat secara luas.
Mengingat interaksi masyarakat dewasa ini tidak hanya terjadi dalam ranah non-digital tapi juga ranah digital.
Dalam peningkatan literasi digital ini dapat dilakukan dengan adanya kerjasama yang baik antara pengawas pemilu, platform media sosial dan juga Kemenkominfo.
Sehingga paltform yang ditunjuk mempunyai instrumen untuk mencegah terjadinya hoaks dan hate speech atau sejenisnya.
Selain pencegahan, hal yang perlu dibenahi adalah terkait penegakan hukum. Sebab, jika kita melihat regulasi yang ada belum diatur secara spesifik mengenai penindakan pelanggaran atau kejahatan Pemilu dalam dunia Digital.
Regulasi yang digunakan selama ini untuk menjerat pelaku hoaks dan hate speech lebih banyak merujuk kepada KUHP dan UU ITE.
Sehingga bagi peserta Pemilu yang memanfaatkan jasa buzzer untuk menjatuhkan lawan politiknya melalui kampanye hitam di media sosial sulit untuk ditindak dengan hukum Pemilu.
Harusnya kepastian hukum atau regulasi tersebut menjadi perhatian untuk menghadirkan ketentuan hukum Pemilu yang lebih spesifik di ranah digital.
Sehingga bagi peserta Pemilu yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam kampanye hitam bisa dijerat sanksi pidana dan juga didiskualifikasi dari peserta Pemilu.
Mari kawal Pemilu 2024. Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu. (*)