Kehancuran Majapahit meninggalkan lima legasi agung: 1) "rumah besar" bernama Indonesia, 2) dwiwarna "Merah-Putih" dan berbagai ajaran adiluhung lainnya, 3) semboyan "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa", 4) lencana perang TNI AL, dan 5) simbol/ moto yang masih banyak digunakan di lingkungan pemerintahan/lembaga negara dan TNI/ Polri hingga kini.
Runtuhnya Majapahit dan implikasinya
Konstelasi geopolitik dunia akhir abad pertengahan diwarnai kompetisi tiga kekuatan utama (major power), yaitu Majapahit (selatan), Cina Yuan/ Ming (utara), dan Turki Utsmani (barat).
Ditopang kekuatan ekonomi dan militernya yang masif, kompetisi ketiga kekuatan berlangsung berabad-abad. Posisi geografis Majapahit yang berada tepat di jalur perlintasan strategis--Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Karimata, Selat Makassar--dan kaya akan rempah rempah membuat Majapahit menjadi incaran atau target penguasaan rival-rivalnya.
Sejak berdirinya tanggal 12 November 1293, Majapahit tidak pernah sepi dari intrik dan pergolakan. Pemicunya beragam dan kompleks, mulai konflik internal yang kerap berujung pemberontakan, suasana saling curiga akibat terbunuhnya Kertanegara hingga kekhawatiran serangan balas hegemon utara atas hancurnya Pasukan Tartar. Barulah memasuki masa
pemerintahan Tribuwanatunggadewi, seiring pula munculnya Gajah Mada ke panggung politik
nasional, perlahan Majapahit bangkit.
Dengan kepemimpinannya yang visioner ditopang pilar ekonominya yang kuat, armada Majapahit dibangun. Armada niaga diperbesar untuk menjamin perdagangan antarpulau/ 3 antarnegara terus berkembang. Armada militer diperkuat untuk memastikan jalur-jalur perdagangan bebas gangguan dan Majapahit tetap aman. Demikianlah seiring perjalanan waktu,
Majapahit makin besar dan kuat. Namun demikian konstelasi geografis Nusantara yang terdiri dari
ribuan pulau masih terserak.
Hingga tiba saatnya Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang menggemparkan "Sumpah Palapa" pada sesi pelantikannya sebagai Patih Amangku Bumi tahun 1336. Konon bumi bergetar dan langit bergermuruh ketika Gajah Mada mengucapkan sumpahnya di hadapan sang rani Tribuwanatunggadewi di panangkilan. Sejak itu kebangkitan Majapahit tak terbendung.
Pada puncak kejayaannya, pengaruh Majapahit terbentang luas dari pesisir Afrika Timur, Asia Tenggara hingga Samudra Pasifik Selatan. Indochina yang sejak era Kertanegara dirancang menjadi daerah pengaruh (vassal area)--semacam negara satelit--dipertahankan sebagai "buffer zone" untuk meredam agresivitas hegemon utara.
Mangkatnya Gajah Mada menyusul Hayam Wuruk 25 tahun kemudian membuat cahaya Majapahit terus meredup. Intrik dan pergolakan kembali marak. Terparah Perang Paregreg (1404-1406) yang bukan saja memudarkan aura kebesaran tetapi juga merontokkan seluruh sendi-sendi kehidupan. Mulailah berbagai anasir asing masuk. Hegemon barat dengan ekspedisi politiknya berlabel ajaran baru. Jawa menjadi target utama karena Jawalah center of gravity Nusantara.
Sementara "Nan Yang Connection" oleh hegemon utara dikamuflase layaknya safari budaya. Tahun 1478 Majapahit pun tamat. Habis terang datanglah gelap. Tamu-tamu lain yang tak diundang pun berdatangan. Berturut-turut: Portugis (1511), Spanyol (1521), Inggris (1579), Belanda (1596), dan Jepang (1942). Itulah periode paling kelam dan memalukan dalam lembaran sejarah Nusantara yang dampaknya masih sangat terasa. Bukti hancurnya Majapahit implikasinya
sangat luar biasa.
78 tahun Indonesia merdeka: harapan dan fakta Berdasar cakupan luasnya wilayah, besarnya pengaruh, dan karya-karya agung yang ditorehkan, periodisasi sejarah Nusantara dibagi tiga, yaitu era negara Nusantara I (Sriwijaya), Nusantara II (Majapahit), dan Nusantara III (NKRI). Kita patut berbangga karena Nusantara I dan Nusantara II pernah mengukir sejarah mencapai status negara adidaya pada zamannya. Sementara setengah milenium kemudian, dalam periode waktu yang sama, kita, anak cucunya, Nusantara III 4 masih berkutat pada persoalan seputar identitas dan jati diri--ideologi, toleransi, korupsi--tiada henti.
Persoalan klasik yang semestinya selesai akhir dekade 1950-an atau setelah program "Revolusi Mental" Sukarno digulirkan. Padahal Majapahit hanya butuh waktu relatif sama, yakni 75 tahun--merujuk masa pemerintahan Hayam Wuruk--untuk menggapai puncak kejayaan.
Artinya, ada yang salah dalam cara bangsa ini mengelola negara. Nah, setelah 78 tahun merdeka, inilah saat yang tepat bangsa Indonesia retrospeksi. Sebagai benchmark, berikut catatan kritisnya: masih menjadi negara terkorup di kelompok G-20 (Transparency International 2021), angka kemiskinan masih tinggi (BPS 2021), indeks daya saing sumber daya manusia masih rendah (World Economic Forum 2019), pengembangan riset dan inovasi masih tertinggal (Global Innovation Index 2020).
Benar, tanggal 17 Agustus 1945 tentara dan birokrat Belanda/ Jepang telah pergi. Sehingga secara fisik atau badan dikatakan bangsa Indonesia telah merdeka. Bagaimana dengan nonfisik atau jiwanya? Benarkah hati dan pikiran manusia Indonesia telah merdeka, terbebas dari belenggu dogma-dogma?
Hancurnya Majapahit juga memberi kita pelajaran sangat penting dan berharga. Bahwa sekuat dan sedigdaya apapun suatu negara bisa runtuh juga. Bukti persatuan sangat sentral dalam membangun kohesivitas bangsa demi tercapainya cita-cita bersama.