News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Analis Kebijakan Ekonomi Politik: Efektivitas Gugus Pencapaian Ekonomi Ganjarnomics

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi

Oleh: Rionanda Dhamma Putra

Analis Kebijakan Ekonomi Politik Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45)

TRIBUNNEWS.COM - Tahun 2023 adalah tahun pelaksana jabatan (Pj). Kekosongan pemimpin daerah karena pemilihan umum diisi oleh Pj yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengadministrasi pemerintahan daerah sampai pemimpin baru dilantik. Pada tahun ini, terdapat 170 kepala daerah yang diisi Pj (Radio Republik Indonesia, 2023). Salah satunya adalah posisi Gubernur Jawa Tengah (Jateng) yang ditinggalkan oleh Ganjar Pranowo setelah satu dekade berkuasa, berakhir tepatnya pada 5 September 2023.

Ketika jabatan kepala daerah diisi oleh Pj, kemungkinan besar pemerintahan daerah akan berjalan seperti pesawat dalam mode autopilot karena ketiadaan insentif politik. Terlebih lagi, tampuk Gubernur Jateng selama tahun 2013 hingga 2023 juga dipegang oleh PDI Perjuangan sebagai partai pengusung Presiden dan partai terbesar di DPRRI. Jadi, hampir tidak ada kemungkinan pelaksana jabatan akan memainkan tuas kendali.

Kita sudah sepakat bahwa sistem pemerintahan yang sudah dibangun oleh Ganjar Pranowo selama 10 tahun akan berjalan secara autopilot hingga pelantikan pejabat baru setelah Pemilihan Kepala Daerah pada bulan November tahun depan. Dengan kata lain, kerangka kebijakan sosial-ekonomi yang dihasilkan oleh proses politik yang dipimpin oleh Ganjar selama satu dekade terakhir, selanjutnya akan dipanggil sebagai Ganjarnomics, akan terus bergulir. Lantas, bagaimana efektivitas Ganjarnomics sebagai kerangka sistem yang sudah dibangun?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mendefinisikan Ganjarnomics. Istilah ini merujuk kepada tiga sasaran kebijakan yang dipegang oleh Ganjar Pranowo sebagai gubernur Jateng: Optimalisasi penerimaan pemerintah, digitalisasi pemerintahan, dan pemberantasan korupsi. Keberhasilan Ganjarnomics dalam mencapai ketiganya memerlukan evaluasi hasil pembangunan, yang kemudian akan dikupas pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.

Pertumbuhan Ekonomi Jateng di atas Rata-rata Nasional

Meneropong hasil pembangunan harus menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator pertama yang dievaluasi. Selama tahun 2013 hingga 2022, rata-rata pertumbuhan ekonomi Jateng adalah 4,29 persen per tahun, sedikit lebih unggul dibandingkan rata-rata nasional sebesar 4,27 persen per tahun. Perbedaan tersebut terjadi karena pertumbuhan Jateng mengungguli pertumbuhan nasional selama 2013 hingga 2019. Akan tetapi, pandemi COVID-19 memukul perekonomian Jateng lebih keras.

Pertumbuhan ekonomi Jateng mencapai -2,65 persen ketika PDB nasional hanya terpukul -2,07 persen. Kemudian, pemulihan ekonomi Jateng dengan nasional relatif setara selama 2021-2022.

Meski begitu, perlu diingat bahwa angka-angka di atas adalah hasil dari pandangan helikopter. Ada banyak dinamika yang tidak bisa diungkap oleh angka pertumbuhan ekonomi semata. Bisa saja angka pertumbuhan tinggi namun inflasi dan pengangguran juga tinggi. Lantas, bagaimana dengan Jateng?

Prestasi Jateng: Pro-pemerataan dan Anti-korupsi

Dalam dunia ekonomi-politik, kesengsaraan digambarkan dari angka inflasi yang ditambahkan dengan pengangguran. Inilah yang dirumuskan oleh Arthur Okun, ekonom Amerika Serikat, sebagai indeks kesengsaraan (Misery Index). Indikator inflasi menggambarkan penderitaan dari harga barang dan jasa yang meningkat, sementara pengangguran menggambarkan penderitaan dari ketiadaan pendapatan kerja. Ternyata, selama sepuluh tahun terakhir, indeks kesengsaraan Jateng lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, yakni sebesar 9,23 persen dibandingkan 9,7%. Capaian ini baru terpatahkan ketika COVID-19 usai.

Angka yang lebih rendah itu terjadi karena prestasi Jateng pada pengendalian inflasi dan menekan angka pengangguran. Rata-rata inflasi tahunan di Jateng selama 2013-2022 hanya mencapai 3,92% ketika inflasi nasional berada di level 4,16%. Rata-rata tingkat pengangguran terbuka di Jateng juga jauh lebih rendah pada periode yang sama, yakni 5,28% dibandingkan rata-rata nasional sebesar 5,53%. Dari sini, terlihat bahwa kontribusi rendahnya tingkat pengangguran lebih signifikan karena Jateng adalah salah satu provinsi primadona investasi di Indonesia dan porsi sektor manufaktur yang lebih tinggi.

Selama Ganjar menjadi gubernur, rata-rata kontribusi sektor manufaktur sebagai spons penyerap tenaga kerja juga mencapai 34,42% ketika dalam skala nasional hanya mencapai 21,18%. Hal ini terjadi seiring dengan pertumbuhan investasi asing di Jateng yang konsisten membalap pertumbuhan investasi nasional, kecuali pada tahun 2020. Rata-rata pertumbuhan nilai investasi asing langsung di Jateng mencapai 36,04% ketika pada level nasional hanya 7,3%. Lantas, mengapa pertumbuhan ini
terjadi?

Tidak hanya natur Jateng sebagai salah satu provinsi maju dengan posisi geostrategis penting yang memicu investor untuk datang, terdapat pula faktor aturan berbisnis yang jelas dan tegas. Kejelasan muncul karena gubernur sebagai kepala daerah berhasil mewujudkan sikap anti-korupsi. Keberhasilan itu dibuktikan oleh capaian Jateng sebagai provinsi paling anti-korupsi di Indonesia dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi sebesar 78,17 pada tahun 2022 (Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Jateng, 2023).

Efisiensi melalui Digital

Adanya perwujudan sikap anti-korupsi akan membuat publik lebih percaya kepada pemerintah sebagai administrator keadilan sosial, menaikkan kesediaan untuk membayar pajak. Pernyataan ini terbukti pada kasus Jateng dengan realisasi penerimaan pajak yang meningkat selama tahun 2016 hingga 2022 yang diiringi dengan pengurangan surplus APBD Jateng pada kurun waktu serupa. Meski begitu, adanya upaya digitalisasi perencanaan anggaran membuat Pemprov Jateng berhasil
melakukan efisiensi sebesar Rp1,2 triliun dan menaikkan realisasi belanja. Salah tiga program yang direalisasikan adalah pembangunan jamban, pengaliran listrik secara gratis, dan Kartu Jateng Sejahtera bagi penduduk miskin. Ketiganya memungkinkan Jateng untuk mengangkat 1.093.200 penduduk miskin keluar dari jerat kemiskinan. Akan tetapi, capaian ini percuma jika kedalaman kemiskinan sebagai ukuran perbedaan rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan malah melebar. Ternyata tidak sama sekali.

Selama 2013 hingga 2023, Jateng berhasil menekan indeks kedalaman kemiskinan (P1) lebih cepat dari rata-rata nasional dari 2,21 menjadi 1,75. Bahkan, angkanya sempat lebih rendah dari capaian nasional pada tahun 2019 dengan 1,53 dibandingkan 1,55. Kunci keberhasilan ini adalah penurunan kedalaman kemiskinan yang pesat di pedesaan, dari 2,38 menjadi 1,83. Penduduk desa-desa di Jateng yang sebelumnya lebih sukar untuk keluar dari kemiskinan pada tahun 2013 menjadi lebih mudah dibandingkan level nasional sejak tahun 2018 hingga 2023.

Terakhir, ketimpangan pendapatan orang kaya dan miskin di Jateng selama tahun 2013-2023, diukur dari indeks Gini lebih rendah dibandingkan tingkat nasional. Ratarata Jateng hanya 0,37, dibandingkan dengan 0,39 pada level nasional. Capaian ini dimungkinkan oleh penurunan indeks Gini yang lebih pesat di Jateng dibandingkan rata-rata nasional selama era 2013-2019. Hadirnya COVID-19 kembali menaikkan indeks Gini, namun levelnya masih konsisten di bawah rata-rata nasional.

Jadi, Apakah Ganjarnomics Berhasil?

Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi semata, maka Ganjarnomics bukan trisula yang impresif. Ketajaman Ganjarnomics baru terlihat ketika kita menilik data yang terkait dengan kesejahteraan. Tiga sasaran Ganjarnomics berhasil dalam gugus pencapaian mengurangi penderitaan rakyat secara makro dan menekan kemiskinan ketimpangan secara mikro. Artinya, hasil pembangunan dinikmati oleh rakyat kebanyakan dan tidak hanya segelintir elite. Inilah contoh pembangunan inklusif yang layak diteruskan, bahkan dinaikkan skalanya menuju level nasional.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini