OLEH: M. Nigara
SEPERTI gelegar petir di terik matahari, dunia sepakbola nasional dikejutkan dengan Terbongkarnya Kasus _match fixing, oleh Satgas Antimafia Bola Polri, pekan lalu. Beberapa orang lalu ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus match fixing dalam dunia sepakbola memang bukan barang baru. Bahkan, kasus atur-mengatur skor juga tidak hanya terjadi di sepakbola lokal. Liga-liga Eropa pun tak luput dari kasus itu.
Yang paling menonjol adalah kasus Juventus dan Luciano Moggi , salah seorang direksinya disanksi karena terbukti bersalah. Moggi, terbukti mengatur wasit untuk memenangkan Klub berjuluk si-Nyonya Besar merebut juara serie-A. Tak heran, Juve akhirnya menjadi juara 2006. Bahkan gelar 2004-2005 pun ditanggalkan.
Namun, setelah terbukti, Juventus dipotong 30 poinnya, gelarnya dicopot, dan turun ke serie-B. Bukan hanya Juve, FIGC, Federasi sepakbola Italia, juga menghukum empat klub: Fiorentina, Lazio, AC Milan, dan Reggina. Walaupun tidak sesial Juve, keempatnya tetap tercatat telah ikut terlibat kasus yang dikenal di Italia_Calciopoli. Memalukan.
Di Inggris pun pernah terjadi. Beberapa klub papan atas ikut terlibat. Bahkan tim nasional Jerman pernah juga dituding masuk dalam skandal main-mata saat menang 1-0 atas Austrua. Hasil itu sudah cukup untuk menyingkirkan Aljazair di fase grup Puala Dunia 1982, Soanyol.
Bahkan bintang setenar Paolo Rossi, sempat dihukum karena terbukti terkena suap. Namun pelatih nasional Italia, Enzo Bearzot , memaksa FIGC untuk mengampuni Rossi karena ia membutuhkannya.
Setelah melalui perdebatan panjang, permibtaan sang pelatih dipenuhi. Rossi pun tidak menyia-nyiakannya. Ia menjadi the best player dan Top skorer dengan enam gol, membawa Italia menjadi juara dunua, 1982.
Puncak 1982-86
Atur-mengatur hasil pertandingan di sepakbola nasional dimulai 1960. Indonesia, saat itu menjadi negara yang sepakbolanya sangat diperhitungkan. Sukses menahan Uni Soviet di Olimpiade Merlbourne 1956, 0-0 dan kalah 0-4 di laga play off, serta memperoleh medali perunggu Asian Games ke-3, 1958 di Tokyo, menjadikan tim nas kita sangat diperhitungkan.
Untuk itu, permintaan Bung Karno, agar tim nas kita sedikitnya meraih perak di AG-4, Jakarta, tidak berlebihan. Tapi, sayang, tim nas terpaksa dibubarkan oleh Ketum PSSI, Abdul Wahab Djojohadikoesoemo (1960-64), atas permintaan Tony Pogacnik, pelatih nasional asal Yugoslavia.
Pembubaran tim dilakukan setelah Kolonel TNI AD, Maulie Sailan atas perintah Presiden melakukan penyelidukan dan penyidikan. Hasilnya hampir semua pemain terlibat. Betul mereka mengatur skor, tapi, bukan, bukan untuk kalah. Mereka mengatur skor sesuai permintaan bandar.
Hasilnya, tim nas tetap menang, tetapi skornya yang menentukan bandar. Itu saja, mereka dihukum seumur hidup tidak boleh lagi menjadi pemain nasional.
Suap atau Match Fixing memasuki puncak di sepakbola nasional antara 1980-86. Saat itu Galatama, kompetisi tertinggi di tanah air dan di Asia. Jepang dan Korsel saja baru memiliki kompetisi nasional setelah 1986. Mereka memadukan apa yang ada di sepakbola nasional, diperbaiki dan ditingkatkan.
Hasilnya, sejak 1986 hingga Piala Dunia 2022, Korsel tak pernah absen, sementara Jepang ikut dalam beberapa PD. Kita... duh, jauh mimpi dari mimpi.