1. Pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya mengatur kedudukan Polri dibawah Presiden, tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Polri langsung kepada Presiden dan juga tidak mengatur fungsi koordinasi Polri kepada Lembaga lain dalam menjalankan tugasnya.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur tentang kedudukan Polri dibawah Presiden, Mengatur pertanggungjawaban Polri dalam melaksanakan tugasnya langsung kepada Presiden, dan juga mengatur mengenai koordinasi Polri dalam pelaksanaan tugasnya kepada Lembaga negara lainnya (Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yustisial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum).
3. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia hanya mengatur kedudukan Polri dibawah Presiden dan Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas kepada Presiden. Sedangkan kewajiban berkoordinasi dengan Lembaga Negara lain (Kejaksaan Agung dan Kementerian Dalam Negeri) dalam pelaksanaan urusanya ditiadakan.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan ketiga Peraturan tersebut diatas, maka terlihat jelas bahwa lahirnya UU Kepolisian tahun 2002 menjadi tonggak awal lahirnya Polri yang memiliki kedudukan langsung dibawah Presiden dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnyapun langsung kepada Presiden serta tidak lagi ada ketentuan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung maupun Kementerian dalam Negeri dalam pelaksanaan urusannya.
Dengan demikian, UU Kepolisian menjadi dasar Polri sebagai institusi atau Alat Negara yang mandiri dengan fungsi dan kewenangan yang sangat besar.
Menempatkan Polri Langsung dibawah Presiden dan menjadikan Polri sebagai Institusi yang mandiri dalam UU Kepolisian tentunya diiringi dengan harapan agar Polri dapat membangun citra diri sebagai polisi negara yang juga berarti polisi rakyat, maka tentunya Polri harus dapat memeposisikan diri pada posisi yang tidak memungkinkan keberpihakan selain keberpihakan kepada hukum dan rakyat.
Pada tataran operasional teraktualisasi dalam bentuk kedekatan Polri dengan masyarakatnya, yang pada akhirnya Polri mampu mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat melebihi institusi negara lainnya.
Selain itu, Polri juga harus menyadari adanya kenyataan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) POLRI yang terbatas tidak mungkin mampu mengamankan masyarakatnya yang demikian besar jumlahnya maka oleh karena itu Polri membutuhkan partisipasi masyarakat. Agar tercipta partisipasi masyarakat tersebut maka Polri terlebih dahulu harus dipercayai dan dicintai oleh masyarakat.
Akan tetapi, walaupun sudah 20 Tahun menjadi Institusi yang mandiri dan memiliki kekuasaan serta kewenangan yang sangat besar Polri belum mampu untuk menjadi Institusi seperti apa yang dicita-citakan pada saat merumuskan UU Kepolisian.
Akhir-akhir ini Polri menjadi institusi yang paling rendah mendapatkan kepercayaan masyarakat terutama berkaitan dengan penegakan hukum, perlindungan HAM, dan etika Sumber Daya Manusia (SDM) anggota Polri.
Bahkan terkadang Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat tetapi cenderung pelindung kekuasaan, pelindung kejahatan, pelaku kejahatan serta diduga ikut dalam politik praktis yang diharamkan bagi Polri.
Pada hari ini Polri kembali kembali tercoreng dengan kasus yang sangat amat memalukan bangsa dan negara, tidak hanya kepada rakyat tetapi juga kepada negara Internasional, yaitu kasus pembunuhan berencana yang diduga dilakukan oleh seorang Pejabat Tinggi Polri beserta isteri dan para ajudannya kepada salah satu ajudannya pula.
Dalam kasus ini bagaimana dipertontokan buruknya ahlak seorang oknum Jenderal (FS) dengan jabatan Kepala Divisi Propam yang merupakan intitusi internal Polri yang bertugas menjaga nama baik Polri dan bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal.
Dalam hal ini termasuk ketertiban di lingkungan Polri, penegakan disiplin, dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggota Polri. Rakyat Indonesia tidak hanya dipertontokan sikap kejam dan pelanggar HAM, tetapi juga sifat yang munafik (pembohong) dengan membuat scenario palsu dan tidak bertanggungjawab.