TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Pembunuhan massal yang terus dilakukan pasukan Israel terhadap target sipil di Jalur Gaza belum juga terhentikan.
Semua bentuk pelanggaran hukum perang telah dilakukan Israel. PBB masih gagal menghentikan ‘genosida’ yang menimpa rakyat Palestina.
Peristiwa terbaru adalah pengeboman kamp sipil warga Palestina di Jabaliya, Selasa (31/10/2023). Lusinan orang, kebanyakan anak-anak dan qanita, tewas. Ratusan orang lain luka-luka.
Militer Israel beralasan pengeboman menargetkan target Hamas yang bersembunyi di antara warga sipil di Jabaliya. Empat bom menghancurkan gedung-gedung bertingkat di kamp tersebut.
Sementara itu kampanye -pengusiran warga dari wilayah utara Gaza terus berlanjut. Rumah sakit terbesar Al Shifa juga jadi target serangan militer Israel.
Militer Israel menyatakan Hamas menjadikan ruangan bawah tanah di komplek RS Al Shifa sebagai pangkalan komando mereka.
Namun Israel tidak menyertakan bukti-bukti kuat, selain ilustrasi grafis yang seolah meneguhkan klaim mereka.
Baca juga: Amerika Serikat dalam Pusaran Konflik Tak Berkesudahan di Dunia
Baca juga: Memori Tragedi Sabra Shatila dan Genosida di Jalur Gaza
Baca juga: Siapa Bisa Cegah Eksodus dari Jalur Gaza?
Sejak 7 Oktober 2023, dipicu serangan kilat Hamas menerobos perbatasan yang menewaskan 1.400 warga Israel, operasi pembalasan besar-besaran disiapkan.
Mobilisasi 360.000 tentara cadangan Israel dilakukan secara cepat. Mesin-mesin tempur dikerahkan ke perbatasan Gaza. Enklave Palestina itu dikepung rapat.
Pemimpin Israel menyatakan perang, dan operasi darat habis-habisan akan dilakukan guna memusnahkan Hamas selamanya dari Gaza.
Pertanyaannya sekarang, mampukah Israel memusnahkan Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah atau Hamas selamanya dari Palestina?
Dalam khasanah studi militer dikenal istilah perang asimetris atau asymmetric warfare. Ini adalah jenis peperangan baru, selain proxy war (perang boneka) dan hybrid war (perang kombinasi).
Dulu orang mungkin hanya mengenal conventional war atau perang klasik. Sesudah perang dingin barat dan timur berakhir, muncul jenis-jenis peperangan baru seiring perkembangan teknologi.
Lantas perang Israel melawan Hamas dan penduduk Palestina kira-kira masuk jenis perang apa? Apakah perang proksi, perang hibrid, atau perang asimetris?
US Army War College mendefinisikan perang asimetris sebagai konflik di mana dua pihak yang bertikai berbeda sumber daya inti dan perjuangannya, cara berinteraksi dan upaya untuk saling mengeksploitasi karakteristik kelemahan-kelemahan lawannya.
Perjuangan tersebut sering berhubungan dengan strategi dan taktik perang unconvensional.
Pihak yang lebih lemah berupaya untuk menggunakan strategi dalam rangka mengimbangi kekurangan yang dimiliki dalam hal kualitas atau kuantitas.
Dari definisi ini, konflik bersenjata di Palestina lebih tepat masuk jenis peperangan asimetris. Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan kelompok-kelompok bersenjata lain yang lebih kecil bertarung melawan musuh yang jauh lebih besar dan kuat.
Bahwa mungkin Hamas ada koneksi dengan pihak lain, misal dihubungkan dengan Iran, tidak bisa disebut sebagai proksi Iran, mengingat tujuan perjuangan mereka memerdekakan Palestina.
Contoh perang proksi atau perang boneka bisa dilihat dalam konflik Rusia-Ukraina, atau konflik bersenjata di Suriah.
Konflik di Palestina tidak dimulai sejak 7 Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan mematikan ke Israel. Ini adalah konflik panjang yang dimulai bahkan sejak tujuh dekade lalu.
Sebelum kemunculan Hamas, rakyat Palestina telah bertempur melawan Israel lewat kelompok Fatah, PLPP, dan organ-organ lebih kecil lainnya yang memiliki kemampuan bertempur.
Alhasil, konflik yang terjadi adalah pertempuran antara organisasi militer Israel melawan kelompok-kelompok bersenjata.
Pada praktik dan sejarah modern peperangan, maka belum pernah ada tentara reguler yang berhasil mengalahkan organisasi dan faksi bersenjata.
Militer AS yang dibantu sekutu-sekutunya, tidak berhasil mengalahkan Taliban setelah 20 tahun memerangi Taliban dan menduduki Afghanistan.
Demikian pula, Al-Qaeda tidak dikalahkan, meskipun Osama bin Laden dan Ayman Al-Zawahiri telah ditewaskan. Begitu pula dengan ISIS atau Daesh.
Meski amir organisasi itu, Abu Bakr Al-Baghdadi, terbunuh, kelompok itu tetap eksis di sejumlah tempat dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Mengapa bisa terjadi? Eksistensi organisasi politik militer ini umumnya lahir dan besar karena faktor ideologis dan politik. Cita-cita dasar mereka membuat organisasi seperti ini tidak bisa dimusnahkan.
Hamas ingin memerdekakan Palestina lewat cara non-negosiasi dan melalui pertempuran. Fatah, juga ingin memerdekakan Palestina lewat diplomasi bertahap, dan perjuangan negosiasi.
Motif itu sama dengan keinginan semua penduduk Palestina, yang ingin merdeka dan berdaulat atas tanah airnya sendiri.
Oleh karena itu perjuangan Hamas, Fatah dan berbagai kelompok lain mendapat tempat di hati rakyat Palestina. Mereka menyatu sebagai bangsa, meski berbeda-beda cara yang ditempuhnya.
Kematian 8.000 penduduk Palestina sebagai akibat pembalasan membabibuta Israel atas serangan 7 Oktober 2023, benar sebuah bencana kemanusiaan.
Tapi bagi sebuah bangsa yang ingin merdeka, mereka adalah para martir yang hanya akan memompa perlawanan dan kebencian terhadap pasukan pendudukan Israel.
Sejarah telah membuktikan dalam perang asimetris, gerakan perlawanan di berbagai tempat tidak mampu dikalahkan bahkan oleh negara adidaya yang puluhan kali lebih kuat dari Israel.
Bangsa Indonesia sebelum merdeka, juga terserak di berbagai organisasi perlawanan bersenjata. Kekuatan mereka jauh lebih lemah dibanding kolonialis.
Jalan yang ditempuh dikenal sebagai perang semesta. Perang di mana organisasi bersenjata maupun kekuatan militer terorganisasi, bahu membahu bersama rakyat sipil untuk melawan musuh.
Meski wilayah adminstrasi Otoritas Palestina, Jalur Gaza beberapa waktu terakhir dikontrol Hamas, setelah mendominasi pemilihan, dan mengalahkan kelompok Fatah.
Kemenangan Hamas di Gaza menunjukkan dukungan kuat dari penduduk Palestina di enklave tersebut. Mereka tidak bisa lagi dipisahkan dari warga sipil Palestina.
Dalam konteks inilah, jika Israel bertekad memusnahkan Hamas, ini sesuatu yang mustahil. Melemahkan mungkin bisa, tapi menghapus Hamas dari Palestina sama saja menghapus penduduk Palestina.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)