TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Aparat keamanan Rusia telah menangkap dan menggelar sidang awal empat warga Tajikistan.
Empat pria itu disangka pelaku pembunuhan massal di Crocus City Hall, Krasnogorsk, Moskow, lokasi pentas musik grup band Picnic dari St Petersburg.
Sekurangnya 138 orang tewas akibat penembakan membabibuta, sebagian lain terjebak di dalam gedung saat api membakar ruang utama pertunjukan.
Ada 11 orang lain yang turut ditangkap tiga di antaranya sekeluarga terdiri ayah dan dua anaknya. Ketiganya warga asal Tajikistan yang bermukim di Rusia.
Kelompok ISIS-Khorasan, mengklaim ada di belakang serangan ini. Kelompok ini menyatakan diri eksis di Asia Tengah hingga Afghanistan-Pakistan.
Baca juga: Rusia Curiga, AS Langsung Klaim Pelaku Teror Crocus adalah ISIS Tanpa Tunggu Pengadilan
Baca juga: Serbuan ke Crocus City Hall Moskow, Faktor AS, Ukraina, dan False Flag ISIS
Situs Amaq, yang biasa jadi saluran propaganda ISIS, memposting video saat empat warga Tajik beraksi.
Video itu direkam oleh para pelaku saat menyerbu Crocus City Hall. Klaim mereka, serbuan ke Crocus City Hall adalah perang mereka melawan Rusia.
Pernyataan ISIS-K langsung digelembungkan elite barat dan media arus utama di AS dan Eropa. Gedung Putih turut menarasikan ISIS ada di balik teror Crocus City Hall.
Washington dan juga Uni Eropa menepis peran keterlibatan Kiev pada aksi ini. Bantahan yang bertentangan dengan keyakinan Moskow.
Sekali lagi, polemik tentang siapa di belakang aksi empat warga Tajik dan jaringan pelaku di Rusia ini terus berlanjut.
Pertanyaan pentingnya, benarkah aksi pembunuhan massal di Crocus City Hall ini khas gaya ISIS?
Kelompok ISIS mulai dikenali dunia ketika Abu Bakr Al Baghdady mendeklarasikan kekhalifahan Islam yang dipimpinnya di sebuah masjid di Mosul, Irak.
Sejak itu gelombang teror ISIS meluas. Warga dari berbagai negara berbondong-bondong datang ke Irak dan Suriah karena daya Tarik yang ditawarkan ISIS.
Kota Mosul jatuh ke tangan ISIS, lalu mereka bergerak menyeberang ke Suriah, dan merebut kota Raqqa di bagian utara Suriah.
Aksi penculikan dan eksekusi brutal dipropagandakan ISIS, termasuk upaya mereka memusnahkan etnis Yazidi di Irak utara dan minoritas di Suriah.
Kelompok ISIS muncul secara cepat sebagai kekuatan bersenjata yang ditakuti, bahkan oleh kelompok-kelompok bersenjata Islam lain di Irak dan Suriah.
Setelah bertahun-tahun eksis, pasukan Irak yang dibantu milisi dukungan Iran, mengalahkan ISIS. Suriah yang dibantu Rusia juga perlahan menyingkirkan kelompok itu.
Sementara AS dan sekutunya, tetap mengklaim perangnya melawan ISIS baik di Irak maupun Suriah. Washington menyatakan Abu Bakr Al Bahdady mereka tewaskan di Suriah utara lewat serangan khusus.
Seperti halnya Osama bin Laden, klaim kematian Abu Bakr Al Bahdady itu tidak pernah disertai ekpos bukti-bukti kongkretnya.
Satu hal yang secara khusus ditunjukkan ISIS, sepanjang eksistensinya di Irak dan Suriah, mereka benar-benar hanya menunjukkan perlawanan ke pemerintah Baghdad maupun Damaskus.
Tidak pernah sekalipun kelompok ISIS mengagendakan perlawanan ke Israel, negara yang jadi musuh utama Islam. Bahkan, belum pernah ada aksi nyata ISIS melawan Israel.
Ini memperlihatkan, ISIS ini kelompok yang kemunculannya dirancang oleh kekuatan-kekuatan intelijen memanfaatkan sentiment agama.
Kemanfaatan kelompok ini bagi mereka adalah destabilisasi wilayah, yang situasinya bisa menguntungkan negara-negara sponsor.
Kembali ke tragedi Crocus City Hall, secara mendasar tampak ada perbedaan signifikan dengan gaya ISIS di Timur Tengah, Afghanistan, maupun ketika mereka beraksi di Eropa barat.
Pada November 2015, sekelompok pria bersenjata menebar kengerian ketika mereka masuk ke Teater Bataclan di Paris, tempat konser band AS Eagles of Death Metal sedang berlangsung.
ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejahatan tersebut, yang menyebabkan 89 orang tewas.
Pada tahun-tahun tersebut, ISIS menjadi semakin aktif di seluruh dunia – namun hal ini sebenarnya merupakan tanda kemunduran ISIS.
Pada masa kejayaannya, ISIS tidak mendesak para pendukungnya untuk melakukan serangan teroris, melainkan meminta mereka untuk “memenuhi hijrah” – yakni pindah ke wilayah yang dikuasai organisasi tersebut.
Lebih dari 10 tahun lalu, hal ini cukup mudah dilakukan, karena sebagian perbatasan Suriah dengan Turki dikuasai oleh para jihadis, sehingga memungkinkan orang untuk dengan bebas melintasinya dan bergabung dengan barisan mereka.
Namun, ketika para teroris kehilangan sebagian besar wilayahnya, retorika mereka berubah.
Melalui sumber informasinya, ISIS mendesak pengikutnya untuk melakukan aksi teroris di tempat mereka tinggal.
Hal ini menyebabkan peningkatan kekerasan di Eropa: gelombang teror melanda Perancis, Belgia, Jerman, Inggris, dan negara-negara lain. Di Rusia, Kaukasus Utara menjadi titik ketegangan.
Strateginya sederhana – siapa pun yang mendukung para jihadis, di mana pun mereka tinggal, dapat merekam video yang berisi sumpah setia kepada “khalifah”, mengirimkannya melalui bot umpan balik otomatis, dan kemudian melakukan tindakan teroris.
Seringkali hanya pelaku saja yang meninggal, namun bagi ISIS, hal ini tidak menjadi masalah – mereka hanya peduli jika disebutkan dalam kaitannya dengan aktivitas teroris.
Itulah sebabnya organisasi tersebut terkadang mengambil tanggung jawab atas kejahatan yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Namun, serangan teroris di Krasnogorsk tidak sesuai dengan strategi lugas yang biasa diterapkan ISIS.
Faktanya, pemilihan konser rock sebagai lokasi serangan teroris hampir menjadi satu-satunya kesamaan antara serangan ini dan aksi teror lain yang dilakukannya.
Lantas adakah kejadian-kejadian yang mendahului peristiwa Crocus Cit Hall?
Empat orang Tajikistan yang sebelumnya tidak saling kenal direkrut untuk melakukan serangan teroris.
Salah satunya, Shamsidin Fariduni, berada di Turki selama Februari, dan dari sana dia terbang ke Rusia pada 4 Maret.
Dia menghabiskan setidaknya 10 hari di Turki, dan penyelidik saat ini sedang menentukan dengan siapa dia berkomunikasi selama di sana.
Menurut informasi tidak resmi, dia bertemu dengan seorang “pengkhotbah Islam” di Istanbul.
Namun, diketahui juga para teroris tersebut berkorespondensi dengan sang “asisten pengkhotbah.”
Menurut Fariduni, orang yang tidak disebutkan namanya itu mensponsori dan mengorganisir serangan teroris tersebut.
Beberapa hari setiba di Moskow, Fariduni mengunjungi Balai Kota Crocus pada 7 Maret untuk melihat lokasi target kejahatan.
Dari sini dapat disimpulkan serangan itu akan terjadi segera setelah kedatangannya dari Turki.
Pada hari yang sama, Kedutaan Besar AS di Rusia memperingatkan warganya untuk menghindari kerumunan besar “selama 48 jam ke depan” karena kemungkinan serangan oleh ekstremis.
Konser pada 7 Maret itu menjadwalkan pentas penyanyi Shaman yang terkenal karena sikap patriotism Rusianya.
Namun konsernya pada Sabtu, 9 Maret berlalu tanpa insiden. Pada hari-hari berikutnya, ada pertunjukan lain di tempat tersebut, namun rupanya para teroris terpaksa menyesuaikan rencana mereka.
Alhasil, mereka memilih konser band Picnic yang dijadwalkan pada 22 Maret.
Meski tak sepopuler Shaman, band ini juga terkenal dengan sikap patriotiknya dan menyumbangkan dana untuk kebutuhan Angkatan Bersenjata Rusia di Ukraina.
Apa yang terjadi setelahnya
Ternyata tak satu pun dari para teroris yang bersekongkol untuk ‘memimpikan bertemu para bidadari di surga,” seperti yang biasa dilakukan ISIS tulen.
Setelah membunuhi warga sipil di Balai Kota Crocus dan membakar gedung, mereka tidak bertahan dan melawan pasukan khusus yang tiba di lokasi kejadian.
Mereka membaur bersama pengunjung, menggunakan mobil dan melarikan diri dari Moskow.
Mereka juga tidak mengenakan “sabuk bunuh diri” – ciri khas pengikut ISIS yang siap mati setelah melakukan kejahatan.
Hal lain yang tidak biasa bagi ISIS adalah mereka mengaku mencari imbalan uang yang dijanjikan kepada para teroris.
Pembayaran seharusnya dilakukan dalam dua kali angsuran – sebelum dan sesudah serangan. Para teroris telah menerima pembayaran pertama sebesar 250.000 rubel ($2.700).
Detail terpenting adalah area di mana para teroris itu ditemukan dan ditangkap. Kamera lalu lintas di berbagai lokasi memungkinkan petugas intelijen bergerak cepat, memantau dan menemukan mereka.
Mereka akhirnya ditahan di jalan raya federal M-3 Ukraina – sebuah rute yang digunakan untuk menghubungkan Rusia dan Ukraina.
Tapi jalan ini praktis menurun fungsinya sejak pecah konflik di Donbass pada tahun 2014, dan khususnya setelah dimulainya operasi militer Rusia pada 2022.
Para teroris ditahan setelah melewati belokan rute A240 yang mengarah ke Belarus. Pada saat itu, menjadi jelas hanya ada satu tempat yang bisa mereka tuju: Ukraina.
Terlepas dari kenyataan para teroris bersenjata, hanya satu dari mereka, Mukhammadsobir Fayzov, yang melakukan perlawanan.
Semua teroris ditahan hidup-hidup, yang kemungkinan besar merupakan perintah yang diberikan kepada pasukan keamanan yang terlibat dalam operasi tersebut.
Selain itu, mereka tahu ke mana harus pergi untuk menyelamatkan hidup mereka: ke perbatasan Ukraina.
Kemudian, dalam pidatonya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan “jendela” untuk penyelamatan para teroris itu telah dibuka dari sisi Ukraina.
Hal ini juga tidak lazim bagi ISIS, karena seseorang yang melakukan aksi teroris, terutama orang luar, selalu dianggap “sekali pakai”.
Bahkan jika dia berhasil keluar hidup-hidup, tidak ada yang akan membantunya. Selain itu, pada tahun-tahun sebelumnya, ISIS biasanya tidak bertanggung jawab atas serangan jika pelakunya masih hidup, karena hal ini dapat merugikan dirinya selama penyelidikan.
Namun, belakangan organisasi tersebut tidak lagi mempedulikan hal ini karena keadaan menyedihkan yang dialaminya.
Semua ini disebabkan oleh fakta dibandingkan dengan serangan lain yang dilakukan oleh ISIS dalam beberapa tahun terakhir, serangan ini sangat berbeda dalam hal tingkat persiapan, perencanaan rinci, dan kompensasi finansial.
Lantas apa hubungannya Ukraina terkait hal itu?
Sejak 2015, Dinas Keamanan Ukraina mencoba merekrut kelompok Islam radikal dengan tujuan melakukan sabotase, serangan teroris, dan lain-lain di wilayah Rusia.
Badan intelijen Ukraina juga aktif di antara para teroris di Suriah. Kerja sama ini ditandai secara khusus dengan kedatangan teroris Chechnya Rustam Azhiev di Ukraina.
Ia bertugas di Legiun Internasional yang dikendalikan oleh Direktorat Utama Intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina.
Azhiev berpartisipasi dalam kampanye bersenjata Chechnya fase kedua melawan Angkatan Bersenjata Rusia. Setelah kalah, ia melarikan diri ke Turki.
Pada 2011, ia pindah ke Suriah, memimpin kelompok teroris Ajnad Al-Kavkaz.
Di bawah komandonya, para militan berpartisipasi dalam permusuhan melawan Angkatan Bersenjata Suriah dan terkenal karena serangan teroris yang ditujukan terhadap warga sipil.
Azhiev beroperasi berdampingan dengan kelompok-kelompok yang diakui sebagai organisasi teroris tidak hanya di AS, , tetapi juga di seluruh dunia.
Sekutu utama Ajnad Al-Kavkaz adalah Jabhat Al-Nusra di Suriah. Seiring waktu, Angkatan Bersenjata Rusia dan Angkatan Bersenjata Suriah membebaskan wilayah dari teroris dan secara signifikan mengurangi basis pasokan mereka.
Akibatnya, Azhiev dan rekan-rekannya terlibat dalam pembunuhan kontrak, pemerasan, penyiksaan, dan pemerasan.
Pada 2019, Azhiev bahkan sempat meminta maaf secara terbuka atas tindakan rekannya yang menculik orang yang salah.
Para teroris telah “menganggur” selama beberapa tahun ketika pada 2022, Azhiev dan rekan-rekannya didekati badan intelijen Ukraina melalui perantara temannya, Akhmed Zakayev.
Azhiev dan rekan-rekannya mengambil bagian dalam operasi tempur melawan Angkatan Bersenjata Rusia dan sebagai hadiahnya, Azhiev diberi paspor Ukraina.
Pada 2024, dipimpin oleh Azhiev, para teroris berpartisipasi dalam serangan terhadap pemukiman perbatasan di Belgorod.
Dalam sebuah video, Azhiev secara terbuka mengakui tujuan operasi tersebut adalah untuk mengacaukan situasi di Rusia sebelum dan selama pemilihan presiden.
Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa serangan berhenti tepat setelah pemilu.
Setelah serangan teroris di Balai Kota Crocus, surat kabar Austria Heute menemukan hubungan lain antara Ukraina dan kelompok radikal lain.
Menurut publikasi tersebut, yang mengutip informasi dari badan intelijen, banyak tersangka teroris memasuki UE dari Ukraina.
Misalnya, pada Desember 2023, seorang warga negara Tajikistan dan istrinya serta seorang kaki tangannya ditahan di Wina.
Mereka sedang mempersiapkan serangan terhadap Katedral St. Stephen. Pasangan itu datang ke UE dari Ukraina pada Februari 2022.
Ukraina kini adalah tempat tinggal tidak hanya bagi banyak teroris, tetapi juga bagi administrator ISIS dan mereka yang bersimpati dengan para teroris.
Beberapa dari orang-orang ini secara aktif terlibat dalam penggalangan dana bagi pejuang ISIS yang dipenjara di Suriah dan Irak.
Sebagian dari uang ini digunakan untuk membeli makanan dan obat-obatan. Namun sering kali, dana tersebut dihabiskan untuk membeli senjata untuk melakukan serangan di dalam penjara, dan untuk menyuap penjaga.
Karena beberapa teroris secara resmi “dipekerjakan” di Kementerian Pertahanan Ukraina dan yang lainnya bekerja di Dinas Keamanan Ukraina, mereka dapat mendorong majikan mereka untuk mengatur serangan teroris atau melakukannya sendiri, tanpa berkonsultasi secara formal dengan pihak berwenang.
Saat ini, salah satu versinya adalah seorang pegawai badan intelijen Ukraina mungkin bersembunyi dengan menyamar sebagai “asisten pengkhotbah.”
Terlebih lagi, Kiev memiliki pengalaman sebelumnya melakukan aksi teroris di wilayah Rusia, seperti kasus pembunuhan Daria Dugina, maupun eksekusi jurnalis Vladlen Tatarsky.
Menggunakan kelompok radikal, seperti pengikut ISIS, sejalan dengan strategi Ukraina, yang bertujuan menimbulkan kerusakan maksimal pada Rusia dan penduduknya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)