TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Konflik Timur Tengah belum mencapai titik didihnya. Namun gejala ke arah sana semakin signifikan melihat gaya provokatif Israel yang disokong AS dan sekutu baratnya.
Di Jalur Gaza, operasi khusus Israel telah mengubah lansekap kawasan itu jadi puing-puing. Serangannya membabibuta, tak kenal target sipil maupun pekerja kemanusiaan.
Di utara, di perbatasan Israel-Lebanon, pertempuran masih berlangsung sporadis. Israel belum benar-benar membuka front perang melawan Hizbullah.
Perkembangan cukup signifikan justru terjadi di Damaskus, Suriah. Israel diyakini menggempur komplek diplomatik Iran, menewaskan dua jenderal Brigade Al Quds Garda Republk Islam Iran.
Serangan udara ini menerbitkan kemarahan Iran, yang mengancam akan melenyapkan Israel dari muka bumi.
Tetapi seperti halnya pembunuhan terhadap Jenderal Qassem Soleimani di Baghdad, Irak, Iran tampak masih cukup bersabar dengan aksi pembalasannya.
Baca juga: Houthi Yaman Mengatakan Mereka Masih Memiliki Banyak Kejutan Militer Demi Mendukung Palestina
Baca juga: Hizbullah Bombardir Markas Komando Brigade Liman Israel di Jal Al Alam, Rudal Suriah Sasar Golan
Baca juga: Kataib Hizbullah Irak Klaim Sudah Siap Persenjatai Pejuangnya di Yordania untuk Melawan Israel
Kolumnis situs kritis The Cradle, Shivan Mahendraraja, memaparkan secara menarik apa yang tengah dilakukan Iran.
Shivan adalah anggota Royal Historical Society yang menempuh pendidikan di Universitas Columbia, dan memperoleh gelar doktor dalam bidang Timur Tengah dan Sejarah Islam di Universitas Cambridge, AS.
Menurutnya, mengingat Israel disokong kekuatan utama dunia, Teheran memilih cara lain, yang dalam sejarah perang asimetris dikenal sebagai strategi penuh kesabaran : merebus katak dalam panci.
Ini sebuah ungkapan untuk menggambarkan metode perang asimetris, dengan kawasan Timur Tengah sebagai kiasan untuk pancinya.
Sementara kataknya adalah AS dan anak emasnya, Israel. Bagaimana penjelasannya? Bagaimana Iran menjalankan taktiknya.
Strategi ini melibatkan Iran dan kekuatan-kekuatan ekstrateritorial yang jadi proksinya. Dua yang terpenting adalah Houthi Yaman dan Hezbollah Lebanon.
Strategi ini terinspirasi oleh legenda dan mungkin juga fakta yang mengatakan seekor katak yang ditempatkan di panci dangkal berisi air yang dipanaskan di atas kompor akan tetap bertahan di dalamnya.
Walau suhu terus meningkat, ia tidak akan melompat keluar. Bahkan semisal air perlahan mencapai titik didih dan membunuh katak tersebut.
Perubahan suhu satu derajat pada suatu waktu terjadi secara bertahap sehingga katak tidak menyadari ia sedang direbus hingga semuanya terlambat.
Kisah inilah yang menginspirasi para ahli politik dan peperangan untuk menggambarkan permainan panjang dalam mencapai tujuan strategis.
Iran mengaku atau tidak, tengah menjalankan strategi ini di Kawasan Timur Tengah. Menghadapi kekutan yang berlipat kuatnya, perang asimetris adalah pilihan terbaik.
Di Asia Barat, Iran selama bertahun-tahun terakhir mengkondisikan berbagai situasi yang bisa membuat 'katak' AS dan Israel mendidih di kuali kawasan hingga nantinya mati.
Dimulai ketika kelompok Hamas Palestina meluncurkan operasi Banjir Al Aqsa 7 Oktober 2023, Israel menyiapkan serangan balasan.
Bersamaan itu, militer AS menyiagakan dan lalu mengirimkan armada militer terkuatnya untuk melindungi Israel.
Presiden AS Joe Biden memerintahkan armada kapal induk USS Eisenhower dan USS Gerard Ford berlayar ke Laut Mediterania dan Teluk Persia.
Pada 26 November 2023, USS Eisenhower dan pengawalnya berlayar melalui Selat Hormuz, berlabuh di Teluk Persia di sisi Arab Saudi.
Pasukan angkatan laut Yaman yang bersekutu dengan kelompok Ansarallah Houthi awalnya menargetkan kapal-kapal Israel dan Pelabuhan Eilat dengan tembakan pertama mereka pada 19 Oktober.
Namun pada 29 November 2023, serangan mereka meningkat hingga mencakup kapal-kapal yang menuju atau dari Eilat, terlepas dari bendera atau kepemilikannya.
Pola ini memuncak pada pengumuman Pentagon tentang "Operasi Penjaga Kemakmuran" pada 18 Desember 2023.
Operasi ini bermaksud menjaga kepentingan ekonomi Israel yang jalur ekonomi lauatnya sangat tergantung di rute Teluk Aden dan Selat Hormuz.
Armada USS Eisenhower dan pengawal angkatan lautnya dipindahkan dari Teluk Persia ke Laut Merah dan Teluk Aden, sebagai langkah lanjut strategi mereka.
Tapi risikonya armada Angkatan Laut AS di Laut Merah dan Teluk Aden menjadi sangat rentan potensi langsung Houthi yang dipasok Iran.
Posisi mereka di Yaman sangat menguntungkan. Mereka bisa meluncurkan rudal jelajah, rudal balistik, kapal tempur, dan drone ke target-target di Selat Hormuz yang sempit.
AS dan Inggris secara bersamaan menggempur apa yang mereka sebut basis-basis militer Houthi Yaman di berbagai lokasi.
Tapi usaha itu nyaris mubazir. Kelompok Ansarallah Houthi tetap tak terkalahkan. Ini membuat semua cara militer AS dan sekutunya ke Yaman tidak efektif.
Sebaliknya, rasa frustasi mulai menjangkit semua level militer AS di lapangan, yang merasa tengah bertarung bukan untuk kepentingan mereka.
Dalam posisi jauh di luar negaranya, semua armada militer AS di lautan Timur Tengah punya sumber persenjataa yang terbatas.
Rudal-rudal pencegat Angkatan Laut AS tidak tidak dapat diisi ulang di laut. Situasi ini menyebabkan dalam jangka panjang akan menghancurkan moral para prajurit.
Ungkapan terbuka pernah disampaikan Kapten Chris Hill, Komandan kapal induk USS Eisenhower. Ia mengatakan, "Orang-orang (prajurit) butuh istirahat, mereka harus pulang."
Apa yang mereka hadapi setiap hari adalah ancaman drone dan rudal Ansharullah Houthi, yang seolah tidak ada habisnya.
Di sisi lain, para elite di Washington meyakini dengan riang kekuatan mereka akan mengalahkan Houthi yang sangat menyebalkan.
Hal ini bisa dibilang merupakan langkah yang dikalibrasi dengan baik dan didukung oleh Iran yang mencapai dua tujuan.
Pertama, mengeluarkan kelompok tempur kapal induk dari Teluk Persia, dan kedua, menyeret AS ke dalam perangkap yang semakin meningkat.
Mereka saat ini ada di dalam kuali yang airnya semakin mendidih, dan tidak menyadari mereka tidak akan pernah bisa menang.
Langkah terakhir adalah ketika kesadaran muncul, tapi sudah terlambat. Mereka akan melompat keluar dari kuali dan melarikan diri dengan rasa malu.
Ini seperti yang terjadi pada 2021 di Afghanistan, ketika pasukan AS terbirit-birit kabur dari Pangkalan Bagram saat Taliban mengambil alih kekuasaan.
Lalu bagaimana jika terjadi sebaliknya? Semisal strategi merebus katak ini gagal, dan Iran kalah?
Tiongkok, Rusia, dan sejumlah negara musuh AS, khususnya di negara-negara Selatan tidak akan berdiam diri.
Bagaimanapun Rusia mengakui Iran adalah bagian kontrol terbaik untuk menciptakan keseimbangan ketika Moskow sedang bertarung di Ukraina.
Teheran memainkan peran sangat baik untuk mengontrol gerak Washington di peta konflik global. Di Irak, Lebanon, Yaman, dan Suriah, posisi Iran sangat signifikan dalam konteks ini.
Sementara ‘katak Israel' yang kecil, tertidur di air hangat, sembari terus memimpikan Israel baru, dengan cara membersihkan Gaza secara etnis.
Dia mempunyai rencana untuk mengembangkan Gaza, membangun kondominium mewah di sepanjang tepi pantai, dan membangun unit perumahan bagi pemukim baru.
Jared Kushner, sosok menantu mantan Presiden Donald Trump, termasuk satu di antara yang bersemangat mewujudkan impian itu bersama Netanyahu dan Partai Likud.
Namun, militer Israel dianggap belum memusnahkan Hamas, kekuatan bersenjata yang dominan di Gaza, dan masih mampu menimbulkan kerusakan signifikan pada militer Israel.
Hamas diperkirakan hanya terdegradasi kekuatannya sebesar 15-20 persen. Sebaliknya, Israel masih sangat tergantung pasokan senjata dan dukungan barat.
Pascakejadian 7 Oktober 2023, diperkirakan ada sekira 500.000 pemukim Israel, warga Yahudi yang tadinya datang, kembali lagi ke negara asalnya.
Ini memperlihatkan gejala kegagalan proyek pemukiman kembali warga Yahudi, lewat cara memperluas pendudukan wilayah Palestina.
Mobilisasi militer juga terkendala situasi yang membuat banyak orang Israel tidak nyaman menyangkut asa depan anak-anak mereka.
Gerakan penolakan yang muncul dari invasi Israel ke Lebanon pada 1982 telah bangkit kembali. Para wajib militer menolak untuk bertugas dan akibatnya dipenjara.
Pengecualian wajib militer bagi orang Yahudi ultra-Ortodoks diakhiri pada 1 April 2024; mereka mengancam untuk meninggalkan Israel.
Sementara kelangsungan hidup Israel pastinya bergantung pada orang-orang Yahudi yang pindah ke sana dari negara asal.
Jika perwakilan Yahudi ultra-Ortodoks mundur dari koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, hal ini dapat menjatuhkan pemerintahannya.
Ketegangan internal dalam masyarakat Israel meningkat, dipicu oleh tekanan sosial-ekonomi dan kekecewaan terhadap cara pemerintah menangani perang.
Perekonomian Israel sedang amburadul. Syikalnya menurun. Harganya adalah 3,60 ILS hingga 1 USD dari harga tertinggi 4,01 ILS hingga 1 USD, dengan kemungkinan penurunan lebih lanjut.
Defisit anggaran dan pinjaman telah meroket. Moody's menurunkan peringkat kredit Israel dari A1 menjadi A2 pada 9 Februari.
Industri pariwisata Israel telah terpuruk dalam krisis. Sebagian besar maskapai penerbangan besar tidak lagi terbang ke Israel.
Basis manufaktur dan pertanian Israel berukuran kecil. Israel memiliki akses terbatas terhadap sumber daya alam dan energi; hal ini bergantung pada jalur darat ke Yordania dan Mesir, dengan minyak dan gas Azerbaijan masuk ke Haifa dari Turki.
Iran melakukan hal yang sama terhadap Israel seperti yang dilakukan Israel dengan sanksi ekonomi.
Namun tidak seperti Israel, Iran memiliki pasokan minyak dan gas yang melimpah, 85 juta orang yang melek huruf dan berpendidikan yang tidak berencana untuk mengungsi, serta basis pertanian dan manufaktur yang kuat.
Teheran secara metodis membatasi perekonomian Israel. Pelabuhan Haifa termasuk dalam daftar target Hezbullah Lebanon.
Jika Haifa ditutup bersamaan dengan Eilat, Israel hanya akan memiliki jalur darat untuk pasokan makanan dan energi.
Bandara Internasional Ben Gurion dan bandara lainnya mungkin menjadi sasaran di masa depan. Ada aternatif lain, dan konon ini melibatkan Arab Saudi, Emirat Arab, dan Yordania.
Pasok logistik dari Asia tidak lagi melalui Selat Hormuz, tapi akan mendarat di pelabuhan Uni Emirat Arab, disambung via darat lewat Arab Saudi dan Yordania lalu tiba di Israel.
Apakah skenario terakhir ini akan berjalan mulus? Akan tergantung situasi global yang diciptakan Israel dan AS.
Tindakan provokatif, arogan, membabibuta Israel hanya akan melahirkan ketidaksukaan publik, dan elite Arab pasti akan mempertimbangkan hal itu demi kepentingan kekuasaan mereka.
Pembunuhan dua jenderal Iran di Damaskus, secara gambling mencerminkan kekhawatiran dan rasa frustrasi PM Netanyahu, yang merasa dunia sedang bersekongkol melawan Israel.
Langkah Netanyahu itu pasti mendorong Iran meningkatkan level perlawanan mereka, dan berpotensi mendorong mereka untuk menargetkan aset militer AS di sekitar mereka.
Meski begitu, Iran kemungkinan besar akan menghindari perangkap yang dilempar Netanyahu.
Sebaliknya, Iran mungkin memilih untuk memperketat cengkeraman ekonominya terhadap Israel, mungkin dengan menargetkan lokasi-lokasi strategis seperti Eilat, Haifa, dan Bandara Ben Gurion.
IRGC memahami perekonomian Israel tidak dapat menopang konflik yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, strategi mereka mungkin melibatkan eskalasi bertahap – yang secara perlahan membuat Israel marah.
Mereka akan bertindak melibatkan Hezbullah Lebanon, Hezbollah Suriah, Pasukan Mobilisasi Populer Irak, Ansarallah Houthi Yaman.
Ekonom Herbert Stein mengatakan, "Jika sesuatu tidak dapat berlangsung selamanya, maka hal itu akan berhenti."
Meskipun Israel masih jauh dari ambang kehancuran, tindakan IRGC yang disiplin dan penuh perhitungan terus meningkatkan ketegangan regional.
Jika dibiarkan, hal ini dapat menimbulkan dampak yang signifikan bagi masyarakat Israel dan perekonomiannya – tanpa mereka sadari, Israel sudah seperti katak dalam kuali yang mendidih.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)