Catatan Sepakbola Bagian I
OLEH: M Nigara
TAK TERASA, hampir seabad usia PSSI kita. Tepatnya sudah 94 tahun sepakbola kita menggeliat di republik tercinta. Tak terasa, sudah sangat lama cita-cita Ir. Soeratin untuk mengangkat nama Indonesia lewat sepakbola itu dikumandangkan.
Kecerdasan dan kejelian mantan pegawai N.V. Nederlands(ch) Indische Spoorweg Maatschappij ( 'PT Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda) itu, patut dipuji. Soeratin melihat peluang berjuang di kota melalui sepakbola.
Sebagai catatan: Dari data sejarah, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906, memperkenalkan 6 cabang olahraga di tanah jajahannya: Tenis lapangan, berkuda, anggar, senam, bola keranjang, dan sepak raga (sepakbola). Lima cabor hanya diperuntukkan untuk warga Belanda, kulit putih lainnya, dan Cina kaya. Sementara sepak raga satu-satunya cabor yang dibebaskan.
Sepak raga sesungguhnya telah ada jauh sebelum diperkenalkan oleh penjajah. Namun bola yang digunakan tidak seperti bola yang dibawa dari Belanda. Di pesantren, para santi main bola api. Di desa-desa, bola dibuat dari berbagai bahan seperti gedebong pisang yang diikat dan dibuat hanya untuk mendekati bulat.
Hebatnya, sejak dulu, permainan itu mampu mengumpulkan manusia sangat banyak dan dalam waktu bersamaan. Dan ketika permainan dimulai, orang lupa segalanya. Sejak dulu, jika orang sudah bicara sepak raga, negeri masih dijajah pun mereka tak perduli.
Itu sebabnya Hindia-Belanda mendukung rakyat untuk terus bermain sepak raga. Penjajah ingin rakyat lupa untuk memerdekakan diri. Itu juga yang menjadi dasar Soeratin berani mendeklarasikan PSSI, 19 April 1930, tentu dengan maksud dan tujuan berbeda. Dan dengan kecerdasannya, Soeratin menjadikan PSSI sebagai alat perjuangan dan alat perlawanan yang efektif pada sang penjajah.
Tapi, sedihnya belum sekalipun Indonesia Raya dinyanyikan di putaran final Piala Dunia senior. Belum sekalipun Merah-Putih berkibar di sana. Padahal, 1938, karena berita tentang PSSI sudah sampai ke daratan Eropa, panpel Piala Dunia ke-3 Paris, Perancis, mengundangnya.
Catatan hingga 1950an, peserta PD bukan berdasarkan kualifikasi, tapi berdasarkan undangan tuan rumah yang tentu saja disetujui oleh FIFA.
Karena tidak sesuai dengan harapan Soeratin, maka yang berlaga di Paris adalah tim Hindia-Belanda. Namun 5-6 pemain pribumi yang oleh Soeratin diizinkan mengambil kesempatan. Panpel sebenarnya mengundang PSSI, tapi karena persyaratan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda harus membawa atribut Kerajaan Belanda, Soeratin menolak.
Berulang gagal
Sejak 1938, berpuluh kali sudah tim nasional dibentuk dan dibubarkan. Berpuluh kali pula pola pembinaan dijalankan. Beratus sudah pemain dari berbagai daerah dipanggil untuk memenuhi skuad Garuda. Bahkan berpuluh juga pelatih dari daerah dan luar negeri diberi kepercayaan.
Namun hasilnya, masih tetap saja, datar. Tak sekalipun tim nasional senior kita bisa berdiri, berbanjar, dan berlaga di kancah tertinggi sepakbola dunia itu.
Di usia yang sudah tidak muda lagi, masih mungkinkah kita berharap tim nasional bisa berlaga di sana? Lalu, pertanyaannya: "Kapan dan bagaimana caranya?"