Jawabnya tentu tidak mudah. Jangan pula menjawab dengan rasa, apalagi jika disertai dengan praduga. Jangan juga dibumbui dengan kata pokoknya. Stttt... jangan pula karena rasa benci yang tak berdasar. Faktanya, selama ini kita gagal.
Lalu, mengapa tidak kita pakai cara yang berbeda? Cara ini tentu bukan coba-coba.
Cara yang sesungguhnya sejak lama dianut negara digdaya di sepakbola. Cara yang tak malu dilakukan mereka. Cara yang telah membawa mereka ke tangga juara.
Argentina, Italia, Jerman, Perancis, Inggris, Spanyol, Belanda, dan banyak negara lainnya, tak ragu melakukannya. Ya, sejak dulu, negara-negara yang sempat 4 kali, 2 kali, dan 1 kali juara dunia, tak malu melakukannya. Lalu Belanda yang 3 kali menjadi runner up, dari puluhan tahun silam hingga hari ini, masih melakukannya.
Jadi, tak berlebihan jika saat ini kita (baca: PSSI) juga melangkah dengan cara itu. Berpuluh tahun kita sudah mencoba dengan cara yang lama, mohon maaf, saya tidak ingin merendahkan, tapi sekadar menuliskan fakta, belum sekali pun berhasil. Jadi, menurut saya, tidak ada salahnya PSSI menggunakan cara yang tidak sama.
Darah Indonesia
Di dunia, sejak 1930, telah terjadi penunjukkan pemain nasional di banyak negara menggunakan tiga jalur. Pertama Naturalisasi, Kedua Imigran, dan Ketiga Koloni (bekas jajahan).
Indonesia sendiri tahun 1950-an telah melakukan hal yang sama. Kiper Arnold van der Vin, merupakan kombinasi Naturalisasi dan Imigran. Disebut Naturalisasi, karena kiper itu menukar paspornya dari Belanda menjadi Indonesia. Namun van der Vin sendiri sudah lama berada di Indonesia seolah imigran.
Ide naturalisasi sendiri sesungguhnya sudah dimulai di era Nurdin Halid-Nirwan Bakrie, 2009. Saya tak bosan menulis, 4 wartawan sepakbola senior: M. Nigara (Go sports), Yesayas (Kompas), Reva Deddy Utama (antv), dan Erwiantoro (Cocomeo) diberi tugas khusus untuk menjajaki naturalisasi.
Tidak mudah, bahkan tidak ada sambutan yang luar biasa. Ratusan anak-anak yang berdarah Indonesia, memandang dingin saja. Dan PSSI sendiri akhirnya melakukan naturalisasi beberapa pemain asing yang sudah merumput lama di Liga Indonesia.
Prinsip dasar naturalisasi menurut hemat saya adalah pemain yang memiliki darah Indonesia. Meski untuk Argentina, Italia, Jerman, Prancis, Inggeis, Spanyol, dan Belanda, itu tidak penting. Begi mereka imigran dan anak-anak negeri bekas jajahan pun taj masalah. Bagi mereka terpenting hasilnya.
Mungkin, ini hanya pendapat saya, belum tentu benar, prinsip mereka untuk apa memaksa pemain lokal jika hasilnya tidak maksimal? Lagi pula tidak ada pasal-pasal yang dilanggar. Pasti juga (tendensius nih pendapat saya) tidak akan ada pemain lokal yang bilang 11-12 kualitas mereka dengan para pemain naturalisasi, imigran, dan koloni.
So, jika saat ini PSSI dan Shin Tae-yong merekrut serta menempatkan para pemain naturalisaai ke dalam tim naaional, juga tidak ada pelanggaran apa pun. Bahwa ada pengamat atau siapa pun yang keberatan, normal-normal sajalah.
Yang pasti kumpulan negara adidaya dalam sepakbola saja melakukan itu, lha, kita ini siapa?
Di tulisan bagian kedua secara rinci akan saya sajikan siapa saja mereka. Negara mana saja. Lalu bagaimana kehebatan mereka..
"Mimpi tidak menjadi kenyataan melalui sihir; dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras." - Colin Luther Powell adalah Menteri Luar Negeri AS ke-65 yang dilantik pada 20 Januari 2001.
*M Nigara, Wartawan Sepakbola Senior