TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS pada Sabtu (20/4/2024) waktu Washington meloloskan usulan undang-undang bantuan baru ke Ukraina, Israel, dan Taiwan.
Total anggaran yang diusulkan $ 95 miliar. Rinciannya $ 61 miliar untuk Ukraina, $ 26 miliar untuk Israel, dan $ 8 miliar untuk Asia Pasifik utamanya ke Taiwan.
Usulan UU yang sudah disetujui DPR AS itu akan ditindaklanjuti Kongres AS, sebelum diserahkan ke Presiden AS Joe Biden untuk disahkan menjadi UU.
Kongres AS akan melakukan sidang dan pemungutan suara pada 23 April 2024. Pemimpin mayoritas Chuck Schumer (Demokrat), memuji keputusan DPR AS.
Pembahasan bantuan ini sangat alot. Sebagian politisi Republik dipimpin Ketua DPR AS Michale Johnson menentangnya sejak musim gugur lalu.
Sementara tokoh ‘hawkish’ Republik dipimpin Mitch McConnel sejak lama mendesak segera disetujuinya usulan tersebut.
Kubu Demokrat yang berkuasa dan mayoritas di kongres, berusaha keras menggolkan usulan tersebut sejak lama.
Baca juga: Paket Bantuan Pendanaan Perang ke Israel dan Ukraina Senilai 95 miliar Dolar AS Disetujui DPR AS
Baca juga: Mental Tentara Telah Runtuh, Barat Khawatir Dalam Beberapa Pekan Ini Pertahanan Ukraina Jebol
Lolosnya usulan itu di DPR AS disambut emosional sejumlah anggotanya. Mereka mengibarkan bendera Ukraina saat penghitungan suara, yang memicu teguran Ketua DPR Mike Johnson.
Hasil akhir pemungutan suara 311-112. Semua perwakilan Demokrat, dan 101 wakil Republik memberikan suara mendukung.
Pemerintahan Joe Biden kehabisan dana untuk membantu Ukraina awal 2024, setelah menghabiskan $ 113 miliar paket bantuan yang disetujui sebelumnya.
Tersendatnya sokongan AS ini sangat mempengaruhi perlawanan Kiev dalam pertempuran melawan pasukan Rusia.
Lantas apa makna bantuan baru ini buat Ukraina? Apa pula dampaknya untuk AS dan geopolitik kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik?
Pertama, yang akan menikmati kucuran itu adalah komplek industri militer AS. Sebab dana itu akan dialokasikan paling banyak untuk pengadaan senjata.
Baik untuk dikirimkan ke Ukraina, Israel, dan mungkin untuk memperkuat militer Taiwan. Dari $ 61 miliar untuk Ukraina, $ 23 miliar dialokasikan untuk pengadaan senjata dan logistik pendukung.
Dari konflik yang diciptakan elite-elite AS dan sekutunya di mana-mana selama bertahun-tahun, yang paling banyak mereguk untung adalah industri militer.
Mesin-mesin pembuat senjata mereka terus berputar, menopang perekonomian AS dan ini menjadi lingkaran politik yang tak pernah putus.
Kedua, gelontoran dana dalam wujud senjata itu sudah pasti akan memperpanjang konflik di Ukraina, Israel-Palestina, dan menaikkan ketegangan di Taiwan dan Laut China Selatan.
Memperpanjang konflik Ukraina-Rusia artinya akan terus membuka jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur di wilayah ini.
Presiden Ukraina Volodymir Zelensky memperlihatkan rasa senangnya atas keputusan kongres AS ini, dan berterima kasih kepada Washington.
Dia mengatakan para anggota parlemen AS telah bergerak untuk menjaga sejarah tetap berada di jalur yang benar, dengan mendukung negaranya.
"RUU bantuan AS yang penting yang disahkan har ini oleh DPR akan mencegah perang meluas, menyelamatkan ribuan nyawa, dan membantu kedua negara kita menjadi lebih kuat," tulis Zelensky di akun X.
Ketiga, kucuran bantuan ke Ukraina ini akan melanggengkan konflik dan ketegangan di Eropa Barat maupun Eropa Timur.
Rusia dan sebagian kecil negara eks Soviet yang mempertahankan hubungan baik dengan Moskow, melawan tekanan kuat Uni Eropa serta agresifitas NATO.
Sejumlah negara yang tadinya netral, seperti Swiss, Swedia, dan Finlandia, mulai bergeser dan menjadi kian agresif mengikuti langkah NATO ke Eropa Timur.
Hanya Hongaria, anggota Uni Eropa, yang masih bersikap kritis, menentang hampir semua langkah provokatif Uni Eropa terhadap Moskow.
Keempat, bantuan dana baru AS ke Israel sudah pasti memperpanjang krisis kemanusiaan di wilayah Palestina.
Permusuhan akan semakin meningkat di Lebanon Selatan, Suriah, Irak, dan juga konflik terbuka Israel-Iran kian lebar peluangnya.
Sementara bantuan ke Asia Pasifik, terutama ke Taiwan, akan membuat konflik politik AS dan China akan semakin kencang.
AS meneguhkan sikap ambilaven dan hipokritnya menyangkut Taiwan. Mengklaim kebijakan satu China, tapi terus mempersenjatai Taiwan.
Krisis Washington-Beijing semakin meluas karena AS memperingatkan bantuan China ke Rusia menghadapi masalahnya di Ukraina.
Washington juga semakin keras terhadap aplikasi TikTok, dan kemungkinan besar akan melarang penggunaannya di semua wilayah AS.
Kelima, tentu langgengnya konflik Ukraina-Rusia, Israel Palestina, Israel-Iran, dan ketegangan AS-China, berdampak makin lamanya ketidakpastian perekonomian global.
Harga minyak mengalami dinamika paling serius melihat peta kerentanan konflik di Laut Merah dan Teluk Persia, dua jalur utama perdagangan migas dunia.
Kita akan melihat dalam beberapa pekan ke depan seperti apa skala eskalasi masalahnya, meski tidak serta merta bantuan itu akan berdampak ke Ukraina, Israel, dan Taiwan.
Secara khusus, bagi Ukraina, kucuran dana baru itu akan menggairahkan Zelensky dan elite berkuasa di Kiev, mengingat krisis yang mereka hadap di lapangan.
Pasukan Ukraina menghadapi kemunduran signifikan di berbagai front utama, akibat merosotnya ketersediaan senjata dan amunisi artileri.
Belum lagi kekurangan personal tempur akibat banyaknya tentara Ukraina yang tewas, tertangkap atau menyerah ke pasukan Rusia di garis depan.
Zelensky telah meneken UU baru yang memungkinkan upaya paksa rekrutmen warga Ukraina untuk masuk dinas ketentaraan.
Cara keras itu dilakukan Kiev karena semakin sulit menemukan warganya yang secara fisik dan mental mau bertempur melawan pasukan Moskow.
Di sisi lain, Ukraina mesti menghadapi gempuran udara Rusia yang menyasar infrastruktur energi yang sangat vital di Kharkov, Kiev, maupun Odessa.
Sejak lama Zelensky meminta AS dan pendukung baratnya memasok sistem rudal pertahanan udara Patriot, guna melawan dominasi Angkatan Udara Rusia.
Kiev juga meminta pengiriman jet tempur F-16, guna memperkuat perlawanan udara Ukraina,, yang kehilangan sebagian besar jet-jet tempur peninggalan era Soviet.
Keinginan kuat Ukraina untuk melanjutkan peperangannya melawan Rusia, menunjukkan prospek perdamaian Eropa Barat dan Eropa Timur kian tidak jelas.
Presiden Prancis Emmanuel Macron pernah mewacanakan pengiriman langsung tentara Eropa ke medan tempur Ukraina.
Usul yang sejauh ini ditentang keras elite Uni Eropa dan NATO. Meski begitu, sejatinya keterlibatan militer barat di perang Ukraina sudah dinyatakan berulang oleh Moskow.
Prancis misalnya, hadir lewat personal Legiun Asing Prancis, yang bekerja secara rahasia di garis depan Ukraina.
Sementara Inggris dan AS disebutkan menerjunkan pasukan khusus untuk membackup tentara Ukraina, yang mengoperasikan persenjataan berat kiriman mereka.
Banyak kalangan semula berharap ada perubahan signifikan Washington dalam konflik Rusia-Ukraina. Apalagi medan tempur baru tercipta di Jalur Gaza, Lebanon Selatan, dan juga Iran.
Rupanya, front-front baru yang menguras dana dan senjata ini juga tidak berpengaruh banyak bagi AS dan sekutunya.
Bahkan kebijakan agresifnya meluas ke Amerika Selatan, ketika Washington menyiapkan tekanan baru terkait minyak Venezuela.
Realitas politik menunjukkan hegemoni atau superioritas AS di dunia masih cukup kuat, meski perlahan berkurang.
Irak baru saja meneken perjanjian kerjasama dengan AS, terkait pengadaan aneka peralatan tempur berat.
Kerjasama ini sudah pasti akan menciptakan ketergantungan baru Irak terhadap sistem persenjataan AS, dan artinya akan berimbas ke politik negara itu.
Keinginan sebagian besar kalangan Irak agar militer AS hengkang dari negara itu, terbukti masih sebatas wacana belaka.
Secara keseluruhan, langkah dan keputusan AS mengucurkan triliunan rupiah bantuan untuk Ukraina, Israel, dan Taiwan ini memperteguh watak imperialis dan hipokrit negara itu.
Di mata Moskow, bantuan militer kepada rezim Kiev adalah sponsor langsung terhadap kegiatan teroris Kiev, yang bertahun-tahun meriksak warga penutur Rusia di Donbass.
Dana dan senjata yang dikirim ke Taiwan merupakan campur tangan urusan dalam negeri Tiongkok, yang menganggap Taiwan tak lebih bagian provinsi mereka.
Sementara bantuan ke Israel adalah cara memompa langsung eskalasi konflik yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah tersebut.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)