News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Perang Nuklir Apakah Bakal Segera Terjadi di Asia dan Eropa?

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang wanita menonton TV jalanan yang menyiarkan berita terbaru tentang peluncuran rudal Korea Utara di Tokyo pada 13 April 2023. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan pada 13 April bahwa rudal yang diluncurkan oleh Korea Utara tidak jatuh di wilayah Jepang, setelah pemerintah mengeluarkan peringatan kepada penduduk Hokkaido.

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un memimpin penembakan salvo peluru kendali yang disebut pemicu perang nuklir.

Simulasi yang diklaim serangan balik nuklir ke sasaran musuh itu dilakukan 22 April 2024, mengarah ke Laut Jepang.

Ada empat peluru kendali ditembakkan dari truk-truk peluncur rudal. Jepang, Korsel, dan AS memprotes keras peluncuran rudal Korut ini.

Apa yang dilakukan Kim Jong-un ini sebenarnya reaksi saja. Angkatan Udara Korsel dan AS menggelar latihan gabungan yang dianggap Pyongyang sebagai provokasi ke utara.

Tes peluncuran rudal dari jarak pendek hingga balistik jarak jauh rutin dilakukan Korut setiap ada pergerakan militer di selatan.

Kim Jong-un sengaja menggunakan unjuk peluncuran rudal ini sebagai kekuatan penangkal atas musuh-musuhnya.

Baca juga: Korea Utara Luncurkan Rudal Balistik Jarak Menengah ke Laut Lepas Pantai Timur, Bikin Jepang Jengkel

Baca juga: Kim Jong Un Nyalakan Alarm Perang, Minta Tentara Muda Korea Utara Bersiap Hadapi Musuh

Baca juga: Bila AS Tolong Israel dan Korea Utara-Rusia Bantu Iran, Perang Dunia III Bukan Mustahil Terjadi

Korea Utara ingin menunjukkan kapasitas mereka membalas secara cepat dan serentak serangan nuklir ke wilayah mereka.

Unit-unit militer Korut menyempurnakan prosedur dan urutan operasi dalam skenario hipotetis di mana alarm krisis nuklir tingkat tertinggi di Korea Utara dikeluarkan sebagai respons suatu serangan.

Rudal yang diluncurkan secara akurat mengenai sasaran di sebuah pulau kosong di Laut Jepang yang berjarak 352 kilometer dari lokasi peluncuran.

Lantas apakah klaim Kim Jong-un tentang peluncuran rudal pemicu nuklir ini menunjukkan ancaman nyata perang nuklir bakal pecah di Asia? Bagaimana dengan potensi di Eropa?

Potensi perang di Semenanjung Korea, Laut China Selatan, dan Taiwan memang besar. Bisa terjadi sewaktu-waktu dan semua melibatkan negara-negara berkekuatan nuklir.

Meski Korsel belum masuk ke jajaran negara nuklir, AS dan sekutunya sebagai beking utama Seoul tidak mungkin mengabaikan ancaman ini.

Saudaranya di utara, sudah dipastikan menguasai teknologi senjata balistik hingga hipersonik, sekalipun belum meyakinkan apakah juga sudah menguasai bom nuklir atau bom hidrogen.

Peluncuran empat rudal pada Senin itu jadi rangkaian peluncuran rudal lain beberapa hari sebelumnya.

Militer Pyongyang mengklaim sukses menguji coba rudal jelajah berhulu ledak super besar dan rudal anti-pesawat jenis baru.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pekan ini berkunjung ke Beijing, China, dan kemungkinan akan membahas manuver Korut ini dengan timpalannya di  Tiongkok.

Korsel-Korut sejatinya masih berstatus perang, karena belum ada perjanjian pengakhiran perang apapun sejak pecahnya Perang Korea 1950-1953.

Perdamaian nyaris terwujud ketika Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump bertemu di garis perbatasan Korsel-Korut di Panmunjon atau di Zona Demiliterisasi (DMZ).

Sayang, upaya damai Korsel-Korut yang diinisiasi Presiden Korsel saat itu, Moon Jae-in surut saat Trump gagal melanjutkan jabatannya. Begitu pula Moon Jae-in.

Pengganti Moon, Presiden Yoon Suk-yeol, seorang politikus dan mantan Jaksa Agung Korsel yang dikenal bermusuhan dengan Pyongyang.

Perubahan ini membuka kans Kim Jong-un kembali bersikap keras lewat pertunjukan rudalnya yang sangat berbahaya.

Di antara kekuatan di dunia yang mampu mengerem Kim Jong-un, kemungkinan besar hanya Tiongkok.

Secara historis Perang Korea 1950-1953 menunjukkan pertempuran dua blok kekuatan. Korsel dibekingi AS, sementara Korut mendapat sokongan Beijing.

China saat itu secara militer dan ekonomi belum sekuat sekarang, namun memiliki Parai Komunis China yang sangat militant dan ideologis.

Di Eropa, ancaman perang nuklir diingatkan kembali oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov kaitannya dengan konflik di Ukraina.  

Negara-negara barat yang dipimpin AS menurut Lavrov berpotensi menimbulkan perang besar antara negara-negara nuklir global karena sikap mereka yang secara terbuka bermusuhan terhadap Rusia.

Blok barat juga terus berupaya melemahkan perjanjian pengendalian senjata yang sudah ada. Di era Trump, Washington menarik diri dari sebuah perjanjian dengan Rusia.

Traktat Nuklir Jarak Menengah (INF) ditandatangani pemimpin Soviet dan AS pada 1987. AS saat itu dipimpin Presiden Ronald Reagen, sedang Presiden Mikhail Gorbachev memimpin Uni Soviet

Traktat ini melarang penggunaan peluru kendali berjangkauan 500 hingga 5.500 kilometer. Trump menarik diri karena menganggap Rusia melanggar traktat tersebut.

Lebih jauh Sergey Lavrov di Konferensi Nonproliferasi Moskow yang diselenggarakan Pusat Studi Energi dan Keamanan, mencatat dunia saat ini berada dalam keadaan krisis.

Ketiadaan traktat pengendalian senjata, perlucutan senjata, dan nonproliferasi, bisa membahayakan keamanan internasional.

Kapal perang Rusia meluncurkan rudal jelajah menargetkan fasilitas militer Ukraina. (Ist)

Lavrov mengingatkan, pengingkaran Washington dan menimpakan kesalahan ke Moskow soal traktat nuklir jarak menengah, hanyalah cara dan usaha AS menguntungkan dirinya sendiri.

Lavrov menjelaskan AS dan sekutunya menghalangi proses peninjauan Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT).

Cara itu sudah lama digunakan Washington untuk menekan musuh-musuhnya.

Dia juga mencatat potensi bahaya yang ditimbulkan oleh perjanjian AUKUS tiga arah antara AS, Inggris dan Australia, yang semakin mirip blok militer baru di Pasifik.

Menurut diplomat senior Rusia tersebut, dukungan barat terhadap Ukraina juga penuh dengan bahaya.

Tiga kekuatan nuklir utama barat; AS, Inggris dan Perancis, telah memposisikan diri sebagai sponsor utama rezim Kiev, dan menyokong semua provokasi terhadap Rusia.

AS dan negara-negara NATO masih bermimpi untuk memberikan kekalahan strategis pada Rusia di Eropa.

Pengiriman senjata tak berkesudahan, dan semakin meningkat levelnya, bagi Moskow adalah pertunjukan memompa kekerasan yang dapat menimbulkan konsekuensi katastrofik.

AS dan Rusia memiliki hampir 90 persen hulu ledak nuklir di dunia, menurut Asosiasi Pengendalian Senjata yang berbasis di AS.

Tahun lalu, Rusia menangguhkan partisipasinya dalam Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis, yang dikenal sebagai ‘New START’, perjanjian nuklir terakhir antara AS dan Rusia yang membatasi persenjataan.

Rusia menyebut keterlibatan AS dalam konflik Ukraina sebagai penyebab utama penangguhan tersebut.

ILUSTRASI - Uji coba rudal jelajah berkemampuan nuklir yang bisa menjangkau area sangat jauh. Secara terbuka, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut sukses menguji coba rudal jelajah terbaru bernama Burevestnik. (HandOut/IST)

Washington telah meminta Moskow untuk memperbarui dialog mengenai perjanjian tersebut, namun Moskow mengatakan hal tersebut tidak mungkin dilakukan selama AS terus mendukung Kiev.

Lavrov menegaskan kembali sikap ini, dengan mengatakan ia melihat tidak ada dasar apa pun untuk melakukan dialog pengendalian senjata dengan AS, menghadapi perang hibrida total yang dilancarkan terhadap Rusia.

Sejauh ini, Moskow masih tetap menegaskan doktrin nuklir Rusia yang tidak berubah. Kekuatan nuklir hanya akan digunakan jika ada ancaman langsung terhadap negara Rusia.

“Rusia hanya akan menggunakan persenjataan nuklirnya jika keberadaan negaranya dipertaruhkan,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.

Pengerahan semacam itu digambarkan sebagai “senjata perpisahan” dalam doktrin Moskow yang mengatur penggunaannya.

Doktrin tersebut menguraikan Rusia akan membalas dengan senjata nuklir jika Rusia atau sekutunya menjadi sasaran serangan pertama.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada Juni 2023, Rusia tidak perlu menggunakannya karena hanya dimaksudkan sebagai (alat) pencegah atau penangkal.

Sekalipun menjadi opsi paling akhir, Presiden Vladimir Putin menegaskan, stok senjata nuklir Rusia dalam kondisi siap penuh digunakan.

Bom nuklir dalam sejarah modern sejak senjata pemusnah massal itu ditemukan, baru digunakan satu kali, yang efeknya sangat katastrofik merenggut korban jiwa luar biasa banyaknya.

AS menjatuhkan dua bom nuklir di Nagasaki dan Hiroshima, untuk apa yang disebutnya mengakhiri perang Asia Pasifik yang dipicu ekspansi Kekaisaran Jepang.

Sesudah itu, senjata nuklir menjadi kekuatan penggentar di era perang dingin blok barat versus blok timur. Perlombaan produksi senjata terjadi sangat gencar.

Seberapa besar peluang digunakannya senjata nuklir dalam konteks perang Ukraina, rasanya masih kecil peluangnya.

AS dan NATO memilih perang hibrida terhadp Rusia, dan menjauhi keterlibatan langsung pasukannya dengan tentara Rusia di medan perang Ukraina.

Sepanjang tidak ada ancaman langsung yang membahayakan negara Rusia, maka tombol nuklir tidak akan dipencet Vladimir Putin.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini