OLEH: M. Nigara
BELUM BERAKHIR. Meski Rizky Ridho dan kawan-kawan, Senin (29/4/24) malam, dalam laga semifinal di Stadion Abdullah bin Khalifa, Qatar, kalah 0-2 dari Uzbelistan. Masih satu laga lagi untuk merebut tiket ke Olimpiade, Juli 2024, di Paris.
Lebih dari 120 menit, Uzbek melakukan tekanan yang luar biasa. Sedikitnya ada tiga peluang Uzbek yang harusnya bisa menambah jumlah gol, tapi bola membentur tiang.
Sementara itu, Muhammad Ferrari, pemain asal Persija sebenarnya sempat membobol gawang Uzbek yang dikawal Abduvohid Nematov. Namun setelah wasit VAR memberitahu wasit tengah, Sivakorn Pu-Udon asal Thailand, kaki kanan Sananta dalam posisi offside
Begitu juga di babak pertama. Wasit VAR menyatakan tidak ada pelanggaran saat Witan Sulaiman dijatuhkan oleh Abduvohid Ne'matov pada menit 20. Padahal awalnya wasit asal Thailand telah membunyikan peluit bahwa telah terjadi pelanggaran. Persoalannya, di dalam atau di luar kotak penalti.
Setelah menyaksikan tayangan VAR berulang-ulang, Pu-Udon justru memganulir keputusannya sendiri di awal, dan tackling bek Uzbek itu dinyatakan bersih. Dengan fakta itu, Garuda Muda kita harus mengakui ketangguhan lawan.
Meski kalah peluang Timnas Indonesia U-23, masih memiliki satu kesempatan jika ingin tampil di Olimpiade itu. Juara, runner-up, serta posisi ketiga, akan melenggang ke pesta olahraga dunia. Sementara jika kita kembali kalah, kesempatan masih tetap ada, meski langkah menjadi lebih berat lagi.
Kembali Fokus dan Semangat
Melihat laga timnas U23 kita melawan Uxbek, ada yang berbeda dengan kemampuan tim. Jika saat kita menang atas Korsel di perdelapan final, fisik anak-anak terlihat agak menurun.
Uzbek yang bermain menggunakan tekinik speed and power benar-benar membuat sulit Marselino Ferdinan, Nathan, Hubner, dan kawan-kawan. Bola terus bergerak hingga seolah-olah Uzbek bermain lebih dari 11 pemain. Selalu saja ada 1-2 pemain yang bebas dan tak terjangkau serta tak mampu terbendung.
Jika melihat secara keseluruhan, kalah 0-2 itu adalah hasil yang terbaik. Uzbek secara faktual harusnya bisa menang di atas 3 gol. Hasil ini juga menjadi semacam koreksi diri bagi kita semua.
Mengalahkan Korsel di perempat final, membuat kebahagiaan kita begitu luar biasa. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena sudah 62 tahun sejak kita menjadi juara junior bersama Birma (Myanmar), 1962, prestasi kita seolah menguap.
Di banyak timnas, di berbagai event resmi maupun tidak, timnas kita jika tidak kalah ya gagal. Tidak hanya itu, permainan mereka juga tak pernah berkembang.
Sekali lagi, ini otokritik, sambutan kemenangan atas Korsel, hendaknya tidak seperti kemarin. Kita seperti sudah benar-benar berhasil. Di mana-mana sanjungan dan pujian bertebaran begitu rupa.
Untuk itu, stop bicara tentang kekalahan dari Uzbekistan. Stop berdebat dan stop saling menyalahkan. Kembali fokus dan tetap semangat.