News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Polemik UKT di Perguruan Tinggi Negeri

Ironi Uang Kuliah Semakin Mahal, PTN Makin Sulit Diakses Masyarakat Menengah Bawah

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan aksi protes atas kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di depan Biro Rektor USU, Medan, Rabu (8/5/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menolak kenaikan UKT hingga 50 persen. Foto: Tribun Medan/Danil Siregar

Ironi Uang Kuliah Semakin Mahal, PTN Makin Sulit Diakses Masyarakat Berpendapatan Menengah Bawah

oleh Marim Purba *)

TRIBUNNEWS.COM - Masih dalam bulan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), mahasiswa melakukan aksi terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di depan Biro Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

Dalam aksinya, mahasiswa menolak kenaikan UKT hingga 50 persen. Mereka mendesak Rektor USU Muryanto Amin mundur dari jabatannya karena dinilai membuat kebijakan yang semena-mena, seperti dikutip Tribun Medan, 10 Mei 2024.

Kenaikan UKT ini ternyata tidak hanya di USU, tapi juga banyak kampus perguruan tinggi negeri (PTN) lain seperti di UI, ITB, UGM, Universitas Riau dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Di Universitas Negeri Riau (Unri), demo berbuntut penuntutan. Mahasiswa Unri  bernama Khariq Anhar yang protes ketentuan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT dilaporkan oleh Rektor ke Polisi, katanya atas dugaan pelanggaran UU ITE.

Tingginya uang kuliah memang masalah klasik. Sejak lama orang tua mahasiswa mengeluh, karena UKT terus naik mencekik. Bagi orang tua kelompok berpendapatan menengah ke bawah sulit membayangkan anaknya akan kuliah.

UKT di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah mahal, dan lebih mahal lagi di perguruan tinggi swasta (PTS). Resolusi Hardiknas untuk penyesuaian uang kuliah yang terjangkau adalah suatu keniscayaan. Uang kuliah tak pernah turun, terus naik secara signifikan.

Di beberapa kampus ada kesan bahwa mahasiswa yang diterima melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP)/ Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT (SNBT)/ Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), akan lebih murah uang kuliahnya dibanding dengan mahasiswa jalur Seleksi Mandiri (SM).

Tapi dalam kenyataannya hanya berbeda jalur masuk saja, uang kuliah tetap tinggi.

Dalam kasus di ITB misalnya, pernah SM-ITB tidak memakai ujian tes masuk seperti SIMAK UI; hanya memakai rapot SMA dan nilai UTBK, dan pembayaran pendaftaran sebesar Rp100 ribu.

Tapi ternyata uang kuliah tetap tinggi, karena perubahan kebijakan yang mendadak sempat ada protes melalui petisi di change.org.

Petisi tersebut berhasil melahirkan opsi penangguhan dan pengajuan keringanan dari laman web kuliah (SIX) untuk mahasiswa Seleksi Mandiri. Keringanan itu ternyata hanya untuk mahasiswa yang memiliki SKTM/KIP-K serta berasal dari daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).

Mahasiswa Mediocore Mid-Income

Tampaknya jalur SM bukan untuk mereka yang sekedar lulus test, tapi harus mahasiswa yang punya duit cukup. Karena jalurnya mandiri, diasumsikan orang tua mahasiswa dianggap mampu, dan harus punya modal yang cukup sebelum mengijinkan anaknya ikuti SM.

Alih alih membayar biaya kuliah, mahasiswa juga diharuskan bayar IPI. Mahasiswa SM dianggap sebagai sumber biaya untuk menyubsidi mahasiswa dengan jalur lain.

Mahasiswa ITB Ashiila menyebutnya dengan mahasiswa mediocore dari kalangan mid-income. Mahasiswa tingkat ekonomi menengah yang dianggap kurang miskin untuk mendapatkan keringanan namun faktanya kurang kaya untuk membayar UKT secara penuh.

Baca juga: 7 PTN dengan Biaya UKT Termahal di Indonesia Tahun 2024: Ada UI, UNS, Unri, hingga UIN Jakarta

Terjebak antara bisa kuliah dengan tidak bisa melanjutkan kuliah. Apa boleh buat. Institusi pendidikan tinggi memang dituntut aspek komersialnya, untuk menghidupi operasional dan biaya infrastruktur.

Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2013, memberikan otonomi dalam 3 bidang, yakni pengelolaan program studi, pengelolaan pegawai, dan pengelolaan keuangan secara mandiri.

Perguruan Tinggi akhirnya menjadikan UKT sebagai sumber penerimaan selain APBN/APBD dan kerjasama/investasi/ beasiswa.

Jika menunggak UKT mahasiswa tidak boleh mengisi Formular Rencana Studi (FRS) di semester berikutnya, atau disarankan mengambil cuti akademik.

Kondisi ini mengancam mahasiswa putus kuliah. Di beberapa kampus mahasiswa jalur SM masih bisa ditolerir keterlambatan UKT dalam semester berjalan, tapi untuk Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) tidak ada toleransi.

SBM menjamur di beberapa PTN, seolah diciptakan untuk kelas ekslusif dan sumber pendapatan bagi institusi pendidikan tinggi.

Alternatif Pola Pembiayaan

Tanpa ada alternatif pembiayaan, hati hati kepada mahasiswa di jalur SM. Karena jalur SM adalah sumber pembiayaan bagi kampus, tidak ada keringan, karena mandiri dianggap mampu.

Sudah saatnya kampus mempertimbangkan untuk melakukan penyetaraan nilai tingkat UKT untuk seluruh mahasiswa, tanpa membedakan jalur seleksinya. Hal ini telah dilakukan di beberapa PTN.

Untuk USU jumlah tingkat UKT mungkin bisa dibandingkan dengan dengan beberapa PTNBH lainnya. ITB memiliki 5 tingkat UKT, sementara UI memiliki 11 tingkat, UNDIP memiliki 8 tingkat, serta ITS memiliki 7 tingkat.

Penambahan tingkat UKT dapat memberikan lebih banyak opsi dan keseimbangan yang lebih baik untuk mahasiswa.

Perguruan tinggi sesungguhnya memiliki otonomi yang luas dalam memanfaatkan aset dan menggalang sumber pendanaan di luar pemerintah dan mahasiswa, agar biaya kuliah bisa ditekan lebih murah serta lebih adil bagi mahasiswa yang diterima melalu semua jalur.

Baca juga: UI Sudah Tetapkan UKT dan IPI untuk Mahasiswa Baru

Perguruan Tinggi harusnya melakukan diversifikasi kepada jasa riset, media sains dan vokasi. Tingkatkan reputasi nasional dan internasional.

Misal UI, reputasi bidang ekonomi. ITB bidang Teknik, dan USU mencari reputasi yang tepat. Mahasiswa sejak awal dilibatkan dalam proses bisnis.

Pemerintah diberi mandat konstitusional untuk mencerdaskan bangsa. Ironi bahwa akhir akhir ini muncul pembicaraan mengenai kemungkinan subsidi beasiswa dari negara dialihkan untuk program makan gratis?

Saat ini dana pendidikan untuk mendukung program magister atau doktor terbatas.

Dari 35 ribuan orang yang mendaftar ikut program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2024, sekitar 14 ribuan lolos test scholastic dan bisa ikut interview, untuk mengambil 4000 orang yang beasiswa-nya akan dibiayai pemerintah di berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

Industrialisasi Membentuk SDM

Kisruh biaya saat menjadi mahasiswa akan melahirkan kerepotan baru jika sudah selesai kuliah dan akan memasuki

dunia kerja. Kuliah mahal, setelah tamat malah menganggur. Menurut Kemenaker, di periode Januari-Maret 2024 sudah ada 2.650 pekerja yang terkena PHK di Jawa Barat.

Sedangkan daerah tertinggi yang paling banyak merumahkan pegawainya ada di DKI Jakarta, yakni 8.876 pekerja. Lalu disusul Jawa Tengah sebanyak 8.648 orang.

Angka pengangguran tinggi menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positip antara pendidikan tinggi dengan dunia kerja.

Link and match ke dunia industri terputus, karena prioritas pada SDA tidak diorientasikan ke industrialisasi dan pendidikan. Industri kita memang belum berkembang, tidak efisien dan berbiaya tinggi.

Ketua Umum Apindo mengatakan terlalu banyak cost mulai dari labor cost, energy cost, logistic cost.

Indonesia masih asyik dengan isu isu hilirisasi, karena ekspor produk atau komoditas primer hasil hutan, tambang dan mineral sebagai sumber pendapatan dan perolehan devisa yang signifikan.

Masalahnya, pendapatan ekspor dari SDA tidak digunakan memacu pertumbuhan industri. Transformasi ekonomi ke industri berjalan lambat.

Pendapatan dari sumber daya alam (SDA) dipakai bayar hutang dan program sosial antara lain bansos, berbagai subsidi atau dana kompensasi energi. Lihat saja, ketika surplus neraca perdagangan, justru kurs rupiah terus terdepresiasi.

Ketergantungan pada produk primer hanya akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, membahayakan kelangsungan perekonomian dalam jangka panjang.

Baca juga: Biaya UKT Tinggi, Pemerintah Diminta Kontrol Biaya Kuliah

Yang untung hanya segelintir orang, penduduk di sekitar tambang pendapatannya malah rendah. Transisi industri gagal menyebabkan tidak ada panggilan kebutuhan untuk peningkatan SDM. Pendidikan, termasuk riset terpinggirkan.

Pasal 8 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2022, “Seleksi secara mandiri oleh PTN dilakukan berdasarkan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.”

Ketentuan di atas bukan hanya amanat UU tapi juga amanat luhur konstitusi, bahwa pendidikan untuk semua. Tapi kenyataannya orang berpunya bisa kuliah, orang miskin tak bisa kuliah.

Kesenjangan pendidikan semakin lebar. Dalam suasana perayaan Hardiknas kita semua masih prihatin, pendidikan tinggi (masih) mahal.

*) Marim Purba adalah mahasiswa Magister Komunikasi Politik Universitas Paramadina. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini