News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Benarkah Heli Presiden Iran Ebrahim Raesi Murni Kecelakaan Udara?

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dalam foto yang didistribusikan oleh kantor berita Rusia Sputnik, Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) bertemu dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi di Kremlin di Moskow pada 7 Desember 2023.

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Perhatian dunia, sekurangnya pihak yang memiliki hubungan baik dengan Republik Islam Iran, kini sedang tersedot ke bagaimana nasib Presiden Iran Ebrahim Raesi.

Pemerintah Iran mengumumkan, helikopter yang ditumpangi Raesi dan Menlu Iran Hossein Amirabdollahian, mengalami kecelakaan pendaratan keras pada Minggu (19/5/2024).

Lokasi kecelakaan di Tabriz, area pegunungan barat daya Iran. Heli yang ditumpangi Raesi saat itu dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke wilayah Provinsi Azerbaijan Timur.

Presiden Rusia Vladimir Putin langsung mengundang Dubes Iran di Moskow, membicarakan secara intens upaya pencarian dan penyelamatan Raesi.

Rusia bergegas mengirimkan dua pesawat angkut berikut 50 penyelamat spesialis pegunungan, serta sebuah helikopter SAR.

Reaksi cepat Vladimir Putin ini memperlihatkan betapa dekat dan strategisnya hubungan Moskow dan Teheran.

Baca juga: 5 Hal tentang Kecelakaan Helikopter yang Ditumpangi Presiden Iran Ebrahim Raisi

Baca juga: 7 Fakta Soal Insiden Jatuhnya Helikopter Presiden Iran, Ada 3 Heli yang Terbang saat Kecelakaan

Pemerintah Irak menyatakan solidaritas atas apa yang menimpa pemimpin Iran. Turki berinisiatif mengirimkan regu penolong berikut sarana prasarana lengkapnya ke Iran.

Ini juga respon yang menarik dari sebuah pemerintahan dan negara yang mencoba membuat keseimbangan antara barat (AS/Eropa) dan timur (Asia/Afrika).

Sesudah beberapa jam informasi dipublikasikan, dan hingga artikel ini ditulis Senin (20/5/2024) pagi WIB, belum diketahui nasib dan keberadaan rombongan Presiden Raesi.

Cuaca di area yang diduga lokasi “crash landing” helikopter Presiden Iran berkabut tebal. Ini disebut menyulitkan upaya pencarian dari udara.

Pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khamenei dalam pernyataannya, menyerukan rakyat Iran berdoa untuk kesehatan dan keselamatan Presiden Ibrahim Raesi.

Apa yang menimpa Presiden dan Menlu Iran ini patut dicermati di tengah semakin kuatnya kekuatan dan pengaruh Iran di Timur Tengah.

Di era Presiden Ebrahim Raesi lah, konflik terbuka Iran-Israel terjadi, menyusul serangan udara Israel terhadap konsulat Iran di Baghdad yang menewaskan dua jenderal Garda Republik Islam Iran.

Militer Iran membalas serangan Israel itu dengan meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone kamikaze ke berbagai target penting di Israel.

Serangan Iran itu memperlihatkan kemampuan strategis militer mereka, sekaligus perlawanan mereka terhadap Israel dan dunia barat yang mendukungnya, bukan gertak sambal.

Presiden Iran Ebrahim Raisi berpidato pada sesi ke-77 Majelis Umum PBB di markas besar PBB di New York City pada 21 September 2022, sambil memegang foto Jenderal Iran Qasem Soleimani yang terbunuh oleh serangan pesawat tak berawak AS di Bagdad pada Januari 2020. (TIMOTI A. CLARY / AFP)

Iran, selama bertahun-tahun secara ekonomi diembargo AS dan sekutunya di Eropa dan Asia. Mereka nyaris terisolasi, sebelum Rusia, China, dan India mengambil sikap berbeda.

Kekuatan Teheran turut mengubah geopolitik global dari yang tadinya unipolar karena hegemoni AS, menjadi lebih multipolar.

Pengaruh dan campur tangan AS di Timur Tengah selama bertahun-tahun membuat banyak negara Arab begitu patuh pada agenda barat.

Mereka ditakut-takuti kekuatan revolusionis Iran, dengan basis mengolah isu politik sektarian pengaruh Syiah Iran.

Penguasa Kerajaan Arab Saudi menjadi kekuatan utama yang dipengaruhi AS, guna memperkuat permusuhan dengan Teheran.

Belakangan, sikap Riyadh mulai bergeser. Mereka membuka komunikasi dengan Iran, dan memperbaiki pemosisian Arab terhadap Iran.

Pemimpin de facto Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman, perlahan menjaga jarak dengan pemimpin AS, dan membuka kedekatan dengan Rusia, China, dan kekuatan Asia lainnya.

Perubahan itu secara sederhana bisa dilihat dari bagaimana Pangeran Mohammad bin Salman memperlakukan kunjungan Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden.

Sangat kontras. Xi Jinping disambut sangat hangat di Riyadh, sementara Joe Biden hanya berkunjung singkat dalam suasana penyambutan dingin.

Begitu pula saat Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Arab Saudi. Putin diperlakukan hangat, sama seperti saat Riyadh menyambut Xi Jinping.

Dari segi organisasi global, Arab Saudi sudah menyatakan minatnya bergabung ke BRICS, persekutuan ekonomi yang diinisiasi Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.

Kembali ke isu kecelakaan udara yang menimpa Presiden Iran Ebrahim Raesi, tentu semua yang peduli Iran berharap kabar baik datang dari lokasi kejadian.

Raesi, bagaimanapun seorang pemimpin langka Iran, yang konservatif namun mampu menjalin hubungan moderat dengan berbagai kekuatan dunia.

Keteguhannya melaksanakan prinsip-prinsip berdaulat Iran, yang disandera blokade ekonomi barat, membuat dia berbeda dengan pemimpin Iran lainnya.

Di era Raesi pula, kemampuan penguasaan dan produksi teknologi pesawat nirawak (drone) Iran begitu signifikan.

Rusia bahkan mengadopsi produk drone kamikaze dan intai Iran, dan mereka gunakan untuk mendukung operasi militer khusus ke Ukraina.

Ini pengakuan luar biasa bagi Iran, sebuah kekuatan yang masuk jajaran elite dunia dalam hal penguasaan teknologi pesawat nirawak.

Iran mulai masuk kelompok inti terdiri AS, China, dan Turki dalam pengembangan teknologi drone untk kepentingan intai dan serang.

Iran juga sudah membuktikan kemampuan penguasaan teknologi dirgantara. Roket-roket Iran mampu mengorbitkan satelit cuaca dan mata-mata secara mandiri.

Dalam hal penguasan teknologi rudal balistik, Iran sudah secara faktual membuktikan kemampuannya saat menyerang Israel menggunakan rudal presisi jarak jauh.

Kehebatan Iran ini muncul di tengah-tengah persekusi ekonomi, yang seharusnya membuat negara ini menderita atau bahkan seharusnya kolaps.

Tapi Teheran mampu membuktikan sebaliknya. Karena inilah, Israel begitu takutnya pada ‘hantu’ Iran.

Tak berbilang banyaknya usaha Israel dan pendukungnya melemahkan kekuatan Iran. Pembunuhan demi pembunuhan terhadap saintis, pakar fisika, dan pakar nuklir dilakukan.

Salah satu puncaknya terjadi manakala Jenderal Qassem Soleimani dibunuh drone tempur AS di Bandara Internasional Baghdad pada masa kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Tingginya konflik dan ketegangan Israel, AS dan sekutunya terhadap Iran ini menerbitkan tanda tanya, benarkah heli Presiden Raesi murni kecelakaan udara?

Mungkinkah kecelakaan itu buah sabotase yang dilakukan jaringan Israel dan penyokongnya di Washington (Gedung Putih dan Pentagon) dan Langley (CIA)?

Kemungkinan terakhir ini sangat terbuka, dilihat dari riwayat persekusi atas Iran dan reaksi perlawanannya yang signifikan.

Lebih luas lagi, titik ini bisa jadi efek dari pertikaian politik militer antara AS/Eropa dan Rusia serta China.

Dalam konteks perang Ukraina, Rusia saat ini jauh berada di atas angin. Dukungan besar AS/Eropa ke Ukraina tidak berdampak banyak.

Kekalahan demi kekalahan diderita Kiev, dan pemerintah Presiden Volodymir Zelensky semakin terjepit secara domestik maupun dari eksternal.

Karena itu perlu sebuah pemicu atau pemantik baru untuk mengurangi superioritas Rusia, lewat cara melemahkan relasi dekatnya, yaitu Iran.

Di sisi lain, kecaman hebat dunia internasional atas kekejian Israel di Jalur Gaza, juga memerlukan spot baru untuk mengalihkan perhatian masyarakat.

Caranya, memantik kejadian di Iran yang bisa mendapatkan dua efek sekaligus. Pengalihan perhatian publik dari Gaza, sekaligus melemahkan soliditas Iran.

Apakah skenario seperti ini akan efektif, jika benar-benar dilakukan agen-agen dan kekuatan asing musuh Iran?

Rasanya akan sangat sulit mengingat Iran sama sekali  tidak tergantung pada figur presidennya. Siapapun presidennya, Iran telah mampu melampaui masa-masa sulit.

Presiden Iran Ebrahim Raisi berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping di KTT BRICS. (tangkap layar twitter)

Artinya, bukan figur presiden yang menentukan perjalanan bangsa Iran. Mungkin setiap presiden punya gaya dan karakter berbeda.

Tapi mereka selalu dipersatukan oleh cita-cita sama sebagai hasil Revolusi Iran yang mendongkel rezim probarat Shah Reza Pahlevi pada era 70an.

Lebih dari itu, pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Ayatollah Khamenei, menjadi pemersatu bangsa Iran.

Sejarah, tradisi, kultur, dan keyakinan masyarakat Syiah Iran telah berurat akar. Ini kekuatan yang kerap tidak diperhitungkan kekuatan barat.

Kekuatan dan pengaruh yang selalu dibenturkan dengan kutub lain, Sunni Arab, dan sebagian berhasil memecahbelah kekuatan Islam di Timur Tengah.

Sebagian di Asia dan Afrika merasakan dampak kapitalisasi isu Syiah vs Sunni ini. Di Indonesia, efek kapitalisasi isu ini sudah terbukti beberapa berakhir sangat buruk.

Tentu saja, harapan terbaik adalah kabar keselamatan Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menlu Iran Hossein Amirabdollahian.

Bagaimanapun, kemungkinan peristiwa tragis ini murni laka udara juga amat sangat terbuka. Embargo barat membuat Iran susah mendapatkan pesawat dan helikopter modern.

Potensi dan tingkat kerawanan penggunaan armada udara di Iran menjadi sangat tinggi karena akses terbatas terhadap suku cadang dan perawatannya.

Sekali lagi, respon cepat Rusia, Turki, mungkin juga menyusul China, semakin menunjukkan betapa dunia ini butuh atmosfer jauh lebih positif daripada sekarang.

Dunia multipolar, yang satu sama lain saling memahami, tolong menolong, yangkuat tidak mempersekusi yang lemah.

Kehidupan global, yang setiap bangsa dan negara memiliki hak sama tumbuh berkembang dengan potensi dan kekuatan masing-masing.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini