TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Israel menggempur Rafah, membom tenda-tenda yang dihuni warga Palestina yang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal di Jalur Gaza.
Sekurangnya 45 orang tewas akibat pengeboman membabibuta yang membakar kamp pengungsi di area aman dekat perbatasan Mesir-Jalur Gaza ini, Senin (27/5/2024).
Wanita dan anak-anak yang terlelap tidur, terjebak dan terbakar bersama tenda-tendanya akibat bom-bom yang berledakan di sekitar kamp.
Ketegangan di Rafah juga diwarnai baku tembak antara pasukan Israel dan penjaga perbatasan Mesir. Dua tentara Mesir tewas dalam insiden ini.
Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu mengakui ada kematian warga sipil di Rafah, yang bukan target utama pasukannya.
Netanyahu menyebut peristiwa itu kesalahan tragis, dan mengatakan penyelidikan sedang dilangsungkan.
Baca juga: Hamas Kecam Pembantaian di Rafah, Amerika dan Israel Bohong soal Zona Aman
Baca juga: Reaksi Dunia atas Serangan Israel di Rafah, Jubir Mahmoud Abbas hingga Perancis
Baca juga: Yordania Kutuk Israel Atas Pembantaian Rafah, Ratu Rania: Korban Digiring Lalu Dibakar Saat Tidur
Apa yang terjadi di Gaza hari ini adalah tontonan absurd yang menunjukkan tidak berfungsinya sama sekali hukum internasional.
Setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memasukkan dua pemimpin Israel dan tiga pemimpin Hamas ke daftar penangkapan, ICC meminta Israel menghentikan serangan ke Rafah.
Perintah itu tak digubris Israel. Sebaliknya, ICC diintimidasi AS sebagai beking utama Israel, dan akan mendapatkan hukuman balik atas keputusan besar itu.
AS dan Israel bukan anggota ICC, sebuah mahkamah yang dibentuk dan didirikan atas dukungan mayoritas anggota PBB.
Mahkamah ini memiliki otoritas menyelidiki dan mengadili kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di berbagai wilayah di dunia.
Mahkamah ini pernah menggelar peradilan genosida di Bosnia dan Rwanda. Sejumlah pemimpin Serbia dan Rwanda diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman berat.
Gelombang konflik baru di Palestina, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat, dipantik serangan 7 Oktober 2023 oleh kelompok Hamas.
Serangan kilat darat dan udara Hamas itu menewaskan sekurangnya 1.200 warga Israel dan sejumlah warga berbagai negara.
Ratusan warga Israel disandera dan dibawa masuk wilayah Hamas. Peristiwa itulah yang memicu kemarahan Israel.
Operasi militer digelar sejak beberapa waktu setelahnya, dan terus berlangsung tanpa jeda hingga hari ini.
Badan Kesehatan Palestina menyatakan, serangan bertubi-tubi Israel telah menewaskan sekurangnya 34.000 penduduk Palestina di Jalur Gaza maupun Tepi Barat.
Mayoritas korban perempuan, manula, dan anak-anak. Tak terhitung lagi kehancuran infrastruktur di Jalur Gaza.
Permukiman penduduk, sekolah, kampus, rumah sakit, tempat ibadah, pusat layanan kemanusiaan internasional dan badan PBB, diratakan tanah.
Israel berdalih penghancuran dilakukan untuk melumpuhkan infrastruktur bawah tanah yang digunakan Hamas.
Dunia internasional telah mengecam dan mengutuk kekejian Israel yang didukung penuh Washington dan sekutu baratnya.
PBB juga telah menyerukan penghentian perang. Namun berkali-kali resolusi penting untuk menghentikan kekerasan terganjal di Dewan Keamanan PBB.
Sekali lagi, instrumen hukum internasional benar-benar tidak berlaku di Jalur Gaza. Israel menutup mata atas semua tekanan dan upaya menegakkan tata aturan global.
Kejahatan mereka menemukan impunitas, karena mendapat perlindungan dari kekuatan super power.
Secara domestik Israel, sebenarnya muncul konflik tajam, antara pendukung kubu Netanyahu dan kelompok oposisi.
Namun, perbedaan itu tidak menyentuh substansi masalah, kecuali terjadi hanya karena perbedaan cara, pendekatan, dan sudut pandang menangani konflik dengan Palestina.
Liga Arab menghadapi problem klasik yang tak pernah terselesaikan, yaitu perbedaan sikap. Arab Saudi, sebagai kekuatan utama dunia Arab, tidak banyak suaranya.
Mereka hanya menegaskan, masalah Israel-Palestina tidak akan selesai jika tidak ada pengakuan atas eksistensi Palestina sebagai sebuah negara.
Seorang peneliti di Pusat Studi Konflik dan Kemanusiaan di Doha, Qatar, Mouin Rabbani, mengatakan Israel benar-benar telah melewati garis merah dengan menyerang Rafah.
Presiden AS Joe Biden pernah mengatakan, ia menolak operasi militer di Rafah, karena konsekuensi korban sipilnya bisa sangat mengerikan. Ini garis merah ala Biden.
Tapi ini sangat menarik karena akan diuji apakah Washington benar-benar bisa mengendalikan Israel atau tidak.
Jawaban sementaranya, ternyata Gedung Putih pun tidak sanggup mengontrol Israel. Joe Biden dan elite Washington ternyata tidak memiliki garis merah itu.
Kemarahan elite Eropa atas insiden ini, seperti ditunjukkan Presiden Prancis Emmanuel Macron, juga tak banyak artinya.
Sikap mereka yang hipokrit, menjadikan setiap insiden kemanusiaan di Palestina tampak seperti kosmetik saja bagi mereka.
Tampak peduli dan manis terhadap penderitaan Palestina, tapi tetap mengalirkan dukungan politik, bahkan dana dan senjata untuk rezim Tel Aviv.
Ini persoalan mendasar bagi banyak pemimpin dan negara di Eropa, AS, dan juga kawasan lain dalam konteks konflik Israel-Palestina.
Dari sekian realitas global, Iran lah satu-satunya negara dan kekuatan di dunia yang menunjukkan perlawanan terbukanya terhadap Israel.
Baik langsung, seperti ditunjukkan saat Iran menggempur Israel menggunakan rudal balistik dan drone, atau tak langsung lewat elemen-elemen pro-Iran di Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.
Turki, yang pemimpinnya gembar-gembor membela Palestina, tidak mampu melakukan seperti yang dikerjakan Iran.
Tayyip Erdogan tersandera ambivalensi Turki, yang menjaga hubungan diplomatiknya dengan Israel, tapi berusaha jadi pembela Palestina dari dunia Arab dan Asia.
Dalam pernyataanya, Tayyip Erdogan bersumpah Ankara akan melakukan segala daya untuk memastikan “orang barbar” yang melakukan serangan terhadap Rafah diadili.
Erdogan kembali membandingkan PM Benjamin Netanyahu dengan Adolf Hitler, mengklaim orang itu “meniru” diktator Nazi Jerman.
Netanyahu dan jaringan pembunuhnya menurut Erdogan, mencoba memperluas cengkeraman mereka pada kekuasaan dengan membantai orang-orang Palestina karena gagal mengalahkan perlawanan Palestina.
Pemimpin Turki tersebut mengklaim Israel telah menunjukkan dirinya sebagai negara teror dengan menyerang kamp pengungsi Palestina.
Tapi Erdogan sejauh ini ya hanya berhenti di retorika belaka. Turki masih menikmati transaksi ekonomi yang besar dengan Israel.
Rusia dan Vladimir Putin, berada di situasi agak sulit karena beban perangnya di Ukraina, tapi masih bisa menunjukkan solidaritas kuatnya ke Palestina.
Rusia menjadi kekuatan pemegang hak veto di PBB, yang bersama China menjadi pendukung kuat upaya menaikkan status Palestina sebagai anggota tetap PBB ketimbang jadi peninjau.
Menaikkan status Palestina ini merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan bagi Palestina sebagai sebuah negara.
Resolusi ini ditentang AS, Israel, dan segelintir negara kecil anggota PBB yang sejak lama bisa diatur oleh mereka.
Absurditas juga ditunjukkan elite Uni Eropa. Kepala Urusan Diplomatik Uni Eropa, Joseph Borrel menyatakan Eropa harus memilih di jalan sulit.
Pilihannya ada dua, mendukung eksistensi lembaga internasional seperti PBB dan ICC, atau menyokong Israel.
Situasi ini benar-benar memecah belah dunia Eropa. Spanyol, Norwegia, dan Irlandia telah menyatakan dukungannya Palestina sebagai negara.
Tapi ambiguitas juga sekaligus ditunjukkan Uni Eropa. Di satu sisi mengakui hak Israel membela diri menyusul peristiwa 7 Oktober 2023, tapi juga mengecam kekejian yang dilakukan Israel sesudahnya.
Hingga hari ini, faktanya, ada lebih banyak kata-kata ketimbang aksi nyata dilakukan oleh banyak negara dan kekuatan utama di dunia untuk menghentikan kekejaman Israel.
Kematian warga Palestina terjadi hampir di tiap saat, karena tak satupun instrumen hukum internasional mampu mencegah keberingasan mereka.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)