TRIBUNNEWS.COM – Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung parlemen Georgia pada Minggu (1/12/2024) malam.
Massa mengekspresikan penolakan mereka terhadap keputusan pemerintah yang menangguhkan negosiasi aksesi negara itu ke Uni Eropa (UE).
Dikutip dari CNN dan VOA, keputusan pemerintah Georgia untuk menangguhkan pembicaraan aksesi dengan UE telah memicu kemarahan di kalangan warga.
Demonstrasi berlangsung dari hari Minggu (1/12/2024) hingga Senin (2/12/2024) dini hari ini merupakan lanjutan dari protes yang telah berlangsung selama empat malam berturut-turut.
Para demonstran yang meneriakkan kata "pengkhianat" terlihat membakar tempat sampah dan menembakkan kembang api ke arah polisi.
Demonstrasi ini semakin memanas setelah pemilihan parlemen pada 26 Oktober lalu, yang dianggap sebagai referendum atas aspirasi Georgia untuk bergabung dengan UE.
Para demonstran menegaskan keinginan mereka untuk masa depan yang lebih baik sebagai bagian dari UE.
"Kami tidak ingin menjadi bagian dari Rusia lagi," ujar seorang demonstran.
Oposisi menuduh bahwa pemilihan tersebut dicurangi dengan dukungan Rusia, yang ingin mempertahankan pengaruhnya di Georgia.
Baca juga: Laporan: Uni Eropa Sedang Pertimbangkan Beri Sanksi Terhadap Perusahaan China yang Mendukung Rusia
Polisi Gunakan Gas Air Mata dan Meriam Air
Dalam upaya membubarkan massa, polisi menggunakan gas air mata dan meriam air.
Kementerian Dalam Negeri Georgia melaporkan, sebanyak 27 pengunjuk rasa, 16 polisi, dan satu pekerja media dirawat di rumah sakit akibat kerusuhan tersebut.
Lebih dari 100 orang ditangkap karena dinilai melakukan huliganisme ringan dan tidak mematuhi perintah polisi.
"Gerakan perlawanan telah dimulai," kata Presiden Georgia, Salome Zourabishvili, dalam pidato yang disiarkan televisi.
Ia menekankan pentingnya persatuan demi kembali ke jalur Eropa dan menggelar pemilu baru.