News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rasionalkah Skenario Vladimir Putin Akhiri Perang Ukraina?

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gambar selebaran yang disediakan oleh Saudi Press Agency (SPA) ini menunjukkan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (kanan) berjalan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin dalam upacara penyambutan di ibu kota Riyadh pada 6 Desember 2023. Presiden Rusia Vladimir Putin tiba di Arab Saudi pada tanggal 6 Desember setelah mengunjungi Uni Emirat Arab, melakukan perjalanan yang jarang terjadi ke luar negeri seiring upaya Moskow untuk menegaskan kembali dirinya di panggung global.

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyampaikan syarat dan kondisi pengakhiran konfliknya melawan Ukraina.

Moskow, kata Vladimir Putin, tidak meninginkan gencatan senjata maupun membekukan konflik dengan Ukraina.  

Rusia ingin penyelesaian masalah, dan karenanya siap bernegosiasi dengan Ukraina kapanpun. Bila perlu, hari ini atau besok pun.

Skenario versi Rusia itu dipaparkan di depan Menlu Rusia Sergei Lavrov dan para diplomat senior Rusia, Jumat (14/6/2024), dan momennya menjelang konferensi perdamaian Ukraina di Swiss.

Syarat dan kondisi itu tidak banyak berubah dari skema saat negosiasi terakhir Rusia-Ukraina di Istanbul Turki pada Maret 2022.

Pemimpin Ukraina Volodymir Zelensky langsung menolak skenario versi Putin. Ia menyebut skema itu ultimatum Moskow ke Kiev.

Baca juga: Saat Vladimir Putin Bertekad Rusia Akan Menangkan Pertarungan

Baca juga: Vladimir Putin Menyindir Barat, dengan Mempersenjatai Kiev Mereka Pikir Bisa Hancurkan Rusia

Baca juga: Vladimir Putin

Pasukan Rusia menembakkan meriam howitzer ke arah tentara Ukraina (Sputnik)

Skenario versi Vladimir Putin adalah Rusia siap gencatan senjata dan memulai negosiasi setelah Ukraina menarik pasukan dari Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk serta wilayah Zaporozhye dan Kherson.

Batas administratif sesuai kesepakatan saat Ukraina berpisah dari Uni Soviet pada 1991.  Ukraina juga harus membatalkan rencana bergabung NATO.

Selain itu, Rusia mengharuskan Ukraina untuk mengadopsi status netral, non-blok, dan non-nuklir. Itulah syarat kondisi versi Putin.

Paparan ini menjadi menarik karena disampaikan menjelang Ukraina Global Summit di Lucerne, Swiss, 15-16 Juni 2024.

Rusia tidak diundang dan dilibatkan di forum yang klaimnya ingin mencari formulasi perdamaian Rusia-Ukraina.  Event ini digelar sesuai permintaan Ukraina.

Sejumlah negara kunci tidak hadir, di antaranya China, Arab Saudi, India, Brasil. Presiden AS Joe Biden pun juga tidak menghadiri forum ini.   

Apa yang disampaikan Putin menjadi menarik dicermati karena kemungkinan besar akan berdampak pada hasil Global Summit Ukraina di Swiss.

“Kami siap duduk di meja perundingan besok,” kata Putin saat briefing di Kementerian Luar Negeri Rusia.

Penegasan itu akan bermakna sangat signifikan, jika ternyata Kiev dan negara-negara barat menolaknya.

Mantan perwira intelijen Korps Marinir AS dan eks inspektur senjata PBB, Scott Ritter, menyebut skenario ini bakal menyudutkan NATO dan Uni Eropa.

Jika Ukraina dan pendukung baratnya menolak, kata Vladimir Putin, segala urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab politik dan moral mereka atas berlanjutnya pertumpahan darah di Ukraina.

Situasi menjadi berbalik secara politis, dan strategi menawarkan kesiapan Moskow bernegosiasi damai ini menjadi langkah brilian Putin.

Ukraina Global Summit di Swiss pada akhirnya akan kehilangan momentum, tidak akan pernah berhasil, dan kini memiliki sudut pandang yang sangat berbeda.

Barat dipaksa membahas inisiatif perdamaian dari Rusia, mengkalkulasinya secara realistis sesuai kenyataan di lapangan saat ini.

Mimpi Volodymir Zelensky agar Rusia meninggalkan Donbass dan dua wilayah timur Ukraina lainnya semakin tidak realistis.  

NATO dan Uni Eropa dipaksa memikirkan tawaran baru ini, dan pastinya menempatkan negara barat pada dilemma atau pilihan tak mudah.

Inilah efek dari skenario yang ditawarkan Vladimir Putin. Rusia menginginkan kekuatan barat berpikir ulang tentang masalah Rusia-Ukraina berikut segala kompleksitasnya.

Rusia menginginkan penyelesaian konflik. Mereka menginginkan rencana perdamaian sejati, tanpa embel-embel apapun.

Jelas ini mengisyaratkan keteguhan Rusia mempertahankan proposal Istanbul 2022 dengan tetap mempertimbangkan kenyataan di lapangan.

Peta jalan yang diusulkan Vladimir Putin juga memenuhi tujuan awal operasi militer khusus yang dilancarkan sejak 24 Februari 2022.

Utamanya, demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina. Demiliterisasi akan terjadi melalui proses negosiasi. Sedangkan denazifikasi jelas akan mengubah masa depan politik Ukraina.

Rakyat Ukraina harus menentukan tatanan politik mereka di masa mendatang, apakah terus mempertahankan eksistensi kelompok politik sayap kanan, atau sebaliknya.

Kelompok politik sayap kanan itu telah menghasilkan organisasi sejenis Nazi seperti Right Sector (Sektor Kanan), Svoboda, Azov, dan organisasi paramiliter dan militer yang berafiliasi neo-Nazi.

Poin lain, ketika Ukraina menerima syarat tidak akan menjadi anggota NATO, hal ini otomatis menyelesaikan sejumlah masalah terpenting.

Bagaimana nasib semua peralatan perang yang dikirim NATO yang dikumpulkan Ukraina, akan lebih mudah penyelesaiannya. Demiliterisasi akan tercapai dengan sendirinya.

Tapi ini skenario dengan respon positif dari pihak Ukraina dan NATO. Jika langsung menolak mentah-mentah tawaran Rusia, sekali lagi konsekuensi mesti ditanggung pihak barat.

Tanggung jawab ada di pihak sponsor Ukraina dengan pertanyaan mendasar apakah mereka menginginkan perdamaian atau berlanjutnya peperangan?

Jika Ukraina dan barat menginginkan perang terus berlanjut, konfrontasi militer akan terus berlangsung lebih keras.

Skema perdamaian di masa depan bisa menjadi sangat berbeda. Moskow mungkin akan berpikir maju ke Odessa dan Kharkov, yang sangat strategis bagi Kiev.

Moskow pasti akan membuat perimbangan serius ketika AS dan NATO terus meningkatkan pasok senjata semakin canggih dan berjangkauan jauh ke Kiev.

Kenyataan lain, Presiden Joe Biden dan Volodymir Zelensky di Italia, telah meneken pakta persekutuan strategis AS-Ukraina berdurasi 10 tahun.

Apakah pakta itu berarti solusi atas problem sulitnya Ukraina masuk NATO dan Uni Eropa, kita masih harus menunggu seperti apa praktiknya.

Volodymir Zelensky sendiri menghadapi problem konstitusional, mengingat masa jabatannya sebagai Presiden Ukraina telah berakhir 20 Mei 2024.

Artinya masalah politik Zelensky ini berpeluang menjadi problem legal menyangkut sah tidaknya pakta aliansi dengan Washington itu.

Skenario yang ditawarkan Vladimir Putin dalam perspektif geopolitik, sekali lagi menunjukkan Rusia sama sekali tidak mengubah arah dari tujuan operasi khusus ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.

Di sisi lain, skema ini sesungguhnya memberikan pihak barat satu kesempatan lagi untuk menerima perdamaian dengan cara yang saling menguntungkan.

Masalahnya, apakah NATO yang sudah menyumbang banyak atas pertumpahan darah di Ukraina dan Rusia akan menerima begitu saja proposal pengakhiran konflik ini?

Rasanya masih sulit sulit sepanjang Russophobia masih ada di kepala para elite yang berkuasa di NATO maupun Uni Eropa.

Tapi jika barat menerima, satu hal pasti, Volodymir Zelensky akan segera tamat di Ukraina.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini