News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Dinasti Politik Jokowi, Sebuah Penghancuran Sistem Demokrasi dan Penegakan Hukum

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Advokat Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara

Oleh: Petrus Selestinus SH
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara

TRIBUNNEWS.COM - Perjalanan panjang perjuangan mengakhiri pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto dilakukan sejak 1996 hingga lahirnya Reformasi pada 21 Mei 1998 dan merupakan perlawanan rakyat bersama Ibu Megawati Soekarnoputri terhadap rezim di bawah kekuasaan Presiden Soeharto melalui "legal action" (aksi hukum).

Mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998 tidak bisa dilepaskan dari 2 dua peristiwa hukum dan politik yang sangat penting dalam sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia yang diperhadapkan pada Ibu Megawati dan rakyat pendukungnya, yaitu:

Pertama, keputusan pemerintah melahirkan "dualisme" kepengurusan PDI, yang satu dipimpin Soerjadi (PDI Soerjadi) dan dibekingi oleh Soeharto, sedangkan PDI Pro Mega dipimpin Ibu Megawati, didukung oleh rakyat bawah.

Kedua, peristiwa 27 Juli 1996 atau disingkat Kudatuli merupakan tindakan kekerasan aparatur TNI-Polri melakukan penyerbuan terhadap kantor PDI Pro Mega.

Kedua peristiwa hukum dan politik di atas merupakan rekayasa politik Orde Baru dan Soeharto demi menyingkirkan Megawati dari pentas politik nasional.

Baca juga: Pengangkatan Orang Dekat Prabowo Jadi Wakil Menteri Jokowi, Kompromi Politik atau Hidupkan Dinasti?

Namun dalam perjalanannya ternyata rekayasa Soeharto dan Orde Baru gagal total, akibatnya Soeharto harus mundur dari jabatan Presiden ketika itu dan bersamaan dengan itu kekuasaan tirani Orde Baru berakhir.

Karena itu, kedua peristiwa hukum dan oolitik di atas harus dinyatakan sebagai "cikal bakal" Reformasi dan juga sebagai "trigger" (pemicu) lahirnya perlawanan rakyat menuju lahirnya Reformasi pada Mei 1998.

Tumbangnya Orde Baru

Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 sekaligus membuat Orde Baru tumbang, membawa perubahan yang fundamental terutama di bidang konstitusi, pembangunan demokrasi dan penegakan hukum.

Hampir semua tuntutan pejuang reformasi dipenuhi melalui pers yang bebas, hapusnya Dwifungsi ABRI, pisahnya TNI dan Polri, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, TAP MPR melarang KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), termasuk KKN mantan Presiden Soeharto dan kroninya, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus dari UUD 1945, dan adili Soeharto dan kroninya.

Yang menarik, pemerintahan Reformasi (Presiden Gus Dur dan Wapres Megawati) tampil tanpa beban melakukan penindakan terhadap Soeharto dan kroninya atas dugaan KKN menggurita selama Orde Baru, dengan menjadikan Soeharto sebagai tersangka dan terdakwa korupsi.

Soeharto didudukkan sebagai terdakwa guna dimintai pertanggungjawaban pidana atas seluruh KKN yang dilakukannya melalui 7 yayasannya, antara lain Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, dan Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais).

Pertanyaannya, mungkinkah pada saat ini PDIP diperhadapkan pada situasi harus melakukan perlawanan terhadap Presiden atau mantan Presiden Jokowi, setidak-tidaknya meminta pertanggungjawaban pidana atas dugaan korupsi, nepotisme dan penyalahgunaan wewenang lainnya, pasca-lengsernya pada 20 Oktober 2024, sebagaimana pada tahun 1998 PDI Megawati bersama rakyat menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap Soeharto.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini