AFIF FUAD SAIDI, Badan Cyber Media PP GP Ansor
SENGAJA saya menulis judul seperti itu, karena keberpihakan saya pada Gen Z dan milenial. Saya ingin menulis tentang terorisme ini dengan bahasa yang mudah dan ramah pada mereka sebagai salah satu hak mereka untuk mendapatkan informasi dan wawasan.
Terorisme, radikalisme, ekstrimisme dan intoleransi adalah persoalan yang tidak boleh hanya berada pada ruang-ruang analisis pengamat yang rumit.
Bukan pada pemberitaan media dengan bahasa yang kaku dan tidak menarik bagi mereka, padahal, terorisme adalah satu isu yang mereka harus paham dan mengikuti segala perkembangannya.
Karena sejatinya, terorisme modern juga melakukan proganda virtual di media sosial, sementara mereka, Gen Z dan Milenial adalah kelompok usia yang paling banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial bukan?
Baru-baru ini, akhir Juni lalu tepatnya, kita dikejutkan oleh satu potongan video yang banyak beredar di media sosial.
Bukan video laki-laki pakai kerudung dan cadar di pengajiannya Ustadz Hanan Attaki, bukan!
Namun potongan video monumental, yang kemudian ramai diberitakan oleh media, bahwa ada 16 orang petinggi salah satu kelompok teror paling mengerikan dalam skena per-teroris-an di Indonesia bahkan Asia Tenggara, yakni Jamaah Islamiyah, yang dalam video tersebut, mereka mendeklarasikan pembubaran kelompok mereka, membubarkan diri? Yap, memang begitu isi videonya, No Cap…
Lebih savage adalah, pidato si Abu Rusdan, mantan Amir, mantan ketua skena kelompok teroris Jamaah Islamiyah, isinya begini, “(Kami) menyatakan bubar, Al Jamaah Al Islamiyah kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”
Speech ini sangat monumental, seperti cinta lama yang bersemi kembali, setelah sekian purnama mengambil posisi berseberangan, menjadikan Indonesia sebagai sebuah entitas yang harus diperangi.
Baca juga: Menelusuri Perjalanan Berdirinya Organisasi Jamaah Islamiyah, Aktivitas hingga Bubar 30 Juni 2024
Baca juga: Jamaah Islamiyah Benar-benar Bubar atau Hanya Berganti Kulit? Ini Penjelasan Lengkap Ustaz Abu Fatih
Tidak hanya sampai di situ, dari enam butir deklarasi CLBK-nya Jamaah Islamiyah, mereka juga berjanji akan "terlibat aktif mengisi kemerdekaan", untuk memajukan bangsa Indonesia dan mengikuti peraturan hukum yang berlaku serta berkomitmen "menjalankan hal-hal yang merupakan konsekuensi logisnya".
Juga menjamin kurikulum dan materi ajar di pesantren yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah akan terbebas dari sifat dan sikap tatharuf atau ekstrem, dan bakal merujuk pada paham Ahlussunnah Wal Jamaah, keren kaaaan…
Kejadian ada kelompok teroris besar yang kemudian membubarkan diri ini sangkat langka di dunia, mungkin satu-satunya. Lalu kenapa bisa terjadi? Siapa yang menyadarkannya? Siapa yang membantu jalan mulus CLBK Jamaah Isalmiyah pada NKRI?
Mari kita bahas. Pertama, soal kesadaran, keinsyafan untuk kembali kepangkuan negara tercinta ini, dari lawan menjadi sayang, cieee haha.
Tentu atas kesadaran pada realitas hari ini, Jamaah Islamiyah dihadapkan pada satu pertanyaan besar yang selalu bikin mereka galau.
“Apakah iya, negara seperti Indonesia ini pantas kita perangi? Apakah benar negara ini dibangun dengan satu landasan ideologi thagut? Apakah Indonesia memusuhi Islam?
Namun yang pada kenyataannya, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Mereka hidup damai dan mendapatkan hak-hak sebagai muslim yang sangat luar biasa dari negara”.
Pergumulan hati dari para petinggi Jamaah Islamiyah ini selalu menghantui mereka. Belum lagi soal kenyataan makin banyak anggota mereka yang ditangkap, lalu meninggalkan pilu anak istrinya, soal ketersediaan sumber dana yang makin sulit, akses sumber dana mereka banyak yang mampet salurannya, dan ketakutan masyarakat untuk menyumbang karena ada konsekuensi hukum tentunya.
Lalu ada satu kontemplasi mendalam “Jangan-jangan memang jihad kita yang salah, yang mengambil istimbath-istimbath hukum islam serampangan yang berbeda, malah berlawanan dengan ulama mayoritas di Indonesia yang mumpuni keilmuannya tentang semangat jihad dalam Islam.”
Galau itu menjadi, dan rasa ingin kembali kian menggebu.
Tentu keinginan itu tidak mudah disampaikan, terlalu aneh dan akan menimbulkan tafsir-tafsir yang justeru akan mencederai keinginan ikhlas dengan penuh kesadaran mereka akan kembali kepada pangkuan NKRI.
Lalu di sini peran Mak Comblang atas jalan mulus islah, CLBK itu terjadi, yakni Densus 88 AT Polri.
Lho bukannya kelompok teror semacam Jamaah Islamiyah adalah target buru Densus 88?
Memang, namun ketika mereka punya iktikad baik untuk sadar, soft approach Densus 88 dilakukan, membersamai perjalanan islah dan keinsyafan mereka, meyakinkan ijtihad mereka kembali ke NKRI, mengkuti semangat keagamaan mayoritas ulama di Indoensia adalah hal yang benar dan harus.
Tidak mudah dan tidak juga dalam waktu yang singkat, akan banyak pertanyaan, pertimbangan dan diskusi yang panjang sebelum benar-benar mendeklarasikan sikap mereka yang baru kepada NKRI.
Jika salah memberikan assesment pada kelompok teroris yang lagi galau tersebut, maka akan fatal akibatnya.
Di sini sebenarnya Densus 88 AT Polri dengan segala instrumennya diuji, dan alhamdulillah, berhasil.
Mari kita apresiasi Densus 88 AT Polri, khidmat mereka dalam amanah menjaga bangsa ini tidak mudah, salut dan angkat topi.
Mari kita ucapkan selamat datang kepada saudara kita, kepada para anggota eks Jamaah Islamiyah, yang konon menurut pengakuan Para Wijayanto, mantan pimpinan tertinggi Jamaah Islamiyah, anggota mereka ada tidak kurang dari 6.000 orang.
Maka akan ada 6.000 orang yang siap untuk menghidmatkan diri kepada bangsa ini. Belum lagi para santri dari ratusan pesantren yang terafiliasi dengan jamaah islamiyah yang mencapai 16.000 santri, yang akan menjalani pendidikan dengan semangat keagamaan yang baru, yakni semangat keagamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Selesai? Tidak, ini adalah awal dari bagaimana proses panjang aklimatisasi ideologi ini akan berjalan, harus tetap dibersamai oleh seluruh stake holder bangsa ini.
Densus 88 AT Polri, BNPT, Kemenag RI, harus berusaha menjamin kurikulum baru pesantren-pesantren mereka sudah sesuai dengan semangat keagamaan dan keindonesiaan yang kita anut Bersama.
Organisasi-organisasi keagamaan yang berbasis keummatan juga harus ikut dalam membersamai saudara baru kita ini, rangkul mereka.
Pemerintah juga harus melakukan intervensi kebijakan terkait anggota Jamaah Islamiyah, semisal pendampingan sosial, peningkatan life skill dan sebagainya.
Terakhir, idologi tidak akan pernah mudah berbalik arah. Mari sisakan 10 persen kegembiraan, kesyukuran kita ini untuk tetap menghidupkan awareness pada segala kemungkinan buruk pascadeklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah.
Soal kemungkinan ada sempalan-sempalan dari anggota yang masih belum bisa move on dari ideologi lamanya.
Kekhawatiran soal ini adalah strategi mereka untuk membaur dengan masyarakat dengan hanya menghilangkan terma “dakwah wa jihad” namun bergeser pada semangat-semangat “dakwah wa tarbiyah”.
Kewaspadaan itu harus, namun peseimistis tidak boleh. Sekali lagi, ini adalah awal, yang akan dijawab dengan multi assesment pasca deklarasi pembubaran mereka untuk selanjutnya.
Kita bangsa besar, bangsa yang selalu optimis memandang segala kebaikan dan tantangan, bubarnya Jamaah Islamiyah ini adalah kesyukuran dan tantangan kita Bersama.
Bukan hanya menjadi urusan Densus 88 AT Polri, namun menjadi tanggung jawab kita sesama anak bangsa dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing untuk membersamai saudara kita yang baru.
Akhiran, Ahlan Wa Sahlan Wa Marhaban Bi Khudurikum Ikhwan…(*)
*) Isi tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis, dan tidak mencerminkan sikap dan pendapat Tribunnews.com.