Penegakan hukum seolah tajam ke bawah. Rakyat kecil dan para korban yang tidak merasakan keadilan atau justru menjadi korban kriminalisasi.
Banyak konten-konten di media sosial yang kemudian mempertanyakan juga kriminalisasi terhadap pegiat politik yang melancarkan kritik pada Presiden atau Pemerintah di ruang publik.
Kebetulan atau tidak, namun reaksi ini menimbulkan efek persepsi kehidupan yang tidak demokratis.
Dalam pembangunan hukum dan HAM, rapor merah yang disampaikan sebagian kalangan tentang kinerja penegakan hukum yang belum adil dan independen seolah terbukti.
Pemerintah berupaya membangun sebuah sistem hukum yang berkeadilan, berkepastian, dan berkemanfaatan; serta independen, profesional, dan akuntabel.
Namun begitu pada kenyataannya, politik anggaran pada APBN yang ada masih jauh dalam memenuhi kebutuhan pembangunan sistem hukum yang memadai dan sesuai standar.
Misalnya saja hakim-hakim di daerah dan para aparat penegak hukum terus menerus mengeluh tentang rumah dinas dan biaya operasional yang terbilang sangat tidak realistis.
Kekurangan sarana juga terkadang mengganggu independensi serta kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjaga profesionalitas dan akuntabilitas kerja.
Selanjutnya upaya “elektrifikasi” atau pemenuhan jaringan komunikasi dan pemenuhan sarprasnya boleh dibilang tidak sebanding antar-wilayah atau tidak sesuai prioritas kebutuhan.
Banyak wilayah yang tidak dapat melakukan pengkinian data hingga pelaporan administratif sehingga tidak sesuai dengan SOP atau aturan formil.
Sidang online yang menjadi fitur utama, khususnya dalam kondisi pandemi, masih banyak menemui kendala dan tidak terimplementasi sesuai asas sederhana, cepat, dan mudah.
Komisi III DPR RI terus menerima pengaduan tentang kurangnya sumber daya manusia, sarpras, dan anggaran di wilayah; diiringi dengan pengaduan masyarakat tentang kurangnya profesionalisme kerja aparat (yang mencapai lebih dari 60% pengaduan masyarakat kepada Komisi III DPR RI).
Independensi peradilan dan penegakan hukum dalam menciptakan keadilan juga masih memiliki persepsi negatif.
Menurunnya angka kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan kelembagaan hukum diiringi dengan berbagai gerakan masyarakat.
Tagar “No Viral No Justice” yang sempat menghiasi media sosial dan media massa menjadi contoh kurang sensitifnya kepemimpinan untuk secara serius menindak berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.
Responsivitas memang meningkat namun tingkat penyelesaian dan kepuasan publik terhadap keadilan tidak seimbang dengan penanganannya.
Sebagai contoh, pidato presiden terkait Komisi Yudisial dalam meningkatkan integritas dan kualitas peradilan, hanya menjadi sebuah wacana.
Komisi III DPR seringkali menemukan dan menyampaikan kepada publik bahwa Komisi Yudisial belum mampu mengoptimalkan tugas dan kewenangannya, karena seringkali terhalang dengan sumber daya, kriminalisasi, hingga kurangnya sinergisitas.
Dewas dan Pimpinan KPK menjadi contoh lain, dimana kedua pihak malah bentrok ketika melakukan pemeriksaan dan berujung pada pelaporan pada penegak hukum.
Catatan-catatan evaluatif tersebut yang seharusnya menjadi perhatian Presiden untuk dapat diselesaikan dan dicegah pada pemerintahan selanjutnya.
Catatan kritis selanjutnya adalah terkait dengan keadilan sosial.
Presiden memiliki program dan visi untuk membangun dan meningkatkan perekonomian bangsa yang tinggi dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan zaman.
Presiden berupaya untuk menyelesaikan persoalan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam.
Namun dalam implementasinya, program-program ini belum mampu untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan (sustainable).
Ruang hijau masih minim, polusi udara memburuk, dan pengalihan hutan masih menjadi isu di masyarakat.
Ditambah lagi, sistem penegakan hukum terhadap illegal mining/drilling/logging juga belum optimal.
Pembangunan proyek strategis nasional bersinggungan dengan keadilan sosial dalam reformasi pertanahan.
Aparat sering berhadapan dengan masyarakat yang mencari keadilan ketika mereka menjadi korban dalam pembebasan lahan.
Tata kelola agraria atau pemanfaatan lahan untuk investasi dan pembangunan kurang berpihak pada masyarakat kecil dan pembangunan lingkungan hidup atau ruang hijau.
Selanjutnya terkait dengan penciptaan iklim demokrasi berkeadilan dan konstitusional yang selama ini menjadi amanat Pancasila dan Konstitusi.
Banyak pihak masih kurang puas dengan apa yang terjadi di bidang politik.
Intervensi “istana” seringkali terdengar dalam berbagai pengisian jabatan publik, pembentukan undang-undang, maupun penyelenggaraan program pemerintah yang bersentuhan dengan masyarakat.
Isu miring ini bergulir dalam kegiatan partai politik hingga pengisian jabatan strategis.
Selain itu, adanya persinggungan atau konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penyelenggaraan sidang di Mahkamah Konstitusi, hingga penggerakan aparat penegak hukum dan TNI, serta politisasi bantuan sosial (bansos).
Tak mudah menyatakan ini dalam data, namun secara faktuil isu ini bergulir di masyarakat, sehingga masyarakatlah yang kemudian memberi penilaian.
Sistem kepemimpinan Jokowi yang mengedepankan prinsip demokrasi seolah berubah menjadi otoritarian legalisme ketika anaknya menjadi calon dan terpilih menjadi Wakil Presiden RI.
Keluarganya menjadi kepala daerah maupun pimpinan partai. Fenomena ini secara kebetulan juga menurunkan tingkat kepercayaan publik.
Dalam kontestasi Pilkada yang menjadi cermin desentralisasi dan pemberian otonomi daerah, para calon pemimpin kepala daerah seperti tersandera dengan “restu Presiden” atau penggunaan pendekatan kekuasaan (machtstaat) dalam penyelenggaraan kehidupan berorganisasi dan politik.
Lebih jauh lagi keluarga Presiden kini juga bertarung dalam mengisi kepemimpinan di daerah yang melebarkan jangkauan dan kelanggengan kekuasaan.
Hal ini terlihat tidak ada yang salah, namun jika dikaji secara lebih mendalam, persoalan etika dan konflik kepentingan menjadi isu.
Tidak terelakkan ada sebagian pihak yang menilai bahwa ini adalah sebuah upaya politik dinasti, hal yang paling dihindari di era reformasi pasca orde baru.
Pada akhirnya persoalan ini akan berpengaruh pada public trust dan profesionalisme kerja.
Sebuah catatan akhir
Pada kesempatan tersebut seharusnya Presiden menggunakan momen pidato terakhirnya untuk memotret hasil kinerja dan peninggalan (legacy) dalam agenda ke depannya sebagai seorang negarawan.
Masyarakat sebenarnya menunggu pidato yang menjelaskan seluruh keraguan masyarakat terhadap Pemerintah yang dinilai telah membangun pengaruh yang terlalu besar dan mengarah pada politik dinasti.
Masyarakat menunggu momen pidato Presiden tersebut untuk melihat keadaan sebenarnya dari berbagai hal yang terjadi.
Akan tetapi pidato tersebut justru terlihat seperti formalitas dan/atau “singkat-singkat” saja.
Presiden justru terlihat seperti “main aman” dan tidak mampu berkata-kata tentang capaian rencana hebatnya selama ini dalam upaya membangun dan memajukan bangsa, seperti kehidupan demokratis dan penghargaan terhadap HAM dan ruang publik, ketahanan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan, perlindungan terhadap hak warga negara, maupun sistem hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan,
Masyarakat sebenarnya mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan sosial sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945.
Oleh sebab itu melalui momen pidato kenegaraan, Presiden dapat mengirim sinyal untuk pemerintah kedepan dalam membangun kehidupan demokrasi yang lebih bersih, jujur, dan adil.
Pemerintah harus berkomitmen untuk menjamin kehidupan demokrasi dan hukum yang adil dan independen, sehingga dapat melahirkan kepemimpinan yang bekerja untuk rakyat bukan untuk kekuasaan semata.
Namun itu belum tercermin dalam pidato Pak Jokowi yang akan menyerahkan tongkat estafet pada presiden selanjutnya, Prabowo Subianto.
Agenda berkelanjutan yang diungkapkan terlihat seperti gestur politik untuk meneruskan kekuasaan dalam mengatur kehidupan politik dan demokrasi.
Penting untuk melihat pernyataan Ketua DPR yakni “satu untuk semua dan semua untuk satu” dan kebersamaan dalam “kebersandingan” untuk membangun bangsa dan negara sesuai dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan.
Perbedaan pandangan politik maupun pendapat bukan menjadi penghalang untuk membangun bangsa dan negara secara bersama-sama.
Persatuan dan kesatuan yang dialamatkan oleh Presiden dalam pidatonya memang diperlukan, namun harus sesuai dengan visi dan tujuan bangsa, yang dilakukan berdasarkan filosofi Pancasila, UUD NRI 1945, dan penerapan prinsip demokrasi dan negara hukum secara seimbang.
Pidato Presiden mungkin terkesan sangat singkat dan belum memberikan pencerahan, maka perlu ada penjelasan lanjut kepada masyarakat tentang apa yang perlu menjadi perhatian bersama dalam membangun bangsa secara berkelanjutan dan berkesinambungan dalam mencapai cita-cita bersama.
Apa yang harus diakui sebagai kelemahan dan kekurangan untuk dapat teridentifikasi pada pemerintahan kedepan dan bidang apa saja yang perlu ditingkatkan.