Amendemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR 1999-2002 sebagaimana disampaikan di atas membawa perdebatan terkait dengan watak dan model UUD 1945 pra amandemen dan UUD 1945 pasca amandemen.
Watak dan model UUD 1945 sebagai konstitusi akan terkait dengan ide, konsep, teori atau doktrin tentang konstitusi saat perumusan UUD 1945 baik pada tahun 1945 maupun pada waktu amendemen UUD 1945 dilakukan.
Konstitusi sudah diubah dan UUD 1945 pasca amandemen menjadi hukum positif (ius constititum), tetapi ius constititum ini telah melalui berbagai macam kritik dan gagasan amandemen konstitusi (ius constituendum).
Ketegangan antara ius constititum dengan ius constituendum melahirkan tiga kemungkinan: pertama, ius constititum tidak berubah, kedua, ius constituendum dituangkan dalam perubahan formal; atau jalan ketiga dihasilkan “jalan keluar” secara dialektik sehingga UUD 1945 pascaamandemen berubah secara nonformal.
“Jalan keluar” ini serupa dengan kompromi politik MPR ketika menghasilkan amendemen UUD 1945, termasuk membentuk Komisi Konstitusi. Hal ini sekaligus menunjukkan bekerjanya some primary force dan terjadinya institutional interplay atau constitutional dialogue (dialog konstitusional) antara legislasi dan pengujian undang-undang.
Pancasila dan Konstitusi Sebagai Solusi Permasalahan Bangsa
Pancasila yang berakar dari kehidupan bangsa Indonesia tersebut pada hakikatnya mengadung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pengutamaan demikian dikarenakan harmoni merupakan sikap budaya Indonesia yang sama dalam semua kebudayaan Indonesia, yakni manusia Indonesia yang selaras (harmoni) dalam hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat
Sebagai sebuah nilai, Pancasila kemudian diadopsi dalam UUD 1945 (khususnya pembukaan). UUD dipahami bersifat futuristik dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan di masa depan.
Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji apakah dapat berjalan efektif atau tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam perkembangan/pelakasanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan maka lahirlah tuntutan perubahan.
Hal ini menegaskan bahwa UUD tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diharapkan dapat merespon kebutuhan kekinian dan kedisinian (now and present) sehingga UUD bersifat dinamis dan tidak tabu untuk mengalami perubahan.
Tentu saja perubahan yang dimaksud haruslah sesuatu yang bersifat fundamental bagi bangsa dan negara, yang kemudian diharapkan menjadi milestone bagi arah kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya.
Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak dapat dilepaskan dari kematangan dan kemapanan suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara bangsa.
Makin lama suatu negara bangsa bediri akan semakin mapan sehingga semakin berkurang tuntutan perubahan terhadap UUD. Bisa kita tengok sejarah Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1776, Konstitusi AS—yang merupakan konstitusi tertulis tertua dalam sejarah—yang ditetapkan tahun 1787 telah 27 (dua puluh tujuh) kali mengalami perubahan (terakhir/amademen ke-27 pada tahun 1992),
Namun, makin ke sini perubahan konstitusi AS semakin berkurang seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan yang mereka bangun.
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap dalam kurun 1999 hingga 2002 sejalan dengan desakan reformasi yang begitu kuat saat itu.
Perubahan tersebut pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif/pendekatan kesejarahan (historical approach) dimana para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dalam kondisi yang tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia merdeka.
Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara dan kilat.
Kata Bung Karno, “Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna”.
Meski kemudian, karena dinamika perjuangan dan politik paska kemerdekaan upaya penyempurnaan UUD tersebut tidak sempat terlaksana. Hingga saat reformasi bergulir kuat pada tahun 1997/98 dirasakan kebutuhan untuk melakukan perubahan UUD 1945, yang hasilnya berlaku hingga saat ini.
Kemudian setelah lebih dari 20 tahun pelaksanaan UUD 1945 hasil perubahan tersebut, ternyata masih dirasakan ada ketimpangan antara normatif UUD dengan praktek sistem ketatanegaraan, maka lahirlah kembali tuntutan perubahan UUD 1945.
Hal ini bisa dipahami kembali berdasarkan pendekatan kesejarahan bahwa memang perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002 dilakukan secara reaktif dan terburu-buru akibat tekanan politik reformasi yang begitu kuat.
Selain itu, perubahan UUD 1945 lebih mengakomodasi perlbagai kepentingan politik daripada kepentingan pembangunan sistem ketatanegaraan yang semakin mapan sehingga secara subtansi memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan konstitusional yang memadai. Pun, desakan perubahan UUD 1945 saat ini juga semakin gencar dilakukan oleh beragam kelompok masyarakat.
Dalam praktik ketatanegaraan yang berjalan ditemukan sejumlah keterbatasan dan kelemahan dalam sistem ketatanegaraan yang jika ditelusuri bersumber dari pengaturan di dalam UUD 1945.
Keterbatasan/kelemahan tersebut menyebabkan proses-proses bernegara berjalan tidak sebagaimana mestinya. Dinamika terhadap konstitusi ini mungkin terasa sulit mengikuti perkembangan zaman.
Apalagi, konstitusi merupakan kesepakatan lembaga yang membuatnya sesuai keadaan sosial, politik, ekonomi pada saat dibuat.
Karena itu, agar menjadi tidak tertinggal dengan kebutuhan masyarakatnya, perubahan konstitusi menjadi suatu yang niscaya. Secara hukum, keniscayaan tersebut pulalah yang menjadikan dasar sebuah konstitusi harus merumuskan pengaturan bagaimana mengubah konstitusi itu sendiri.
David A. Strauss dalam bukunya The Living Constitution menyebutkan bahwa peradaban selalu mengalami perubahan sehingga mustahil bagi konstitusi mengikuti lajunya perubahan tersebut.
Lebih jauh Strauss menasbihkan, “Meanwhile, the world has changed in incalculable ways, technology has changed, the international situation has changed, the economy has changed, social mores have changed and it is just not realistic to expect to cumbersome amendment process to keep up with these changes”.
Konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara, seringkali dianggap sebagai dokumen yang kaku dan sulit diubah.
Namun, dalam kenyataannya, konstitusi yang baik adalah yang bersifat dinamis, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan mampu menjadi solusi atas permasalahan bangsa. Hal ini untuk mengikuti dinamika perubahan sosial, perkembangan teknologi maupun dampak dari globalisasi.
Kesimpulan
Konstitusi merupakan landasan fundamental dalam sebuah negara, menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur struktur pemerintahan dan hak-hak warga negara.
Namun, pentingnya konstitusi tidak hanya terletak pada eksistensinya sebagai dokumen hukum, melainkan juga pada penegakan yang konsisten dan efektif.
Penegakan konstitusi adalah aspek yang lebih krusial karena memastikan bahwa prinsip-prinsip yang tertulis dalam konstitusi diimplementasikan dengan adil dan merata dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks Indonesia, konstitusi tidak hanya sekadar teks, tetapi merupakan refleksi dari pemikiran dan cita-cita para pendiri bangsa. Konstitusi adalah manifestasi dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dirumuskan untuk melindungi dan memajukan kepentingan seluruh rakyat.
Daya lestari konstitusi mencerminkan komitmen untuk menjaga warisan intelektual dan ideologis dari para pendiri bangsa serta memastikan bahwa konstitusi tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Dengan demikian, meskipun konstitusi adalah dokumen yang sangat penting, penegakan konstitusi yang konsisten dan tanpa pandang bulu adalah kunci untuk memastikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya benar-benar diterjemahkan dalam praktik pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Penegakan yang efektif memastikan bahwa konstitusi tidak hanya tetap sebagai dokumen bersejarah, tetapi juga sebagai alat hidup yang membimbing negara menuju keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan. (*)