Setelah rakyat kembali dipusingkan dengan RUU Pilkada kemarin, rakyat kembali dikejutkan dengan penahanan terhadap calon kepala daerah, dalam hal ini Bupati Batubara di wilayah Sumatera Utara.
Hal ini menjadi sorotan tajam karena pemeriksaan kasus korupsi yang menyeret nama calon Bupati Batubara dilakukan oleh Polda Sumatera Utara di tengah bergulirnya tahapan Pilkada.
Alhasil banyak pihak kemudian justru mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini bentuk politisasi hukum atau intervensi oleh kekuasaan menggunakan proses hukum? Mengapa dilakukan justru pada saat masih dalam tahapan Pilkada?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan keniscayaan karena calon merupakan kader dari partai politik yang masih belum satu suara dengan “kekuasaan terpilih”.
Hal ini bukan semata sebuah tuduhan, namun memang terjadi di momen dimana seharusnya rakyat dapat memilih dengan bebas terhadap calon pemimpinnya. Apa yang dilakukan Polda Sumut tersebut memang merupakan diskresi yang menjadi implementasi dari aturan dalam sistem penegakan hukum.
Namun sebagaimana prinsip negara hukum, diskresi tersebut tentu harus dilakukan sesuai dengan aturan dan terlebih mengedepankan kebijaksanaan, keadilan, kemanfaatan, dan persamaan di muka hukum. Isu Politisasi Hukum mengemuka kembali.
Adapun aturan terkait dengan netralitas aparat penegak hukum ini sesungguhnya telah ada. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, dan UU Pilkada sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020.
Demikian pula aturan ini kemudian juga telah diatur selanjutnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2407/X/HUK 7.1/2023 tertanggal 20 Oktober 2023 tentang Komitmen Polri untuk bersikap Netral, maupun Instruksi Jaksa Agung (InsJA) No.6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam Mendukung dan Mensukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024. Aturan tersebut mengatur bahwa seluruh aparatur sipil negara, termasuk aparat penegak hukum wajib bebas dari pengaruh dan intervensi politik.
Aparat dilarang memberi dukungan kepada calon Kepala Daerah tertentu, baik secara langsung, maupun melalui keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Aturan ini kemudian ditegaskan kembali oleh Presiden dalam pernyataaanya pada hari bhayangkara ke-78 pada 1 Juli 2024 yang mengingatkan Polri untuk menjaga netralitasnya pada Pilkada 2024 disamping tidak tebang pilih dan mengedepankan Profesionalisme.
Selanjutnya, dalam Surat Telegram pada 20 Oktober 2023 tersebut, Kapolri menegaskan bahwa untuk menjaga kondusifitas keamanan dan netralitas aparat penegak hukum. Aturan ini dibuat bukan tanpa sebab. Keputusan atau kebijakan tersebut dilakukan untuk menjawab keraguan sebagian masyarakat terhadap netralitas Polri.
Alhasil, dalam penerapannya hal ini memang kemudian diterapkan dalam beberapa perkara. Penerapan penundaan ini pernah diterapkan oleh Polda Jateng dalam kasus penganiayaan oleh eks-Ketua parpol Gerindra di Semarang terhadap kader PDIP yang dihentikan sementara. Demikian pula dilakukan oleh Kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Gakumdu. Kebijakan ini merupakan jalan untuk menjamin netralitas dan independensi sistem penegakan hukum.
Akan tetapi, tidak demikian dalam proses hukum yang dialami calon Bupati Batubara H. Zahir, dalam masa tahapan Pilkada Serentak 2024 ini. Proses ini justru “melanggar komitmen Polri dalam menjaga netralitas dan independensi aparat penegak hukum” sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau Instruksi Kapolri. Hal ini karena tindakannya telah merugikan calon dan menguntungkan calon lainnya.
Selain itu, tindakan ini tidak mencerminkan prinsip kesamaan di muka hukum, karena dilakukan terhadap calon yang boleh dianggap berseberangan dengan kepentingan kekuasaan.