Apa yang dilakukan oleh Polda Sumut tersebut mencerminkan ketidaknetralan dan boleh dikatakan pembangkangan terhadap aturan yang telah menjadi komitmen Kapolri untuk netral atau tidak ikut berperan serta dalam Pilkada 2024 dalam bentuk apapun.
Oleh sebab itu, sebaiknya dengan bijaksana Polda Sumut seharusnya dapat bersikap adil, profesional, dan seimbang dalam melakukan proses hukum terhadap calon Bupati Batu Bara tersebut.
Apa yang telah diterapkan oleh Polda Jateng seharusnya menjadi contoh atau benchmark netralitas Polri dalam penyelenggaraan kontestasi politik.
Persamaan di muka hukum sebagaimana diatur dalam Konstitusi seharusnya dapat diterapkan. Hal ini semata untuk menjaga keadilan dan kemanfaatan dan menjamin stabilitas keamanan dan ketertiban.
Apa yang dilakukan oleh Polda Sumut tersebut bisa jadi memicu berbagai polemik dan perpecahan yang sebenarnya kita hindari mengacu pada pengalaman-pengalaman yang telah terjadi.
Langkah-langkah hukum tentu akan dilakukan dan tentunya memicu kembali perdebatan di masyarakat. Ujungnya, komitmen Kapolri dipertanyakan dalam hal netralitas dan profesionalitas.
Hal in akan menambah buruk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum atau sistem peradilan pidana terpadu masih diragukan.
Upaya-upaya hukum berdasarkan prinsip restoratif yang disuarakan oleh Presiden dalam Pidato Kenegaraan hanya akan menjadi slogan belaka, karena kekuasaan atau diskresi masih berada di atas undang-undang. Preseden buruk akan terjadi di kala kepentingan sebagian orang yang ingin “mengambil muka” terhadap kekuasaan kemudian melupakan aturan dan komitmen bersama.
Kita belum lupa dengan sejarah dalam penyelenggaraan Pemilu yang pernah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Bahkan dalam beberapa periode kepemimpinan, Pemilu dirasa oleh sebagian pihak masih belum mencerminkan prinsip-prinsip negara demokrasi atau dengan kata lain dilakukan tidak dengan jujur, adil, dan bersih.
Pada zaman orde baru, sistem penyelenggaraan Pemilu maupun Hukum masih diragukan independensi dan netralitasnya. Hal ini juga berpengaruh pada kualitas sistem kepemimpinan dan perwakilan yang duduk di dalam kekuasaan. Kita mengetahui bersama dan bahkan beberapa dari masyarakat yang hidup saat ini masih ingat dengan bagaimana orde baru dijalankan. Terlepas dari pembangunan nasional yang telah dicapai, penyelenggaraan negara demokrasi sangatlah terasa gelap dan tertutup. Kekuasaan menjadi simbol dimana-mana. Para penguasan seolah melenggang mudah dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri.
Oleh sebab itu, rakyat kemudian merasa “tidak tahan” dan bergerak untuk reformasi. Bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia dapat berjalan dan legacy dari para pendahulu kita mengingatkan bahwa kekuasaan merupakan hal wajar namun bukan bersifat mutlak atau absolut. Kebijaksanaan, etika, dan moral masih menjadi hal terdepan sebagai falsafah dan prinsip hidup bangsa Indonesia.
Penting dalam hal ini saya menegaskan dalam tulisan ini bahwa manusia pada hakikatnya tidak sempurna, sehingga ketika melakukan tindakan atau mengambil keputusan, terkadang keluar dari jalur atau aturannya. Maka dari itu kita tidak berprasangka kepada siapapun melainkan perlu untuk mengedepankan kebijaksanaan dalam mengambil sebuah keputusan atau dalam berbagai tingkah laka laku kita di masyarakat.
Namun perlu ditekankan dalam hal ini, bahwa diskresi yang diberikan oleh undang-undang tidak serta merta membuat seorang pejabat atau penyelenggara negara bebas dan merdeka seluas-luasnya. Hal ini masih perlu disesuaikan dengan aturan dan keadilan sosial di masyarakat.
Idealnya, penegakan hukum harus menjunjung tinggi persamaan di muka hukum, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Penegakan hukum tidak boleh dijadikan alat bagi kekuasaan untuk menjalankan kekuasaannya dan menimbulkan kekacauan hukum apalagi berdampak buruk pada keamanan dan ketertiban masyarakat.