TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Menteri Luar Negeri Antony Blinken menuduh jaringan media Rusia secara sistematis mengkampanyekan kebijakan politik Kremlin.
Pernyataan Blinken diikuti pernyataan James Rubin, Kepala Pusat Keterlibatan Global (GEC) Departemen Luar Negeri.
Rubin menuduh organisasi berita Russiya Segodnya secara sistematis merusak dukungan global untuk Ukraina.
"Salah satu alasan mengapa begitu banyak negara di dunia tidak sepenuhnya mendukung Ukraina seperti yang diharapkan adalah karena cakupan dan jangkauan Russia Today yang luas," tuduh Rubin.
Lima tahun lalu, Hillary Clinton menuduh Rusia dan medianya mencampuri Pilpres Amerika, dan membuat Donald Trump terpilih, mengalahkan dirinya.
Baca juga: Media Rusia Sebut Perang Tanpa Garis Depan Telah Terjadi di Kursk
Baca juga: Terlibat Kerja Sama dengan Media Rusia, Mantan Penasihat Trump Didakwa Pencucian Uang
Baca juga: Media Rusia Soroti Wanti-wanti Presiden Jokowi, Negara Asia-Pasifik Jangan Jadi Antek Asing
Langkah keras aparatur Amerika ditandai serbuan tak kurang 20 agen FBI ke tempat tinggal seorang pekerja media jaringan Russia Today di Miami, Florida. Semuanya bersenjata.
Saat didatangi subuh-subuh, perempuan pekerja itu sedang tidur. Ia tak diberi kesempatan berganti pakaian lengkap. Tubuhnya digeledah petugas.
Entah apa yang sedang dicari, perempuan jurnalis itu mengaku berkali-kali dilecehkan sepanjang penggeledahan.
Sesudah itu ia diinterogasi selama lebih kurang empat jam. Segala hal ditanyakan, terutama tentang hal-hal sepele menyangkut Margarita Simonyan.
Margarita Simonyan adalah orang nomer satu di grup media Rossiya Segodnya, yang mengelola jaringan media Russia Today dan Sputnik.
Wakil Margarita Simonyan Elizaveta Brodskaya juga dikorek-korek. Begitu pula direktur jaringan Russia Today berbahasa Inggris, Andrei Kiyaskho.
Telepon seluler pekerja media itu disita, tapi tidak ada tuduhan apa-apa kepadanya. Sesudah aparat FBI meninggalkan rumahnya, ia langsung terbang meninggalkan Miami.
Konsul Rusia membantunya membelikan tiket pesawat untuk pulang ke Federasi Rusia lewat negara ketiga.
Ini adalah babak baru perang Amerika melawan media Rusia. Departemen Kehakiman Amerika Serikat beberapa waktu lalu menuduh media Rusia memecah belah negaranya.
Tindakan hukuman baru terhadap media-media Rusia juga diumumkan Jaksa Agung AS Merrick Garland.
Tindakan agresif langsung dialami Scoot Ritter. Mantan inspektur senjata PBB yang pensiunan Kolonel di intelijen Marinir Amerika itu dijegal saat hendak pergi ke Sankt Petersburg Rusia.
Rumahnya digeledah petugas FBI. Tidak ada tuduhan resmi dikenakan kepadanya. Scoot Ritter dipersekusi karena ia jadi kolumnis media Rusia.
Analisis dan komentarnya lugas, dan memperlihatkan kebobrokan politik Amerika dalam masalah Ukraina maupun Timur Tengah.
Apa yang sedang terjadi? Mengapa super power yang mengklaim kampiun demokrasi, sekarang berperang melawan media?
Tara Reade, mantan staf khusus Joe Biden menyebut elite kekuasan di Amerika kini tampak sedang putus asa.
Mereka ingin membungkam suara-suara alternatif yang membuka fakta dan kedok perang proksi Amerika di Ukraina.
Media Rusia di bawah jaringan Rossiya Segodnya menunjukkan informasi versi mereka telah mengancam narasi kompleks industry militer dan komunitas intelijen Amerika.
"Mereka mencoba mengkriminalisasi jurnalisme," kata Tara Reade seraya memperingatkan ancaman serupa akan menimpa outlet media lain di manapun yang tak ksesuai kehendak Washington.
Mantan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika dan pensiunan perwira intelijen CIA Larry Johnson menyebut kebebasan berbicara di Amerika sedang diserang.
Johnson pun sedang menunggu waktu apakah dirinya akan dipersekusi seperti halnya Scott Ritter, karena ia kerap berbicara kritis di media Russia Today.
Mantan analis Departemen Pertahanan AS Karen Kwiatkowski memperkirakan kampanye hukum terhadap media Rusia ini erat kaitannya dengan usaha elite Washington meningkatkan histeria Russiagate jelang Pilpres November.
Siapa yang bakal memetik manfaat dari histeria Russiagate ini tentu saja kubu Demokrat yang menjagokan Kamala Harris sebagai penerus Joe Biden.
Pernyataan Karen Kwiatkowski tentang Russophobia dan Pilpres AS memang masuk akal. Tapi lebih dari itu, perang melawan media Rusia ini juga memiliki dimensi lain.
Realitas menunjukkan ada begitu banyak hal terjadi di konflik Rusia-Ukraina, tetapi media arus utama barat selalu menarasikan kepentingan Amerika, Uni Eropa, dan NATO.
Terutama paling signifikan adalah bagaimana media arus utama barat menempatkan sejarah konflik Rusia-Ukraina dan apa yang terjadi di Eropa Timur secara ahistoris.
Cara pandang sama dilakukan media barat terhadap konflik di Sudan, Somalia, Yaman, Suriah, dan tentu saja Palestina.
Mereka menutup mata berbagai peristiwa di Ukraina dan Eropa Timur, jauh sebelum Rusia menggelar operasi militer khusus ke Ukraina pada 24 Februari 2022.
Revolusi EuroMaidan 2014 yang diorkestrasi Amerika dan NATO lewat kelompok-kelompok ultranasionalis dan neo Nazi Ukraina, berhasil menjungkalkan Presiden Viktor Yanukovich.
Yanukovich dianggap terlalu pro-Moskow, dan menghalangi keinginan sebagian elite Kiev yang berusaha membawa Ukraina ke Uni Eropa dan NATO.
Di saat yang sama, Amerika dan NATO menjalankan strategi ekspansi NATO ke Eropa Timur, sesuatu yang tidak pernah dilakukan sejak perang dingin berakhir dan Uni Soviet bubar.
Moskow sudah berulangkali mencoba berunding dengan Amerika, NATO, dan Uni Eropa tentang arsitektur keamanan Eropa dan politik non-ekspansionis NATO.
Upaya Rusia itu tidak pernah didengar dan diperhatikan, dan pada akhirnya Moskow berpikir ulang tentang bagaimana mengamankan halaman depan wilayahnya dari kehadiran pasukan NATO.
Revolusi EuroMaidan 2014 pun meninggalkan bara masalah di wilayah Donbass, yaitu di Lugansk dan Donetsk, yang mayoritas warganya menolak Ukraina baru di bawah rezim ultra nasionalis Kiev.
Bertahun-tahun sejak 2014, pasukan Kiev membombardir wilayah Donbass, mempersekusi penduduknya yang berkultur dan berbahasa Rusia.
Kelompok perlawanan Donbass memperoleh dukungan dana dan senjata dari Rusia. Konflik ini hendak diselesaikan lewat Perjanjian Minsk 1 dan 2.
Jerman dan Prancis bertindak sebagai garantor atau penjaminnya. Apa yang terjadi kemudian? Kesepakatan Minsk itu hanya menjadi catatan di atas kertas belaka.
Waktu panjang selama upaya perdamaian ala Kesepakatan Minsk, ternyata digunakan NATO untuk memperkuat militer Ukraina.
Jerman dan Prancis tidak melakukan tindakan apapun untuk meredakan bombardemen Ukraina ke wilayah Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk.
Perjanjian Minks telah gagal total, yang pada akhirnya memaksa penduduk Donbas meminta bantuan militer Rusia.
Uni Eropa dan NATO memang berusaha menarik Ukraina ke blok mereka, dan menjadikan sebagai garis depan pertahanan NATO menghadapi Rusia.
Inilah masalah sesungguhnya. Ancaman serius bagi Rusia yang membuat Vladimir Putin pada akhirnya berpikir untuk mencegah hal itu sebelum benar-benar terjadi.
Operasi khusus militer ke Ukraina yang dimulai 24 Februari 2024 kini menciptakan perimeter lebar dan luas, yang bisa menjauhkan rudal-rudal NATO tepat di garis perbatasan Rusia-Ukraina.
Wilayah Donbas di timur Ukraina telah resmi bergabung dan diterima ke Federasi Rusia, menyusul wilayah Krimea bertahun sebelumnya.
Operasi militer Rusia terus berlanjut di Ukraina, dengan target utama memaksa Ukraina dudu di meja perundingan dan menyepakati masalah-masalah krusialnya.
Rusia menghendaki Ukraina jadi negara netral, tidak bergabung ke Uni Eropa maupun NATO, dan membersihkan elemen-elemen militernya dari kekuatan neo-Nazi.
Jika ini tercapai, perang akan berakhir, dan Rusia memastikan halaman depan wilayahnya tidak dibanjiri militer NATO.
Inilah realitas sejarah yang jarang disentuh media arus utama barat, dan sebaliknya menjadi komoditas yang dinarasikan secara baik oleh media global Rusia.
Kekuatan jaringan media Rusia di bawah Rossiya Segodnya kini memang telah melampaui jangkauan CNN, BBC, dan lain-lain yang menjalankan kebijakan sudut pandang barat.
Tara Reade menegaskan, persekusi dan upaya membungkam media Rusia justru meningkatkan reputasi jaringan Rossia Segodnya sebagai perusahaan media jurnalistik yang sangat bagus yang secara efektif menjangkau audiensnya di berbagai benua.
Memerangi media dalam konteks apapun, akan membuat Amerika dan barat semakin mengokohkan diri sebagai kekuatan hegemonik yang ogah menerima kenyataan tatanan dunia telah berubah.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)