Oleh: Dr I Wayan Sudirta, SH, MH
Anggota Komisi III DPR RI
AKHIR-AKHIRini kita disibukkan dengan pemberitaan mengenai Kaesang, Erina (istri Kaesang), dan fasilitas Private Jet.
Kita seringkali melihat dan mendengar dari berbagai media baik media sosial, media elektronik, maupun dari media massa lainnya tentang fenomena yang terjadi pada anak Presiden, Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono yang beberapa waktu lalu melakukan perjalanan keluar negeri (Amerika Serikat) menggunakan private jet yang diduga merupakan pemberian fasilitas dari salah seorang pengusaha.
Biaya yang diperkirakan sebagai biaya perjalanannya juga tidak tanggung-tanggung merupakan biaya yang besar.
Video yang beredar luas tersebut memperlihatkan kegiatan Kaesang dan istrinya yang melakukan perjalanan dengan private jet Gulfstream G650ER (Nomor Registrasi N588SE) di tengah kehamilannya di bandara Adi Soemarmo Solo, Jawa Tengah.
Video tersebut juga menampilkan adanya tudingan tentang biaya perjalanan dan pembelanjaan barang bermerek yang mahal, bahkan tanpa melewati Bea Cukai.
Video tersebut memang diberi spill atau keterangan mengenai siapa yang memberikan fasilitas tersebut atau tag mengenai “Gratifikasi yang diterima Kaesang”.
Terakhir Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) melaporkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemberitaan terkait putra bungsu Presiden Jokowi ini selanjutnya memang cukup detail.
Jejak-jejak digital mengindikasikan hadirnya seorang pebisnis muda yang membantu dalam pemberian fasilitas tersebut (GY).
Beberapa pihak bahkan menduga bahwa pengusaha tersebut adalah pendiri Sea Limited.
Terlepas dari keberhasilannya, seluruh pihak kemudian menuding bahwa ada kepentingan pengusaha tersebut dengan Presiden dan keluarganya.
Seperti diketahui bersama, Kaesang kemudian telah datang dan memberikan penjelasan kepada publik bahwa dirinya mendatangi KPK untuk memberikan keterangan tentang apa yang terjadi dan penerimaan yang diduga sebagai gratifikasi.
Fenomena ini memang mengundang perhatian masyarakat atau viral di media sosial, dengan berbagai komentar dan pendapat yang lebih kurang sinis terhadap Kaesang dan istrinya, di kala banyak demonstran berunjuk rasa di DPR terkait RUU Pilkada beberapa waktu lalu.
Pada saat itu media dan masyarakat memberi perhatian besar terhadap sensitivitas seluruh pejabat termasuk keluarganya, khususnya Presiden Joko Widodo mengenai beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini.
Pro dan kontra hadir dalam beberapa kebijakan dan mengaitkan dengan politisasi oleh “istana” terhadap beberapa kebijakan dan kejadian di bidang sosial-politik.
Masyarakat kemudian menyoroti gaya hidup dari keluarga Presiden
Namun entah bagaimana dan apa yang menjadi penyebabnya, pihak Istana justru kemudian memberikan pembelaan.
Kepala Presidential Communication Officer (PCO) Hasan Nasbi memberikan keterangan pembelaan terhadap Kaesang.
Dalam keterangannya, Hasan Nasbi juga menyinggung tokoh lain yang kerap menggunakan Jet Pribadi seperti Presiden Kelima, Megawati Soekarnoputri, Ketua DPR RI, Puan Maharani, hingga mantan Menkopolhukam, Mahfud MD dan Mantan Wakil Presiden, Mohammad Jusuf Kalla.
Pihak Istana merasa tidak adil dan menduga adanya upaya “trial by the press” atau “trial by netizen” terhadap Kaesang.
Saya kemudian tergerak bukan untuk menuduh atau membela.
Namun apa yang menjadi keterangan dari Kepala POC Istana Presiden tersebut terlihat bukan seperti pembelaan, namun malah seperti mencoba menyalahkan orang lain juga.
Tindakan ini bukan tindakan etis dan bijaksana apabila benar bahwa keterangan tersebut semata hanya untuk membela Kaesang dan keluarga Presiden, dengan menyamakan dengan yang lain seolah itu sama dan wajar atau sama buruknya.
Memahami Logika dalam Gratifikasi
Gratifikasi adalah salah satu kelompok dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang.
KPK telah membagi 30 perbuatan korupsi yang kemudian dikelompokkan dalam tujuh kelompok tindak pidana korupsi tersebut adalah suap-menyuap, perbuatan merugikan negara, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan, pengadaan, dan gratifikasi.
Aturan tentang gratifikasi telah diatur dalam Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan oleh pengusahan tersebut bisa jadi dikategorikan sebagai gratifikasi terhadap Presiden dan keluarganya, sebagaimana diatur juga dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 sebagaimana juga disampaikan oleh Prof Jimly Ashiddique.
Menurut Beliau, gratifikasi memang belum masuk isu tipikor atau suap, namun mengingatkan bahwa menurut TAP MPR, korupsi keluarga pejabat juga dapat diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Kaesang memang bukan Pejabat Penyelenggara, namun ia adalah adik Walikota Solo dan anak dari Presiden RI.
Berdasarkan logika tersebut, gratifikasi yang diterima Kaesang tersebut masih dalam tahap penetapan sebagai gratifikasi yang kemudian dilaporkan.
APH kemudian dapat menelusuri apakah gratifikasi tersebut diberikan dengan maksud untuk memberi fasilitas dan kemudahan sehingga berpengaruh kepada Pejabat Penyelenggara Negara.
Untuk kemudian membuktikannya sebagai tindak pidana korupsi, APH perlu juga menelusuri keuntungan atau benefit apa yang diterima oleh si pemberi Gratifikasi dari Pejabat Penyelenggara tersebut.
Oleh sebab itu, penerimaan Gratifikasi oleh Kaesang perlu dibuktikan lebih lanjut mengenai apa yang didapatkan oleh pemberi Gratifikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Walaupun telah ada keterangan dan pembuktian dari berbagai data yang telah dilaporkan atau diberitakan tersebut, namun pembuktiannya harus dilakukan oleh APH secara prosedural.
Namun begitu, APH (khususnya KPK) kini harus memberikan jawaban dan pertanggungjawaban publik bahwa KPK telah bertindak secara independen dan netral.
Hal ini akan menjadi tolok ukur kemampuan KPK dalam memonitor dan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Publik tentu akan menunggu tindak lanjut dari KPK.
Selain itu, peristiwa gratifikasi ini juga mengingatkan kita pada persoalan etika yang mencuat pada saat Pemilu lalu.
Putusan MK terkait umur calon Presiden dan Wakil Presiden dan pencalonan Gibran pada saat itu dinilai sangat tidak etis mengingat ayahnya masih menjadi Presiden dan dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest).
Adapun tindakan Kaesang tersebut bisa jadi juga menimbulkan benefit bagi si pemberi gratifikasi terhadap kepentingan bisnis maupun kepentingan lainnya seperti kemudahan perizinan, kebijakan atau aturan yang memudahkan, dan beberapa priviledge lainnya. Hal ini tentu akan sangat bertentangan dengan etika dan dengan sendirinya merupakan tindak pidana korupsi atau suap.
Mengenai pembelaan oleh Ketua POC atau pihak istana tersebut, saya menilai bahwa memang benar bahwa keterangan tersebut bukan menjadi hal yang perlu dipusingkan oleh semua pihak, karena bukan mencerminkan pendapat dan kajian substansi yang utuh.
Permasalahan penggunaan jet pribadi bukanlah hal yang salah atau haram. Namun perlu diketahui bahwa penggunaannya yang sesuai dengan aturan dan kewajaran tentu tidak akan menimbulkan polemik atau permasalahan hukum.
Kita harus memahami secara utuh logika aturan dan etika dalam penyelenggaraan negara.
Aturan mengenai gratifikasi, suap, conflict of interest, hingga tindak pidana korupsi memiliki latar belakang, filosofi, dan pemahaman secara sosial dan yuridis.
Trial by the press or by netizen ini bukan merupakan proses hukum, namun merupakan bagian dari pendapat masyarakat yang mulai “gerah” dengan tindakan, kebijakan, politisasi, hingga gaya hidup dari Pejabat dan keluarganya.
Masyarakat mulai melihat lunturnya integritas dan moralitas yang seharusnya menjadi etika yang harus dikedepankan oleh pejabat negara dan keluarganya.
Sebuah proses hukum juga tentu tidak dapat dihindari bahwa dapat dipengaruhi oleh berbagai hal atau bidang, termasuk apa yang terjadi dalam masyarakat sebagai sumber hukum dan keyakinan hakim; walaupun harus dilakukan sesuai dengan dimensi konstitusional dan peraturan perundang-undangan.
Kita tentu ingat dengan kasus TPPU yang mulai ramai dibicarakan terkait dengan tindakan penganiayaan dan kekerasan oleh anak yang menyeret pejabat Kemenkeu.
Tudingan terhadap penumpukan dan harta kekayaan yang fantastis ini juga muncul sebagai permasalahan disamping adanya kasus kekerasan yang dilakukan oleh anaknya.
Apa yang menjadi tudingan tersebut memang kemudian mencuat bersama dengan temuan PPATK dan disampaikan oleh Menkopolhukan pada saat itu sebagai fakta empiris yang tidak dapat dihindari.
Apa yang terjadi merupakan das sollen dari sebuah kebijakan di masyarakat merupakan hal yang perlu untuk menjadi acuan dan fenomena dalam kajian ilmu hukum. Hal ini juga menjadi dampak atau impact dari aturan sebagai kontrol sosial (law as a tool of social engineering).
Kini publik tentu menunggu kelanjutan dan ujung dari “penerimaan” oleh Kaesang sebagai Anak dari Presiden RI dan Adik dari Walikota Solo dari Bos Shopee tersebut.
Pada saat ini, banyak pihak menilai atau menduga bahwa pihak istana seringkali memberikan pengaruh atau politisasi pada berbagai bidang, terutama institusi dan proses penegakan hukum.
Oleh sebab itu, penanganan permasalahan ini akan menjadi pembuktian bagi KPK dan aparat penegak hukum, sesuai tusinya untuk menjalankan tugas dan kewenangannya secara independen dan netral sesuai dengan prinsip rule of law, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu (equality before the law).
Harapan saya agar penegakan hukum benar-benar bertrasnformasi menjadi transparan, profesional, dan independen!