Perang asimetris atau pertempuran asimetris adalah jenis perang antara pihak yang terlibat yang memiliki perbedaan yang signifikan dalam kekuatan militer, strategi, atau taktik.
Jenis perang ini sering melibatkan gerilyawan atau milisi gerakan perlawanan yang mungkin memiliki status sebagai kombatan yang melanggar hukum terhadap pasukan organik. Contoh perang asimetris di Indonesia terjadi di Papua.
Adapun perang siber adalah semua tindakan yang dilakukan secara sengaja dan terkoordinasi dengan tujuan mengganggu kedaulatan suatu negara. Perang siber dapat berupa serangan terorisme (cyber terrorism), spionase (cyber espionage), penyelundupan narkoba dan sebagainya yang mengganggu keamanan nasional suatu negara.
Kini kita coba fokus pada perang siber. Dalam pertempuran modern saat ini, "center of gravity" kita adalah perang siber karena perang siber memerlukan bagaimana kita menghadapi perang proksi, perang asimetris, dan perang propaganda.
Merujuk laporan perusahaan keamanan siber asal Rusia, Kaspersky, terungkap ruang digital Indonesia sudah digempur hampir 6 juta ancaman siber selama kuartal pertama 2024 atau Januari hingga Maret saja. Belum pada kuartal kedua dan ketiga.
Sejak 2020 hingga kini Indonesia sudah puluhan kali mengalami serangan siber.
Misalnya, data di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) dibobol grup ransomware Brain Chiper, Kamis (20/6/2024). Serangan ransomware itu dilaporkan mengunci data di 282 kementerian/lembaga. Belum diketahui data apa saja yang bocor.
Teranyar adalah insiden kebocoran data yang dialami Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Sebanyak 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diduga dicuri oleh peretas beridentitas Bjorka.
Data NPWP yang bocor ke tangan peretas Bjorka termasuk milik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Kita bisa bayangkan betapa ngerinya jika sistem navigasi udara, laut dan darat diserang sehingga seluruh angkutan dan sistem pertahanan lumpuh.
Begitu pun jika sistem perbankan diserang sehingga menyebabkan perekonomian nasional lumpuh.
Angkatan Siber
Merespons berbagai serangan siber itu, berbagai pihak mendesak agar pemerintah membentuk Angkatan Siber untuk melengkapi tiga matra angkatan yang sudah ada, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU).
Ketua MPR Bambang Soesatyo telah mengamplifikasi desakan tersebut dalam Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2024. Gayung bersambut, Presiden Jokowi telah memerintahkan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto agar TNI membentuk Angkatan Siber.
Presiden Jokowi akan lengser keprabon pada 20 Oktober nanti. Tentu saja pembentukan Angkatan Siber harus diambil alih atau "take over" oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Selain siap menghadapi ancaman perang konvensional, TNI juga harus siap menghadapi ancaman perang nonkonvensional seperti perang siber, perang proksi dan perang asimetris.
"Si Vis Pacem Parabellum" (jika mau berdamai, bersiaplah untuk perang)," kata pepatah Latin.
Kalau sudah begini, militer Indonesia akan kembali menjadi Macan Asia. Insya Allah.