Setia dengan ipoleksosbudhankam bersendi pancasila. Demikian pula demokrasi politiknya.
Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Perwakilannya diisi lewat keterpilihan (utusan parpol) dan keterwakilan (utusan daerah dan utusan golongan). Ketiganya membentuk trikameral yang manunggal menjadi lembaga tertinggi negara: MPRRI.
Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. … Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid.”
Sangat jelas dari sila keempat bahwa negara Indonesia tidak boleh dipimpin oleh satu golongan agama, oleh satu golongan orang kaya (oligarkhi), oleh satu gologang ras dan etnis; tidak dipimpin oleh para bangsawan atau salah satu raja; tidak dipimpin oleh satu kekuatan bersenjata; tidak juga para preman. Bangsa Indonesia harus dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan.”
Pertanyaannya, "mengapa hukum tata negara yang canggih itu dihapus lewat amandemen?
Entahlah. Sejarah kita memang parah. Para pendiri republik susah payah merekonstruksinya, generasi setelahnya membuangnya.
Akhir kata, selamat bekerja keras dan cerdas pada pemerintahan baru. Kerja akbarnya balik ke konstitusi asli.
Kerja subtantifnya membalikkan kondisi ekonomi gelisah menjadi cerah.
Mengapa akbar dan subtantif karena tingkat kerusakan ekosistem berbangsa dan bernegara kita tidak bisa diatasi kecuali dengan revolusi pancasila yang struktural dan kultural agar hadir kembali negara pancasila. Semoga.