Oleh Pdt. Penrad Siagian, Anggota DPD RI 2024-2029
Keagensian Luas, Kelembagaan Terbatas
Pemilu 2004 merupakan kelahiran DPD RI sebagai bentuk pembaruan politik mendasar dengan dimulainya sistem bikameral di Indonesia, yaitu adanya dua kamar dalam lembaga perwakilan di tingkat pusat.
Selain DPR RI yang keanggotaannya dipilih melalui pemilu parpol, keanggotaan DPD yang di luar jalur partai dipilih langsung oleh masyarakat sebagai perwakilan provinsi. Kelahiran lembaga DPD sebagai amanat konstitusi sejatinya memiliki posisi yang kuat dalam sistem ketatanegaraan.
Hal ini diharapkan menjadi penyalur aspirasi dan kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggara negara.
Dalam UU No 22 Tahun 2003, dengan tegas dinyatakan tentang fungsi legislasi dan pengawasan DPD, yaitu ikut membahas dan mempertimbangkan penyusunan RUU dan pelaksanaan UU.
Selain itu, DPD juga mempunyai fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
DPD juga terlibat dalam uji kelayakan calon anggota BPK. Kewenangan DPD dibatasi hanya pada hak pengajuan dan keikutsertaan dalam membahas undang-undang yang menyangkut isu-isu di atas.
Mekanisme pengambilan keputusan dalam penetapan UU yang berkaitan dengan persoalan daerah, DPD tidak memiliki kewenangan lebih jauh.
Sebagai lembaga, DPD tidak lebih sebagai kamar tambahan di parlemen yang khusus menangani persoalan daerah. Hal itu terjadi karena konstruksi undang-undang yang mengatur tentang MPR, DPR dan DPD, dan DPRD (UU MD3) memosisikan DPD sebagai lembaga yang sangat terbatas.
Kewenangan DPD yang diatur dalam UU MD3 hanya pada mengusulkan rancangan undang-undang, dapat memberikan pertimbangan atau membahas suatu rancangan undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan undang-undang. Hasil dari semua upaya DPD dalam ranah legislasi seluruhnya tergantung pada keputusan DPR.
Posisi DPD yang demikian menjadikannya tidak sekuat lembaga Senat di Amerika Serikat yang mencirikan representasi kewilayahan yang sangat bertenaga.
Persis pada kondisi keterbatasan fungsi dan kewenangan semacam inilah terletak persoalan mendasar mengenai representasi setengah hati yang diberikan kepada DPD sebagai poros aspirasi kepentingan daerah yang pada awalnya diharapkan menciptakan deliberasi demokrasi sebagai kritik terhadap ciri sentralistik negara.
Padahal, dari segi legitimasi politik, anggota DPD memiliki kedudukan yang kuat.
Keanggotaan DPD yang terlepas dengan partai politik dengan basis konstituennya yang mengandalkan kapasitas personal, menempatkan anggota DPD sebagai agensi yang lebih independen.
Dari segi rekrutmen politik, pemilu DPD menghasilkan jalan pintas dalam menjaring ragam latar belakang profesi yang menciptakan sirkulasi elite politik yang lebih sehat bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Dari segi preferensi politik konstituen, pemilu DPD juga berhasil memunculkan komunikasi politik yang tidak berjarak dari konteks lokal melalui ikatan kontraktual yang lebih responsif dengan pemilihnya.
Dengan demikian, tidak ada kesenjangan antara proses pengambilan keputusan yang berlangsung di antara para wakil parlemen dengan kepentingan masyarakat di daerah.
DPD membuka peluang partisipasi yang lebih nyata antara pusat dan daerah, mendorong proses politik yang lebih peka pada isu-isu lokal, hal yang kerap diabaikan partai politik.
Berselancar Dalam Keterbatasan
Komplikasi keterbatasan fungsi dan wewenang DPD bisa dilihat dari capaian program legislasi nasional (prolegnas) dan rancangan undang-undang (RUU) yang dihasilkan. RUU yang menjadi usulan DPD kerap terabaikan.
Dalam proses legislasi, DPD dipandang sebagai lembaga yang tidak bertaji. Minimnya kontribusi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari fakta keterpasungan DPD dari sisi fungsi dan kewenangannya.
Bagaimanapun, dalam posisi keterbatasan fungsi dan kewenangan lembaga DPD, sulit mengharapkan prestasi gemilang dalam merepresentasikan kepentingan daerah secara optimal.
Jalur alternatif di luar aturan normatif (rule-driven) terpaksa harus ditempuh, termasuk melalui cara yang biasa digunakan organisasi masyarakat sipil, yaitu kampanye media dan pernyataan sikap ke publik, hal yang mungkin menimbulkan penilaian sumir terhadap peran DPD.
Terlebih lagi, sikap DPD yang ditujukan sebagai kontrol terhadap eksekutif yang seyogyanya disampaikan dalam mekanisme parlementer, ketika disampaikan melalui jalur alternatif dipandang bias oposisi.
Ini bukanlah sikap menguntungkan bagi sebuah lembaga negara yang posisinya terbatas, sekaligus bukan sikap populis bagi pimpinan lembaganya yang notabene politisi yang ikut berkompetisi dalam momen elektoral.
Bahkan setelah dua dasawarsa berlalu, setelah kelahirannya sebagai mandat reformasi, lembaga DPD dari periode ke periode menggunakan rute advokasi yang nyaris serupa.
Maka, jika beberapa prestasi DPD periode 2019-2024 sempat ditorehkan karena dinilai responsif dalam menanggapi persoalan yang ada, hal ini patut mendapat apresiasi luas karena kemampuan pimpinan DPD melakukan selancar politik di tengah keterbatasan akut.
Strategi Baru Penguatan DPD
Kewenangan legislasi DPD diatur pada Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, keterbatasannya tidak lepas dari konstruksi hukum yang mengalasinya. Kewenangan tersebut sangat bergantung pada DPR, yang berarti juga memperturutkan proses komunikasi intensif untuk mencapai kesepakatan dengan partai politik.
DPD sendiri telah berupaya melakukan upaya konstitusional melalui permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan tersebut kemudian berbuah Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012.
Mahkamah Konstitusi menguatkan kewenangan DPD sebagaimana yang dimaksudkan di awal pembentukannya di mana parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral); DPR dan DPD. Namun kembali terjadi, kewenangan legislasi DPD dibatasi, putusan MK tersebut tidak diakomodir dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Upaya pengajuan uji materi kali kedua setelah pengesahan UU tersebut bernasib sama.
Di sisi lain, mekanisme kerja antara DPD dan pemerintah daerah belum diatur secara rigid guna mengefektifkan hubungan kerja di antara keduanya. Hal ini semakin mencerminkan posisi kelembagaan DPD yang awalnya ditujukan sebagai representasi untuk memperkuat otonomi daerah kian lemah.
Kesadaran dan pengetahuan mengenai fungsi DPD pun masih rendah. Maka, strategi penguatan DPD periode baru ini mesti berpijak pada pengalaman empiris yang didasarkan pada evaluasi yang mendalam.
Lantas, tawaran kebaruan apa yang hendak dijalankan oleh DPD periode 2024-2029 untuk mengatasi kompleksitas persoalan yang mendera sepanjang 4 periode lalu?
Berdasarkan evaluasi DPD periode 2019-2024, setelah 25 tahun reformasi konstitusi, penguatan lembaga DPD harus diperjuangkan, paling tidak melalui; pertama, perbaikan sistem politik ketatanegaraan melalui agenda perubahan ke-5 UUD 1945, untuk menata ulang sistem perwakilan di Indonesia yang belum sampai pada tahap ideal.
Penguatan DPD niscaya dilakukan untuk menggerus subordinasi antarlembaga negara di mana semestinya parlemen dua kamar ini memiliki fungsi dan wewenang yang sama kuat untuk menciptakan kontrol vertikal maupun horizontal.
Hanya dengan demikian, kerja DPD sebagai jembatan pusat-daerah dan sebagai representasi yang memperjuangkan kepentingan dan aspirasi daerah dalam perumusan kebijakan nasional dan supra lokal bisa berjalan optimal.
Kedua, langkah ini kemudian diikuti dengan derivasi aturan untuk memperbaiki tata kelola dan pengorganisasian. Berbagai produk turunan undang-undang, selain perlu diharmonisasi agar tidak rancu, juga harus memperjelas fungsi dan kewenangan yang menjadi alas utama bagi DPD merumuskan pengorganisasian lembaga.
Ketiga, DPD periode 2024-2029 perlu menjadi pembaharu dengan meletakkan dirinya sebagai periode transisi ke arah DPD ideal, maka peningkatan kapasitas kelembagaan maupun individual anggota menjadi salah satu agenda prioritas, bukan sekadarnya. Daya tahan dibutuhkan untuk kerja perubahan di situasi sulit, lembaga maupun anggotanya niscaya memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai.
Keempat, konsolidasi internal dan tata organisasi adalah tahapan awal di periode baru, sembari memperkuat energi gerakan melalui partisipasi publik dengan mewujudkan parlemen terbuka (open parliament). Proses orientasi awal anggota perlu ditindaklanjuti dengan konsolidasi internal dan peningkatan kualitas, dibarengi dengan advokasi anggaran untuk mendukungnya.
Strategi ini harus diletakkan sebagai kerja berkesinambungan, karena kita tahu peliknya agenda penguatan DPD membutuhkan pemahaman dan pengenalan mendalam mengenai masalah, hambatan, kegagalan maupun peluang yang sangat mungkin dikapitalisasi atau diciptakan dalam proses politik ke depan.
Kelima, untuk agenda berat ini, tidak pelak membutuhkan kepemimpinan yang kuat serta mengerti seluk-beluk setiap rute kelemahan lama. Kepimpinan DPD juga mesti memiliki kekuatan jaringan politik luas yang memungkinkan proses menemukan konsensus untuk menata ulang sistem perwakilan di Indonesia.
Semua pihak tentu paham bahwa persinggungan kepentingan sangat kuat dalam agenda penguatan ini. Alih-alih menjadikan DPD involutif, mereka harus bekerja membawa DPD evolutif.
DPD selama ini sudah melalui rute advokasi penguatan kelembagaan, baik internal maupun eksternal. Namun, jika selama ini penguatan dilakukan terbatas pada lobi antarlembaga negara dan pelibatan partisipasi publik yang bersifat sporadik, maka pada periode baru ini mesti dilakukan secara terstruktur.
Persis dalam momentum suksesi kepemimpinan nasional saat ini di mana konfigurasi politik mengalami perubahan dan sirkulasi periodik, persinggungan kepentingan yang muncul akibat kerancuan sistem perwakilan tepat untuk ditata kembali demi menyongsong Indonesia emas 2045.
Memosisikan DPD sebagai lembaga setara dalam sistem perwakilan bikameral yang berfungsi sebagai check and balance bagi eksekutif maupun legislatif, justru akan memberi daya bagi demokrasi dan pembangunan, menyongsong Indonesia Emas 2045. (*)