Melihat potensi itu, wajar jika kemudian Rusia usai invasi ke Ukraina yang tak stagnan semakin fokus ke Afrika, di tengah melemahnya perhatian Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Salah satu alat Kremlin adalah pertemuan tingkat menteri pertama Forum Kemitraan Rusia-Afrika, yang akan diadakan pada 9-10 November di Wilayah Federal Sirius (Krasnodar Krai, Rusia)--dulu lebih dikenal sebagai Sochi, tempat Olimpiade Musim Dingin 2014 digelar.
Forum Kemitraan Rusia-Afrika diklaim sebagai ajang untuk memperkuat kerja sama komprehensif antara Rusia dan negara-negara Afrika, tapi jangan lupa ada kekerasan, pembunuhan, perampokan, kudeta, kediktatoran yang diciptakan dan dipelihara Rusia di benua itu.
Moskow tak bisa membantah intervensi mereka di Libya, Sudan, Mali, Republik Afrika Tengah, Niger, Burkina Faso, dan Mozambik faktanya berujung meningkatnya konflik antarnegara, etnis, dan agama, yang berujung pada destabilisasi negara dan kekacauan.
Tindakan Moskow menyebabkan perang dan kelaparan, meningkatkan ketidakstabilan politik dan kelemahan lembaga-lembaga negara di Afrika, memperburuk situasi lingkungan dan meningkatkan ketergantungan teknologi pada Rusia.
Metode yang digunakan Rusia untuk menguasai negara-negara Afrika sepenuhnya bersifat imperialistik dan secara teratur membangun hubungan dengan para pemimpin otoriter di negara-negara Afrika termasuk dengan pasokan senjata yang memastikan posisi para diktator yang menindas oposisi dan melanggar hak asasi manusia.
Baca juga: Simposium Permira: Wujudkan Kerja Sama Pemuda Indonesia-Rusia
Bagi negara paria mana pun, sarang permasalahan seperti ini adalah peluang untuk mencapai tujuannya. Kremlin tidak peduli dengan dampaknya terhadap negara-negara Afrika yang tak stabil. Demi mencuci tangan, kerap intervensi dilakukan memakai proxy perusahaan militer swasta.
Selain secara aktif terlibat dalam penguasaan sumber daya alam di benua Afrika, Rusia juga berupaya mengendalikan rantai logistik yang tidak terputus dari Samudra Hindia hingga Samudra Atlantik.
Hal lain yang tidak diabaikan, mengapa Rusia mencengkam Afrika? Tentu saja untuk mengontrol proses pemungutan suara negara-negara Afrika di PBB mengenai resolusi invasi Rusia ke Ukraina. Secara statistik, Afrika merupakan 25 % negara anggota PBB.
Secara sederhana, ketika mayoritas anggota PBB termasuk Indonesia memilih bersikap netral pada invasi Rusia ke Ukraina, maka berkat suara Afrika yang dikendalikan--jumlah negara yang mendukung Rusia dan jumlah negara yang mengutuknya kurang lebih sama.
Ironisnya, pemimpin negara-negara Afrika yang mendukung Rusia menafikan fakta invasi ke Ukraina pada tahun 2022 yang menyebabkan penurunan pasokan gandum Ukraina dan kenaikan harga gandum di pasar dunia, yang menciptakan kelaparan rakyat mereka.
Pertanyaannya, apakah Presiden Prabowo sadar dengan tantangan besar di depan mata ini? Mengingat tanpa kestabilan politik jangka panjang di Afrika, akan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mencapai tujuan bersama bernama kesejahteraan bersama yang diharapkan.