Oleh: Algooth Putranto
Penyuka Isu Politik dan Ekonomi
GELARAN pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru saja berakhir, proses penghitungan suara resmi (real count) belum usai.
Sesuai jadwal, hasil rekapitulasi akan diumumkan secara serentak pada 15 Desember 2024.
Namun sejumlah calon pemimpin daerah dan partai pendukung sudah ribut menyatakan kemenangannya, atau sebaliknya menyatakan kekalahannya.
Basisnya? Japat keluar (exit poll) dan hitung cepat (quick count).
Baik Exit Poll dan Quick Count keduanya berdasarkan metode kuantitatif.
Jika Anda tahu, paham dan terlatih maka Anda akan bisa melakukan itu.
Bahkan, kasarnya jika Anda tak cukup berotak atau berpengetahuan, asal punya uang bisa menyewa lembaga survei untuk melakukan hal ini.
Nah repotnya, baik Exit Poll dan Quick Count yang secara metodologi mengakui adanya batas kesalahan (margin of error) lantas dijadikan sebagai basis kebenaran yang mutlak untuk berdialektika oleh sejumlah petinggi partai.
Narasi tersebut makin ‘sedap’ karena adanya bumbu tudingan sikap zalim penguasa menggunakan tangan kotor aparat negara. Istilahnya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang kerap terucap oleh pihak yang kalah di pemilu. Komplit!
Baca juga: VIDEO Kemendagri dan Mabes TNI Ungkap Sikap Resmi Soal Polri di Bawah Kemendagri atau TNI
Jika di era Pemilu 2014 dan 2019, Partai Gerindra yang selalu kalah gemar menggunakan istilah TSM, maka tahun ini giliran PDI Perjuangan (PDIP),.
Namun ada tambahan yang lebih spesifik yakni secara terang benderang menyebut Polri sebagai tangan kotor penyebab kekalahan tersebut.
Secara terang benderang, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut keterlibatan aparat Polisi atau Partai Cokelat (Parcok) dalam pemenangan kandidat tertentu pada pilkada serentak 2024.
Tak cukup dengan tuduhan tersebut, elit PDIP bahkan menegaskan sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Polri dikembalikan di bawah kendali Panglima TNI atau dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri.
Usulan ini adalah dialektika yang yang menarik karena lagi-lagi dilontarkan oleh PDI Perjuangan.
Bukan hal baru, karena sudah 10 tahun tersimpan di bawah bantal kekuasaan Joko Widodo ketika meniti mimpi menuju kursi Presiden.
Saya sebut ide melucuti Polri disimpan di bawah bantal karena secara jelas tercantum di dalam dokumen ‘Visi Misi dan Program Aksi’ Jokowi Jusuf Kalla 2014: Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian’ yang dirilis Mei 2014.
Perihal reposisi Polri masuk dalam janji membangun politik keamanan dan dan ketertiban masyarakat yang dibagi menjadi delapan prioritas.
Baca juga: Ramai-ramai Tolak Usulan Polri di Bawah Kemendagri/TNI, Pengamat Jelaskan Risiko
Pada poin e, Jokowi-JK menyatakan akan menata kelembagaan dan tata-wewenang Polri melalui pemisahan antara kewenangan pengambilan keputusan dan kewenangan pelaksanaan keputusan.
Kedua hal tersebut oleh Jokowi-JK dinilai masih tumpang tindih, untuk itu dilakukan dengan menempatkan Polri dalam Kementerian Negara yang proses perubahan dilakukan secara bertahap.
Hal yang kita tahu, disimpan di bawah bantal selama Jokowi berkuasa.
Penjaga Ruang Publik
Saya tidak akan masuk dalam debat perihal model dan sistem Kepolisian Di Indonesia.
Secara keilmuan, bukan bidang saya untuk mengkritisi model dan sistem yang pasti telah mencerminkan nilai-nilai budaya, tradisi hukum, dan struktur organisasi dalam menjalankan fungsi kepolisian.
Saat ini Polri menggunakan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) yang artinya kepolisian berada di bawah kendali pemerintah.
Selain Indonesia, sistem ini dianut Prancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
Mengapa kita tak mengadopsi Sistem kepolisian terpisah (Fragmented System of Policing) yang sepenuhnya otonom atau Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) yang moderat, ini jelas sudah melalui debat yang panjang di pemerintah pasca Polri dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Namun yang pasti, ditempatkan di bawah Kementerian ataupun di bawah Presiden, tugas Polri tetaplah relatif komplek sebagai aparat sipil yang bekerja di ranah ruang publik.
Dalam hal ini ruang publik yang dimaksud tak hanya ruang publik fisik (space) namun juga ruang publik sosial (sphere).
Tugas unik ini menyebabkan sejarah Polri cukup unik.
Baca juga: Sikap Resmi Kemendagri dan Mabes TNI soal Wacana Polri di Bawah Kemendagri atau TNI
Pernah Polri ada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
Pernah pula Polri di bawah Perdana Menteri dengan perantaraan Jaksa Agung dalam bidang politik dan operasional.
Sementara dalam hal pemeliharaan dan susunan administrasi bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri.
Barulah sejak di masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Polri ada di bawah perintah Presiden.
Puncak kesengsaraan Polri terjadi di masa Presiden Soeharto yang mengintegrasikan Polri ke dalam ABRI.
Barulah di masa Reformasi, sejarah Polri berubah.
Karena mengurus ruang publik pula, Polri lekat dengan masyarakat.
Polri yang bertanggungjawab pada keamanan jelas di posisi yang berbeda dengan TNI yang tugasnya fokus pada urusan pertahanan.
Salah satu polisi cerdas, Chryshnanda dalam ‘Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani’ bahkan secara tegas secara retoris bertanya apa peran dan fungsi polisi?
Mengapa dalam masyarakat diperlukan polisi? Apa citra polisi di mata masyarakat?
Dia mengakui masyarakat akan menjawab secara bervariasi, dari positif sampai negatif yang tidak bisa dilepaskan pada cara pikir masyarakat.
Karena sifatnya subjektif, maka belum tentu benar namun ataupun itu, citra polisi di mata masyarakat adalah produk kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisian.
Seperti diketahui polisi, dalam menyelenggarakan pemolisian mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan upaya paksa, melakukan kontrol sosial, bahkan juga kewenangan diskresi.
Kewenangan tersebut tanpa sistem kontrol dan pertanggungjawaban akan mengandung potensi penyalahgunaan.
Dampak dari penyalahgunaan kewenangan polisi itulah yang sedikit demi sedikit terus menggerus citra positif yang telah berusaha dibangun sejak dipisahkan dari ABRI, imbasnya ketidakpercayaan masyarakat meningkat.
Nah, lontaran elit PDIP ini jangan-jangan akumulasi kekecewaan pada institusi Polri.
Saya yakin pernyataan elit politik ini belum tentu subyektif, bisa jadi sekadar rengek para petarung yang tak siap kalah.
Namun apa pun itu, rengekan elit PDIP itu bergema keras di ruang publik sosial.
Jika peka, petinggi Polri mestinya tanggap, karena untuk memulihkan citra yang telanjur tercoreng, butuh biaya sosial yang mahal pula.