Laporan Wartawan Sriwijaya Post, Sugih-Damayanti Pratiwi
TRIBUNNEWS.COM, BANYUASIN - “Kami tidak tahu air hujan itu mengandung apa, dan baik dikonsumsi atau tidak," ungkap Umi Nasiroh (45), warga Desa Margomulyo Jalur 16 Kecamatan Muara Sugihan, Banyuasin, pekan lalu.
"Dari dulu itulah adanya, sumber kehidupan kami dari air hujan. Walaupun kabarnya bisa mempercepat pengeroposan tulang”.
Umi merupakan satu di antara ratuan orang yang tinggal di Jalur.
Mereka memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum dan memasak.
Daerah yang letak geografisnya berada di pesisiran Banyuasin ini, menjadikan air hujan sebagai satu-satunya sumber pokok kehidupan warga.
Beberapa sungai di kawasan Jalur tak bisa dikonsumsi karena sudah bercampur air laut.
Bahkan mengandung bahan karat yang cukup kuat, ditambah airnya yang sudah berwarna.
Menurut Umi, ia dan keluarga lain di Jalur sudah hidup seperti itu sejak 30 tahun lalu.
Ibu beranak tiga ini mengatakan, air sungai atau sumur bor tak bisa dikonsumsi karena kualitasnya yang buruk.
Kondisinya sudah begitu sejak ia dan warga lainnya pertama kali datang untuk bertransmigrasi.
“Dari dulu airnya asin dan berkarat. Kalau mencuci pakaian berwarna putih, seragam sekolah anak-anak contohnya, bukan menjadi bersih tapi makin kotor karena warnanya berubah menjadi kekuningan. Kalau dipakai untuk mandi, badan serasa makin lengket,” terangnya.
Warga Jalur biasa menampung air hujan di wadah besar yang mereka sebut gentong.
Air dari atap rumah dialiri ke gentong itu.
Satu gentong bisa menampung air untuk kebutuhan berminggu, hanya jika digunakan berhemat dan sesuai skala prioritas.
“Bisa cukup untuk dua bulan,” sebut Umi.
Tinggi gentong yang terbuat dari semen itu mencapai hampir dua meter, berdiameter pelukan tiga orang dewasa.
Sebelum mengonsumsi air hujan, warga memang merebusnya hingga mendidih.
Alasannya hanya untuk membunuh kuman atau bakteri yang terkandung di dalam air.
Tapi tak selamanya warga di Jalur mendapat air hujan.
Pada musim kemarau seperti sekarang, mereka hanya memanfaatkan air yang mengendap di gentong.
Bagi keluarga yang memiliki uang lebih, mereka bisa membeli air galonan.
Harganya relatif mahal. Satu galon bisa dijual Rp 15.000-Rp 20.000.
Warga biasanya membeli lebih dari lima galon untuk mencukupi kebutuhan penting seperti makan dan minum.
Persoalan Mandi, Cuci dan Kakus (MCK), mereka terpaksa merapat ke parit selebar dua meter.
Eka (28), warga Jalur lain mengatakan, ia dan beberapa orang pendatang baru kesulitan menyimpan air hujan.
Karena umumnya mereka yang memiliki dua atau lebih wadah penampung, adalah warga lama.
Sedangkan Eka dan pendatang baru lainnya hanya memiliki satu gentong,
“Awalnya minta air sama tetangga yang gentong dan airnya banyak. Lama-lama tidak enak. Mau tidak mau harus beli air galon keliling yang diambil penjual dari Palembang,” sebutnya.
Warga Jalur lain, Jumroni, mengungkapkan ia dan tetangga pernah membuat sumur bor untuk mendapatkan air bersih.
Tapi hasilnya tak sesuai dengan harapan. Air yang keluar tidak berbeda dengan di sungai; berbau, berbui dan berwarna.
“Kami sangat berharap perhatian pemerintah. Belum ada bantuan mengatasi krisis air. Paling tidak mendatangkan orang yang benar-benar ahli tentang sumur bor, agar kami kesulitan selama puluhan tahun segera selesai,” katanya.
Jumroni mengisahkan, ia membuat sumur bor tradisional dan menancapkan paralon ke tanah sedalam 10 meter.
Bahkan warga yang memiliki uang lebih pernah membayar pembuat sumur bor hingga Rp 1,5 juta.
Hasilnya mengecewakan seperti sebelumnya.
“Kami tidak tahu apakah lokasi airnya seperti ini, atau kami yang belum bisa menemukan titik air yang bagus,” ujarnya. (*)
Hindari Air Hujan Pertama
Oleh: Andi Wijaya, Dosen Ahli Tanah Unsri
HUJAN yang turun pertama setelah kemarau panjang bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Air hujan tersebut mengandung asam dan beberapa zat seperti belerang (sulfur).
Nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida.
Beberapa zat-zat itu berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air, lalu membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan.
Kemudian air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah, dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan.
Hujan asam dengan kadar keasaman tinggi bisa menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia.
Kabut yang mengandung asam sulfat bersama-sama udara terhisap dan masuk ke dalam saluran pernapasan manusia, hingga merusak paru-paru bahkan menyebabkan luka bakar pada kulit.
Selain itu, ekosistem sekitar seperti ikan dan tumbuhan bisa mati karena air hujan yang mengandung asam.
Hanya saja kKandungan air hujan yang turun berikutnya masuk kategori aman, karena tidak ada kandungan yang membahayakan.
Asal air hujan itu langsung jatuh dari langit tanpa perantara.
Sistem Penampungan Air Hujan (PAH) dan sistem pengolahan air hujan dilengkapi talang air, saringan pasir, bak penampung dan Sumur Resapan (Sures).
Sumur resapan dapat digunakan untuk melestarikan air tanah dan mengurangi resiko genangan air hujan, atau banjir dengan membuat sumur yang menampung dan meresapkan curahan air hujan.
Prinsipnya, dasar PAH adalah mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan atap melalui talang air untuk ditampung ke dalam tangki penampung.
Limpasan air yang keluar dari tangki penampung telah penuh disalurkan ke dalam sumur resapan.
Sistem pengolahan air hujan mengolah dari bak penampung menjadi air siap minum kualitas air kemasan.
Disarankan, warga untuk mengelola air dalam kondisi seperti ini.
Selain pemerintah harus turun tangan, memastikan pengelolaan berjalan baik dan aman untuk warga. (*)