Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Bagi Orang Indonesia, Aturan di Jepang Terbilang Aneh

Orang Jepang sering menyampaikan, “Orang Indonesia kalau naik motor berempat ya!” Memang, di Jepang

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-in Bagi Orang Indonesia, Aturan di Jepang Terbilang Aneh
IST
ILUSTRASI 

Richard Susilo *)
 

TRIBUNNEWS.COM - Orang Jepang sering menyampaikan, “Orang Indonesia kalau naik motor berempat ya!” Memang, di Jepang maksimum dua orang kalau naik motor. Bahkan umumnya satu motor satu orang.

Meskipun demikian kalau melihat naik sepeda, tidak sedikit ibu-ibu Jepang naik sepeda berempat. Ibu mengendarai sepeda, satu anak di kursi depan, satu anak digendong di belakang punggungnya dan satu anak lagi duduk di kursi anak-anak jok belakang sepeda.

Apabila Polisi melihat hal itu tak masalah. Mengapa? Karena pakai jok khusus anak.  Namun yang aneh, kalau orang dewasa naik sepeda berdua, boncengan, ketahuan polisi, pasti diberhentikan, bahkan ditanyai macam-macam. Orang asing diminta memperlihatkan kartu identitasnya (gaikoku torokusho).

Inilah negeri Sakura yang penuh dengan “keanehan”   dilihat pakai kaca mata orang Indonesia. Itu pula cermin dari peraturan di Jepang. Kalau sudah peraturan, orang dewasa tidak boleh boncengan bersepeda, ya tidak boleh. Di lain pihak ibu rumah tangga dengan tiga anak bebas berboncengan di satu sepeda. Resiko bahaya kalau kita pikir baik-baik, justru ibu dengan 3 anak kalau terjadi kecelakaan. Sedangkan orang dewasa berdua bisa jaga diri,

Peraturan itu kelihatan seperti kaku dan aneh, tapi itulah peraturan yang harus dijalankan sepenuhnya. Semua hal mengacu 100 persen kepada peraturan yang ada. Apabila tak puas, ya mintalah parlemen untuk mengubahnya.

Hal ini sangat erat terkait dengan bisnis. Katakanlah kita mengimpor ke Jepang bahan kecantikan, misalnya minyak essen (essential oil). Tidak bisa seenaknya saja kita memasukkan dan menjualnya, karena harus dapat izin dari Departemen Kesehatan (Depkes) Jepang. Tentu dengan rincian yang sesuai standar di Jepang. Kalau ada unsur kimia tertentu yang dilarang, meskipun sedikit sekali sekali pun, pasti tak diizinkan impor.

Berita Rekomendasi

Seandainya tidak ada izin, toko mana pun tidak akan mau menerima produk tersebut, meskipun produk itu dengan label dan semua keterangan berbahasa Jepang. Lalu apabila kita jual sendiri, ketahuan pihak depkes, bukan hanya denda, ada kemungkinan kita akan dipenjara. Memang itulah hukumnya.

Kasih duit saja ke petugas depkes, habis perkara. Itu di Indonesia mungkin saja terjadi. Tidak akan mungkin terjadi di Jepang karena memang semua sudah terbiasa dengan disiplin dan lurus kepada aturan yang ada. Hukuman jauh lebih berat lagi justru bagi yang berusaha menyogok petugas pemerintah. Itulah hukumnya yang 100 persen dipatuhi dan dijalankan di masyarakat.

Sebuah kasus daging sapi baru saja terkuak ke permukaan. Perusahaan Jepang itu dalam presentasi ke penjual atau ke toko-toko memperlihatkan contoh daging giling sapi 100 persen dari Australia. Calon pembeli pun mencoba dan terbukti memang benar.

Saat transaksi penjualan terjadi, dengan daging dibungkus rapi siap dijual, ternyata gilingan daging sapi itu dicampur dengan daging sapi lain yang lebih murah. Setelah berlangsung sekitar  setahun barulah terbongkar dan presdir Perusahaan itu kini masuk penjara selain didenda yang sangat besar. Pidana penipuan.

Bukan soal hukuman saja, nama pribadinya  hancur di Jepang. Keluarganya pun malu bukan main karena kepala keluarga melakukan penipuan. Cukup sekali berbuat salah. Kejadian ini dipublikasikan luas ke berbagai media massa cetak maupun televisi. Apabila jiwanya tidak kuat, biasanya dia akan bunuh diri karena malu (89 orang per hari bunuh diri di Jepang saat ini).

Kasus-kasus perdagangan yang muncul antara pengusaha Jepang-Indonesia selama ini biasanya kurang memperhatikan hukum atau aturan yang ada.

Misalnya ekspor udang ke Jepang sudah disyaratkan harus memakai peti kemas khusus seperti lemari es dengan kedinginan minus sekian derajat Celcius. Lalu pembekuan udang pun harus dilakukan begini begitu, barulah dimasukkan ke freezer peti kemas.

Sampai di Jepang udang Indonesia tersebut ditolak karena pembekuannya (pendinginannya) dilakukan tidak sesuai ketentuan atau peraturan yang ada. Barang dikembalikan ke Indonesia dan pihak Indonesia kecewa, “Masak begitu saja tak bisa diterima?”

Bukan soal “begitu saja” tetapi sejak awal pembekuan yang dilakukan tidak sesuai standar yang ada, tidak sesuai ketentuan atau peraturan yang telah disampaikan dan telah ditentukan. Contoh sederhana, pembekuan harus minus 30 derajat, freezer hanya melakukan pembekuan nol derajat saja. Pelaksanaan yang berbeda  standar itulah, walau kelihatan sepele, tetap tak bisa diterima pihak Jepang.

Ada baiknya kita mempelajari peraturan,  serta mematuhinya, sebelum melakukan perdagangan dengan Jepang. Itulah sebabnya orang Jepang seolah lambat, karena ingin benar-benar memastikan semua sesuai aturan, aman, barulah jalan. Apabila tidak demikian, ditakutkan bukan untung, malah merugi besar pada akhirnya. Habis waktu, habis uang, habis tenaga, terlebih malu lagi kepada konsumen karena tidak bisa memberikan apa yang harus diberikan, sudah dijanjikan.

Terpaksa harus minta maaf yang luar biasa beratnya (kalau di Jepang minta maaf sangat berat beban moral yang ditanggung, karena sekali kesalahan akan teringat atau diingat seumur hidup). Artinya, kita telah cacat di muka konsumen tersebut. Cukup sekali berbuat salah, "habislah" kita dalam urusan bisnis. Jadi berbisnis dengan Jepang harus sempurna, tak ada separuh-separuh. Tak ada yang tanggung-tanggung. Seolah kaku memang, tetapi itulah Jepang, harus sempurna dalam setiap usaha.

Informasi lengkap lihat: http://www.tribunnews.com/topics/tips-bisnis-jepang.
Konsultasi, kritik, saran, ide dan segalanya silakan email ke: info@promosi.jp

*) Penulis adalah CEO Office Promosi Ltd, Tokyo Japan, berdomisili dan berpengalaman lebih dari 20 tahun di Jepang

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas