Bisnis dan Kaitannya dengan Romantisme Pria Jepang
Banyak wanita Jepang enggan punya suami orang Jepang karena terkesan dingin, Nihonjin ha Tsumaranai
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Banyak wanita Jepang enggan punya suami orang Jepang karena terkesan dingin, Nihonjin ha Tsumaranai, orang Jepang dingin. Begitulah istilah bagi kebanyakan wanita Jepang. Jadi kalau menikah dengan wanita Jepang, umumnya hanya karena uang suami saja, sehingga masa depan terjamin.
Itulah penyebab, banyak wanita Jepang menikah dengan orang asing, termasuk orang Indonesia, karena memang benar-benar pesona cinta, selalu disayang, oleh sang suami di mana pun dan kapan pun mereka bersama. Berpegangan tangan bersama saat santai berjalan-jalan dan kepala disandarkan di dada lelaki Indonesia. Romantisme demikian itu bukanlah budaya pasangan Jepang.
Apa kaitan romantisme itu dengan bisnis? Satu batas tembok yang kekar di Jepang, uang haruslah jelas, tidak peduli suami isteri atau di dalam keluarga sekali pun. Pinjam uang berarti harus kembali. Ini adalah prinsip dan budaya di Jepang. Jadi seorang kakak meminjam satu juta yen dari adiknya, harus mengembalikan satu juta yen, kalau perlu ditambah bunga pinjaman. Tidak ada romantisme di dalam keluarga, apalagi kalau sudah menyangkut uang.
Itu sebabnya mungkin Jepang bisa berkembang maju di bidang ekonomi, karena sejak dari lingkungan keluarga saja sudah ada penggarisan yang jelas bahwa uang tak bisa digantikan kata “kasihan” sehingga uang pinjaman memungkinkan tidak kembali.
Hal mendasar ini mungkin ada segi positif dari bidang ekonomi. Semua jelas, adil dan sesuai logika yang ada. Namanya saja pinjam, jadi harus dikembalikan. Satu analogika yang mungkin sulit diterapkan di Indonesia. Apalagi kalau sudah menyangkut keluarga, "Ah kamu sama adik sendiri kok pelit banget, kok hitung-hitungan banget sih," begitulah komentar anggota keluarga lain yang tahu ada pinjam eminjam di dalam keluarga.
Janganlah heran, akibat keluarga memiliki hutang pinjaman cukup banyak dan tak bisa mengembalikan, seorang ibu dengan dua anaknya yang kecil, baru-baru ini dibunuh oleh laki-laki yang masih ada kaitan keluarga. Kesal, karena dianggap orang itu membebani keluarga saja dengan hutangnya.
Hutang yang tak dapat dikembalikan atau tak dapat dibayar kembali, sangatlah memalukan kita bahkan keluarga besar. Tak heran kalau terjadi pembunuhan atau bunuh diri hanya persoalan hutang pinjaman.
Kenyataan lain juga terjadi di sebuah Perusahaan Jepang, mulai presiden direktur dan dua Direkturnya gantung diri di sebuah kamar hotel karena Perusahaannya bangkrut meninggalkan banyak hutang.
Dengan bunuh diri bersama-sama itu, mereka memperhitungkan uang asuransi jiwa mereka dapat membayar semua hutang Perusahaan, membayar gaji karyawan, sisanya untuk keluarga yang ditinggalkan. Hutang dibayar dengan nyawa, bukan cerita dongeng antah berantah, tapi kenyataan yang sangat jelas terjadi di Jepang.
Berat sekali memang kehidupan di Jepang dengan rasa malu yang sangat tinggi dan sering dibayar dengan nyawa. Jadi jangan heran kalau tingkat bunuh di Jepang mencapai sekitar 89 orang per hari.
Ketegasan soal uang ini membentuk pengusaha Jepang tidak bisa menerima perlakuan korupsi. Satu yen yang mereka dapat dari keringat mereka, "Kok enak saja minta uang dengan cara korupsi? Kan mereka sudah digaji," begitulah keluh mereka.
Memang di Jepang ada korupsi pula, tetapi bentuk lain. Bukan cash (jarang cash), tetapi lebih banyak dalam bentuk jamuan mahal dan benda seperti kartu keanggotaan Club Golf, misalnya. Atau dijamu ke klub yang sangat mahal, dan sebagainya.
Mengapa? Karena kartu keanggotaan Club Golf seperti saham, dapat diperjual belikan dengan harga jutaan yen. Kalau mau dijual juga dapat dilakukan dan si penjual tentu dapat uang cash akhirnya.