Kisah Sukses Pengusaha Kalimantan Bisnis Properti di Australia (9-Habis)
Segala sesuatu yang telah saya capai ini tidak jauh dari prinsip-prinsip yang ditanamkan orangtua saya, sewaktu di Pangkalan Bun
Editor: Domu D. Ambarita
Memori Masa Kecil: Carter Jet ke Pangkalan Bun
CHIEF Executive Officer Crown Group Iwan Sunito punya kegemaran menulis. Saat bertemu dengan tim Tribun Network di Jakarta akhir pekan ketiga Februari silam, putra kelahiran Surabaya menunjukkan beberapa tulisan, berikut sistematikanya. Tulisan laki-laki yang dibesarkan di Pangkalan Bun, ibu kota Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah tersebut disajikan dengan cara bertutur.
ADA yang berkata bahwa 'Sejarah adalah petunjuk untuk apa yang akan terjadi di masa depan". Bahwa masa lalu seseorang sewaktu dia dibentuk dan dibesarkan akan menentukan masa depan orang tersebut.
Segala sesuatu yang telah saya capai sampai hari ini tidak jauh dari prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh orang tua saya sewaktu saya dibesarkan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Setelah hampir 30 tahun saya meninggalkan kota Pangkalan Bun, akhirnya pada Januari 2009 kami terbang kembali ke kota tersebut dengan menggunakan pesawat jet buatan Inggris.
Hal ini berbeda dengan ingatan saya di mana pesawat yang dulu digunakan adalah pesawat baling- baling yang hanya terdapat dua kursi di setiap barisnya dan di belakangnya anda bisa mendengar suara burung atau ayam peliharaan para penumpang yang dibawa bersama dengan mereka, dan tentunya baunya juga tidak terlupakan.ha ha...
Selama perjalanan ke kota Pangkalan Bun dari Pelabuhan Udara Iskandar saya diingatkan kepada memori 'aroma' udara Kota Pangkalan Bun, yang pekat dengan aroma pohon tropis yang sangat lebat.
Saya juga teringat dengan memori sewaktu saya masih kecil, saya berlari-lari sambil berhujan-hujanan bersama teman-teman. Kenangan toko ayah saya yang sederhana di mana beliau menjual barang bangunan, beras dan kain pun masih kental dalam benak saya.
Setibanya di Pangkalan Bun kami menyeberangi sungai Arut dengan menggunakan perahu 'getek' untuk mencapai rumah kami di daerah yang disebut Kampung Raja Seberang. Perahu 'getek' yang digunakan sudah berbeda dengan 'getek' di zaman dulu, 'getek' sekarang kebanyakan memakai mesin bermotor.
Saya bersama istri, Liana dan 2 teman saya kemudian duduk di dalam 'getek', perahu dari kayu, yang sangat kecil sampai-sampai air sungai sepertinya akan masuk ke dalam 'getek' itu.
Saya pun menyakinkan istri saya bahwa sungai ini aman dan sudah tidak ada buayanya lagi. Istri saya yang belum pernah menginjakkan kakinya ke Pangkalan Bun lalu bertanya: "Yang benar?"
Sebelum saya dapat menjawab, tukang 'getek' kami berkata: "Pak beberapa hari yang lalu ada yang berenang di sungai ini dan disambar buaya". Jawaban ini membuat perjalanan penyeberangan sungai Arut menjadi jauh lebih menarik.
Saya ingat ketika dulu kami naik kapal ke hulu sungai untuk memancing. Di sepanjang perjalanan terdengar suara serangga, monyet, burung dan angin yang menggesek dedaunan di hutan. Air sungai yang dulunya sangat cokelat seperti warna kopi tetapi jernih telah berubah menjadi keruh seperti air susu coklat akibat polusi dari tambang, penebangan pohon dan penanaman kebun kelapa sawit.
Dulu, sewaktu orang tua saya merintis bisnis dari awal, ayah saya memotong kayu dan ibu saya menjual kue di desa. Saya masih menonton film kartun 'Mickey Mouse' dan film 'Tarzan' dengan menggunakan proyektor hitam putih. Suara generator di belakang rumah kami yang merupakan sumber listrik juga masih terngiang.
Kenangan-kenangan indah ini melanda saya setibanya di rumah ayah. Saya pun tidak dapat membendung emosi saya dan air mata mulai mengalir di wajah saya. Saya terharu akan banyaknya pengorbanan mereka dan betapa banyaknya nilai kehidupan yang telah mereka bagikan seperti bekerja keras, kejujuran, kedisiplinan, dan kemauan untuk terus belajar. Semua ini menjadi pedoman dalam hidup saya.
Walaupun terhalang oleh keterbatasan finansial dan pendidikan mereka yang hanya hanya sampai jenjang SMA, mereka tetap bersemangat untuk menabung sedikit demi sedikit, yang akhirnya mereka bisa membangun usaha mereka menjadi salah satu usaha yang terbesar di kota Pangkalan Bun sebelum akhirnya pindah ke kota Surabaya.
Semangat mereka untuk selalu bangkit kembali sewaktu mereka mengalami kemunduran dalam hidup dan bisnis telah menjadi inspirasi bagi saya. "Winners Never Quit and Quitters Never Win".
Prinsip hidup mereka yang selalu melihat bahwa hari esok akan lebih baik lagi, inilah yang membuat saya percaya jikalau mereka bisa membangun bisnis yang sukses dari nol di kota yang terpencil, maka saya pasti juga bisa mencapai sukses yang besar di kota Sydney. (tribunnews/domu d ambarita)