Deposito Dominasi DPK di BPR
Selama ini kinerja dan performa bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indoneisia, tergolong positif.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Selama ini kinerja dan performa bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indoneisia, tergolong positif. Tren positif itu terlihat pada nilai funding atau penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto hingga April 2013, sambung Joko, nilai DPK yang terhimpun BPR sebanyak Rp 45,9 miliar. "Dominasinya, berupa dana mahal, yaitu deposito. Persentasenya, sekitar 54,41 persen," kata Joko seusai Seminar Financial Inclusion di Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah VI Jabar-Banten, Jalan Braga Bandung, Selasa (11/6/2013).
Selain funding, imbuh Joko, jumlah nomor rekening BPR pun tergolong positif. Saat inijumlah rekening nasabah BPR di tanah air mencapai 13 juta nomor. "Sebagian nasabah BPR merupakan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK)," ujarnya.
BPR, kata Joko, merupakan lembaga yang memberdayakan ekonomi lokal. "Produk BPR pun fleksibel dan telah sesuai budaya setempat. Sistem dan skema perlayanan pun efisien dan lebih cepat daripada perbankan umum," katanya.
Menurutnya, kehadiran BPR dapat menjadi sarana meningkatkan kepemilikan rekening di negara ini. Hal ini karena tingkat kepemilikan rekening pada sektor finansial di Indonesia masih rendah.
Hal itu diamini Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Jabar & Banten), Dian Ediana Rae. Dian berpendapat, sejauh ini, indeks inklusi keuangan atau kepemilikan rekening, di tanah air, masih rendah, yaitu sekitar 20 persen.
Dian membandingkan indeks inklusi Indonesia dengan negara lain di ASEAN. Sebagai contoh, Thailand, yang tingkat indeks inklusinya mencapai 78 persen. Lalu Malaysia, sebesar 67 persen, Filipina sebanyak 27 persen, dan Vietnam sekitar 21 persen. "Kondisi di negara berkembang, 9 di antara 10 warga negaranya belum memiliki akses lembaga keuangan," sahutnya.
Dian berpendapat, situasi ini terjadi karena beberapa hal. Di antaranya, para nasabah di wilayah perdesaan memiliki anggapan bahwa prosedur perbankan sulit. Jadi, tambahnya, masyarakat perdesaan menaggap inklusi keuangan hanya bagi orang kota.
Parahnya, imbuh Dian, tidak sedikit pula lembaga keuangan yang menganggap nasabah kecil bukan sebagai target yang dapat mendatangkan keuntungan. "Ada juga penilaian bahwa lembaga keuangan pun kurang baik dalam melakukan sistem identifikasi nasabah. Misalnya, desain sejumlah produk perbankan hanya bagi nasabah berpendapatan tertentu," ujar Dian. (win)