Gagal Kantongi Izin DBS Batalkan Akuisisi Danamon
DBS Group Holdings Ltd melepas rencana akuisisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk senilai miliaran dolar.
Penulis: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM SINGAPURA—DBS Group Holdings Ltd melepas rencana akuisisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk senilai miliaran dolar. Pembatalan terjadi sesudah DBS gagal mengantongi izin akuisisi penuh dari Bank Indonesia (BI).
Bank asal Singapura itu April tahun lalu mengumumkan niatnya membeli 67,37% saham Bank Danamon merupakan bank keenam terbesar Indonesia berdasarkan ase dari Fullerton Financial Holdings Pte Ltd , anak usaha Temasek Holdings Pte Ltd. DBS lalu mengajukan pembelian sisa saham Bank Danamon. Total nilai akuisisi ditaksir US$7 miliar. Bila berhasil, transaksi ini akan menjadi akuisisi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Rencana DBS mulai menemui jalan buntu pada Mei. Saat itu, BI mengaku akan mengizinkan DBS mengakuisisi hanya 40% saham Bank Danamon. DBS baru akan diizinkan mengakuisisi keseluruhan saham jika pemerintah Singapura menerapkan kebijakan “timbal-balik.” Lewat hubungan “timbal-balik” ini, Singapura diminta memberikan ruang bagi bank-bank Indonesia untuk membuka kantor cabang di negara kota itu.
DBS dan Fullerton pada Juni menyepakati perpanjangan perjanjian pembelian saham hingga 1 Agustus.
“Kesepakatan akan berakhir sesudah 1 Agustus 2013,” kata DBS dalam pernyataan, Rabu. Sementara itu, Fullerton dalam pernyataan mereka mengaku akan tetap berinvestasi di Bank Danamon.
BI menunda persetujuan perizinan berdasarkan aturan baru kepemilikan saham bank. Di bawah peraturan yang dikeluarkan Juli tahun lalu itu, kepemilikan saham oleh satu pihak—baik domestik maupun asing di bank dalam negeri dibatasi hingga sebesar 40%. Besaran kepemilikan saham bisa dinaikkan, bila bank bersangkutan memenuhi standar kesehatan finansial dan tata kelola perusahaan.
Sementara itu, CEO DBS Piyush Gupta dalam pernyataannya mengaku “optimistis mengenai potensi jangka panjang Indonesia. Kami akan melanjutkan pengembangan bisnis DBS Indonesia sembari tetap membuka diri terhadap peluang lain.” (WSJ)