Pemerintah Diminta Serius Kucurkan Dana ke Petani
Jefry Wurangian, praktisi perbankan mengatakan Indonesia bisa terbebas dari praktik impor pangan
Penulis: Bahri Kurniawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jefry Wurangian, praktisi perbankan mengatakan Indonesia bisa terbebas dari praktik impor pangan. Hal itu bisa dilakukan bila pemerintah serius memberikan permodalan kepada petani di level bawah.
“Selama ini rentenir bagaikan pahlawan bagi petani. Petani akhirnya selalu terjerat utang rentenir, meskipun pinjaman dana yang diberikan kepada petani besar bunganya dapat mencapai 70 persen per tahun. Ini karena Indonesia tidak memiliki Bank Pertanian yang mau meminjamkan uang kepada petani dari mulai Rp 50ribu– Rp 500 juta tanpa agunan," ujarnya, Selasa (3/12/2013).
Jefry mengambil contoh praktik di dua negara yang mampu menjadi pengekspor hasil pertanian seperti Vietnam dan China. Ia mengatakan, Bank negara terbesar di Vietnam justru Bank Pertaniannya, bahkan Nasabah Bank Pertanian di Cina lebih dari 300 juta nasabah.
Jefry yang juga menjadi dosen tamu di berbagai universitas ini mengatakan bahwa petani Indonesia sangat menderita dengan UU Perbankan di Indonesia yang hanya membagi bank menjadi Bank Umum dan BPR.
Ia menambahkan, dengan meminjam di Bank Umum, petani diperlakukan sama dengan nasabah lain seperti pengusaha butik baju dalam hal persyaratan dan hukuman bila tidak membayar pinjaman tepat waktu. Padahal seperti diketahui, petani bekerja menurut siklus yang waktunya tidak menentu sehingga pengembalian pinjaman yang telat tidak dapat langsung di vonis kredit macet.
“Dengan adanya modal, petani lokal kita dapat berproduksi dengan baik sesuai harapan. Sehingga kemandirian pangan tidak hanya menjadi slogan di berbagai spanduk atau laporan pemerintah” kata Jefry, yang juga pengurus Ikatan Bank Indonesia.
Di tempat terpisah, Rino Wicaksono, pakar perencanaan pembangunan mengatakan bahwa kegiatan impor yang konsisten dan besar-besaran saat ini, akan mendorong terjadinya kepunahan masyarakat tani Indonesia.
“Di banyak negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, petani menduduki posisi sangat istimewa. Karena petani di sana ialah benar-benar pemilik lahan pertanian (farmer) bukan buruh tani (peasant). Dan pemerintahnya mensubsidi hingga 50 persen kebutuhan petani untuk menanam.”
Kondisi yang menguntungkan para petani di luar negeri salah satunya karena model sistem birokrasi aparat pemerintahan di luar negeri yang sudah tidak lagi berorientasi Government Officer namun Civil Servant.
“Birokrat di luar negeri sudah tidak lagi berorientasi memerintah (ruling), tetapi melayani (serving). Ini yang kemudian membuat keberadaan aparat justru membantu petani,” kata Rino, lulusan University of Colorado, Amerika Serikat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.