Pengamat: Hentikan Ekspor LNG
Subsidi BBM masih menjadi polemik berkepanjangan di Indonesia.
Penulis: Bahri Kurniawan
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Subsidi BBM masih menjadi polemik berkepanjangan di Indonesia. Banyak pihak menuntut agar pemerintah segera memberlakukan program konversi minyak ke gas.
Bukan tanpa alasan, pasokan gas LNG yang menjadi BBG untuk transportasi tersedia cukup melimpah, selain harganya yang jauh lebih murah yaitu sekitar Rp. 3200 per liter secara premium.
Sayangnya, pemerintah justru mengekspor stok LNG dalam negeri dengan harga murah. Disebutkan bahwa negara merugi US$5 Miliar per tahun untuk ekspor ke China. Tentu saja angka ini belum termasuk nilai kerugian yang diterima negara untuk ekspor ke negara lain.
Pengamat energi, Dr. Kurtubi yang selama ini aktif mendorong program konversi minyak ke gas mengaku gerah melihat kondisi ini.
"Pengelolaan gas nasional tidak boleh lagi menciptakan situasi seperti saat ini. Dalam negeri kita kekurangan gas, sementara gas yang ada dijual murah ke luar negeri," ujarnya, Rabu (15/1/2014).
Kurtubi mendesak pemerintah untuk melindungi pasokan gas dalam negeri. Salah satunya adalah membatasi ekspor LNG dan mendukung perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk mulai menggunakan gas sebagai bahan bakar produksi mereka. Karena itulah Kurtubi ngotot agar program konversi minyak ke gas ini segera diselesaikan.
"Banyak manfaat yang diterima dengan program konversi ini," jelasnya
Setali tiga uang, dengan program konversi ini, secara otomatis subsidi BBM bisa dikurangi. Ongkos produksi masyarakat pun berkurang drastis dengan penggunaan gas yang sangat ekonomis. Hal ini akan mendorong perekonomian nasional secara signifikan.
Kurtubi menambahkan bahwa kalau program konversi ini diberlakukan, pemerintah justru dapat menaikkan harga LNG di atas harga ekspor pemerintah saat ini. Dengan begitu pendapatan negara dalam sektor gas akan meningkat.
"Kalaupun dinaikkan sedikit, tidak akan terasa untuk rakyat. Karena memang harganya beda jauh," tandasnya.