Merger dan Akuisisi Selamatkan Axis dari Kebangkrutan
“Saat ini pelanggan kami masih beruntung masih bisa menikmati layanan Axis. Tapi ke depan, kondisinya akan semakin berat,” kata Anita.
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Sejumlah praktisi dan ahli telekomunikasi menilai merger dan akuisisi merupakan solusi tepat untuk menyelamatkan PT Axis Telekom Indonesia (Axis) yang saat ini tengah sekarat diambang kebangkrutan.
Selain untuk menyelamatkan pelanggan, mendorong industri lebih sehat, juga untuk menyelamatkan pemasukan bagi negara.
Presiden Direktur dan CEO Axis, Erik Aas menyatakan merger dan akuisisi Axis oleh XL merupakan langkah tepat untuk mengatasi kesulitan keuangan operasional perusahaan.
“Sejak awal tahun 2013, pemegang saham perusahaan sudah tidak lagi mengucurkan dana sehingga Axis mengalami kesulitan aspek keuangan termasuk membayar BHP Frekuensi,” kata Erik, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR, pekan lalu. Saat ini, Saudi Telecom Company (STC) menguasai 80,1% saham Axis.
Menurut Erik, bila tak ada penyelamatan, Axis kemungkinan tidak akan mampu membayar Bea Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi kepada pemerintah.
Itu artinya, negara terancam tidak mendapat pemasukan. Selain itu, 17 juta pelanggan Axis akan terancam tidak bisa menikmati layanan Axis. Sehingga, secara tidak langsung penyelamatan Axis juga menyelamatkan pelanggan.
Head of Corporate Communications Axis Anita Avianty menambahkan, saat ini perusahaan terus berupaya keras melayani pelanggan.
“Saat ini pelanggan kami masih beruntung masih bisa menikmati layanan Axis. Tapi ke depan, kondisinya akan semakin berat,” kata Anita, Senin (17/2/2014)
Saat ini Axis menghadapi dua pilihan sulit, yakni Axis kemungkinan besar bangkrut, atau selamat melalui merger dan akuisisi.
“Merger dan akuisisi adalah win win solution, karena semua stakeholders diuntungkan,” kata Anita.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Setyanto Santosa, berpendapat bahwa seharusnya proses merger XL didukung semua stakeholders.
“Proses merger XL semestinya tidak perlu dipersulit, sama seperti proses merger Indosat-Satelindo dan Smartfren sebelumnya,” kata Setyanto, dalam Forum Telekomunikasi Kompas Gramedia Group, akhir pekan lalu.
Menurut Setyanto, pemerintah dan legislatif harus mendukung proses ini.
“Sebab saat ini operator-operator dalam keadaan sulit akibat tidak proporsionalnya pendapatan dan pengeluaran dari sektor data, sehingga menyebabkan margin EBITDA minus,” katanya.