Mafia Timah Berlindung di Permendag Ekspor Timah
Permendag No 32/2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah melalui Bursa, serta berlaku sejak 30 Agustus 2013 lalu, dianggap tidak tepat
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Wartakota, Budi Sam Law Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengelolaan tata niaga timah yang didelegasikan kepada swasta serta diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 32/2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah melalui Bursa, serta berlaku sejak 30 Agustus 2013 lalu, dianggap tidak tepat dan justru membuka celah jaringan mafia timah bermain dalam tata niaga timah.
Permendag tersebut justru dianggap pemicu makin merajalelanya penyelundupan timah ekspor.
Dian Puji Simatupang, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) menilai, sudah seharusnya tata niaga timah diatur dan ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan setingkat Perpres (Peraturan Presiden).
"Sebab secara administrasi dan norma hukumnya, memang sudah seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan setingkat Perpres, dan bukan Permendag," kata Puji, Minggu (4/5/2014).
Menurutnya, hangatnya pemberitaan mengenai kacaunya pengelolaan tata niaga timah paska diterapkannya Permendag No 32/2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah melalui Bursa menandakan Bursa Komidi dan Derivatif Indonesia (BKDI) yang diberi wewenang penuh oleh Permendag tersebut, justru dianggap sebagai kartel oleh kelompok pengusaha timah kecil dan menengah.
"Jadi demi akuntabilitas dan menghindari tudingan adanya pihak-pihak dari Kementerian Perdagangan yang mencari keuntungan atas lahirnya BKDI, pendelegasian kewenangan tersebut harus segera diatur oleh Perpres," katanya.
Perpres, katanya, dapat mengeliminir kecurigaan publik atas dugaan adanya kartel atau cari untung oleh oknum-oknum di kementerian terkait.
"Ini perlu segera dilakukan peningkatan kekuatan hukumnya yakni dari Permen menjadi Perpres," tambah Puji.
Karut-marutnya pengelolaan timah di Indonesia semakin mencuat setelah Permendag tersebut diterapkan dan diikuti peristiwa penangkapan serta pemeriksaan 176 kontainer timah oleh TNI AL di perairan Batam pada awal Maret 2014 lalu.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih dan anggota Komisi Hukum Nasional, Frans Hendra sempat mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan di balik kebersikukuhan TNI AL dalam menangkap dan memproses penyidikan kapal timah, yang notabene bukanlah tupoksinya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, mendesak KPK melakukan pengawasan dan pencegahan dalam kegiatan industri timah serta melakukan pemantauan khusus terhadap dugaan keterlibatan aparatur negara dalam jaringan mafia timah.
"Keterlibatan oknum aparatur negara dalam jaringan mafia timah ini begitu kuat. Karenanya KPK harus melakukan pengawasan dan bertindak bila memang ada yang harus ditindak," katanya.
Selain itu, Firdaus menilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus segera melakukan audit kinerja atau kegiatan pengelolaan industri timah dengan melihat kewajaran penjualan dalam tata niaga timah.
"Aparat penegak hukum harus memproses dugaan kegiatan ekspor timah ilegal serta membongkar jaringan mafia timah yang kian marak terjadi," katanya.(bum)