Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

BKDI Harus Kembalikan Tata Niaga Timah ke Negara

Menurutnya, mendirikan regulator tandingan dipandang akademisi menjadi alternatif bila BKDI tak dibubarkan.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Rendy Sadikin
zoom-in BKDI Harus Kembalikan Tata Niaga Timah ke Negara
TRIBUN BATAM/ARGIANTO DA NUGROHO
TONGKANG PEMBAWA TIMAH. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Yudi Wahyudin menilai, tata niaga timah yang saat ini dikelola Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) harus dikembalikan ke negara untuk menghindari praktik monopoli dan oligopoli yang dilakukan segelintir perusahaan timah.

Menurutnya, mendirikan regulator tandingan dipandang akademisi menjadi alternatif bila BKDI tak dibubarkan. "Saya mendorong agar BKDI dikuasai negara untuk menghindari monopoli," kata Yudi dalam diskusi bertema 'Memajukan Perdagangan Timah Indonesia', di Universitas Sahid, Jakarta, Jumat (23/5/2014).

Dirinya mengaku khawatir, jika tak dikuasai pemerintah, kepentingan nasional dan negara diabaikan. Saat ini, kata Yudi, jelas bahwa BKDI merugikan negara karena pemerintah berpeluang kehilangan pendapatan nasional bukan pajak di sektor ini.

BKDI dikuasai sebanyak 11 perusahaan dengan 100 persen keuntungannya menjadi aset 11 perusahaan itu. Selama ini, BKDI kerap mendahulukan kepentingan lembaganya untuk menjaga keberlanjutan keuntungan perusahaan ketimbang kepentingan negara. Khususnya ketika terjadi sengketa kebijakan perdagangan timah.

Yudi mengatakan perdagangan timah merupakan aset pendapatan negara yang cukup besar. Volume ekspornya mencapai 2,8 miliar dollar dengan potensi penerimaan pajak mencapai 280 juta dollar.

Estimasi kerugian semakin membengkak mengingat banyaknya tambang dan perdagangan ilegal. "Pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan pajak dari perdagangan ilegal ini mencapai 105 juta dolar," katanya.

Untuk pasar Asia Tenggara Indonesia menguasai 40 persen perdagangan timah. Namun, Yudi menyayangkan persentase yang dinilai masih rendah itu mengingat Indonesia merupakan produsen timah.

Berita Rekomendasi

Dia membandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang menguasai 30 persennya. Padahal, keduanya bukan produsen timah. "Betapa luar biasa kebocoran dari perdagangan ilegal di Indonesia," ujarnya.

Lebih jauh Yudi memaparkan, harga kenaikan diatas 20 persen sejak. BKDI didirikan. Dari yang semula 19 ribu dollar AS menjadi diatas 23 ribu dollar AS per matrixton. Sayangnya keuntungan tersebut dinilai Yudi hanya dinikmati oleh 18 perusahaan yang telah mendaftar ke BKDI.

"Ini potensial lost. Yang seharusnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak tak masuk ke pemerintah. Keuntungan hanya dikuasai mereka yang tergabung dalam BKDI," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas