Pemerintah Harus Dorong Penemuan Vaksin Ebola dari Tembakau
Kabar bahwa tembakau mampu menangkal virus ebola setelah diubah menjadi vaksin membuktikan tembakau bukan komoditas berbahaya.
Penulis: Sanusi
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabar bahwa tembakau mampu menangkal virus ebola setelah diubah menjadi vaksin membuktikan tembakau bukan komoditas berbahaya. Karena itu, semua pihak, terutama pemerintah, tak mudah termakan kampanye global antitembakau.
Apalagi di Indonesia, komoditas ini mampu menopang ekonomi nasional. Dampak kampanye global itu bakal memusnahkan varietas tembakau Indonesia yang sejatinya tidak bisa ditemukan di belahan dunia lainnya.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Ismanu Soemiran, mengungkapkan temuan tembakau mampu menjadi vaksin ebola membuktikan justifikasi komoditas tembakau berbahaya sangat tidak tepat dan terbantahkan.
"Pengetahuan manusia sangat terbatas. Kini kita tahu di dalam tembakau justru mengandung unsur tak terduga yang berguna bagi umat manusia. Ini artinya tidak bisa menjustifikasi tembakau adalah produk yang negatif," tegas Ismanu, Senin (1/9/2014).
Temuan tembakau mampu menjadi vaksin juga ditegaskan Guru Besar Bio Cell Universitas Brawijaya Malang Profesor Sutiman.
Sayangnya, ketika ada penemuan seperti ini, seringkali, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan tidak pernah aktif. Kementerian ini justru sibuk berkampanye rokok itu pembunuh nomor satu. Padahal seringkali kampanye negatif itu tidak didasari dari hasil penyelidikan ilmiah.
"Seringkali kampanye negatif itu lebih bermotif kompetisi dagang, dengan target merusak pilar-pilar penyangga perekonomian negara, termasuk dalam hal ini tembakau," tegasnya.
Ia mengingatkan, dari sisi ekonomi, tembakau memberi kontribusi kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga mencapai Rp 110 triliun tiap tahun hanya dari cukai rokok. Belum lagi pajak-pajak lainnya ataupun dari sisi penyerapan tenaga kerja.
Ismanu meyakinkan, temuan bahwa tembakau mampu diubah menjadi vaksin harus didukung, dihargai sekaligus didorong. Jangan sampai temuan penting ini diabaikan karena kita lebih menghargai vaksin-vaksin yang diimpor dari luar negeri.
Apalagi tak menutup kemungkinan, isu wabah ebola hanya kedok industri farmasi global untuk meluncurkan vaksin baru.
"Ini harus diwaspadai jangan sampai ada penumpang gelap," tegasnya.
Ismanu menduga segala kampanye negatif terhadap tembakau berawal dari industri farmasi. Untuk itu, ia berharap kreativitas anak bangsa, termasuk temuan tembakau bisa diubah menjadi vaksin, agar terus diinformasikan, bahkan didukung penuh.
"Ini anugerah jadi harus dipromosikan, disuarakan, karena secara ilmiah sangat masuk akal," tegasnya.
Sebelumnya, Guru Besar Bio Cell Universitas Brawijaya Malang, Profesor Sutiman, mengungkapkan tembakau yang tumbuh di sejumlah wilayah di Tanah Air bisa untuk menangkal virus ebola yang saat ini sedang hangat diperbincangkan dan belum ada obatnya.
"Virus ebola itu memang mirip penyakit HIV/AIDS yang masih belum ditemukan obatnya. Namun, untuk mencegah agar virus tersebut tidak sampai meluas, sebenarnya cukup mudah, yakni dengan tembakau yang diolah menjadi vaksin," kata Sutiman.
Selain dipakai untuk mengobati beberapa jenis penyakit, tembakau juga bisa dibuat menjadi vaksin untuk mencegah virus ebola. Khusus virus ebola, di dalam tanaman tembakau tersebut terdapat tobacco mosaic virus, dan itu bisa disisipi gen antibodi untuk antiebola. Jadi, kata dia, tanaman tembakau tersebut bisa memproduksi vaksin antiebola.
Menurut dia, Indonesia selalu menjadi pasar potensial untuk vaksin virus ebola itu.
"Bayangkan, berapa juta orang yang harus divaksin. Itu kan binis. Padahal, pembuatan vaksinnya sangat mudah, dan bahan bakunya dari tembakau yang tumbuh subur di Indonesia," ujarnya.