Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ratifikasi FCTC Bakal Jadi Beban Pemerintahan yang Baru

Desakan sejumlah pihak agar Presiden SBY segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias FCTC dinilai salah.

Penulis: Sanusi
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Ratifikasi FCTC Bakal Jadi Beban Pemerintahan yang Baru
Kompas.com
Daun tembakau 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Desakan sejumlah pihak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dinilai salah. Jika Presiden menuruti, maka Presiden bakal dicap tidak beretika.

"Kalau bicara etika pemerintahan, jika di pengujung periode Presiden meratifikasi rasanya Presiden kurang beretika," ujar ahli hukum tata negara, Refly Harun, Kamis (16/10/2014).

Ia menilai keputusan ini hanya akan membebani pemerintahan berikutnya. Terlebih FCTC adalah salah satu produk kebijakan strategis. Karena ada masyarakat yang menerima dan ada yang menolak, maka produk kebijakannya bakal kontroversial.

"Ini bakal menjadi beban bagi pemerintah selanjutnya, beban itu dinilai dari tingkat kontroversinya," ujar Refly.

Refly menegaskan, kebijakan tembakau ini menyangkut kepentingan rakyat banyak, karena itu prosesnya tidak mudah. Presiden sebaiknya mengajak DPR untuk duduk bersama membahas rencana ini, bukan meratifikasi secara sepihak. Maka, tambah Refly, sangat tidak baik tidak bisa ditetapkan dalam kurun waktu kurang dari 10 hari sisa pemerintahan.

"Ini menyangkut rakyat banyak, jadi harus persetujuan DPR, bukan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres)," ujarnya.

Sebelumnya, senada dengan Rafly, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, jika Presiden SBY memutuskan mengaksesi FCTC bisa diartikan sebagai tindakan abai pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya.

Berita Rekomendasi

"Kalau Pemerintah ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat, salah satu yang dapat dilakukan adalah berlaku adil terhadap kelompok petani, termasuk dari komoditas tembakau," kata Hikmahanto.

Dia menambahkan, bertani tembakau sudah menjadi tradisi turun temurun sebagian masyarakat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan. Dukungan Pemerintah terhadap kelangsungan pertanian tembakau adalah bagian dari perwujudan kesejahteraan tersebut.

"Terwujudnya kesejahteraan masyarakat adalah kewajiban bersama yang harus melibatkan semua stakeholders. Maka Kementerian Kesehatan dan sekutunya tidak berkompeten untuk meratifikasi FCTC," papar Hikmahanto.

Peneliti Senior Lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) Profesor Kabul Santoso meminta Presiden SBY untuk tidak menuruti keinginan beberapa pihak untuk segera mengaksesi FCTC tembakau (Framework Convention on Tobacco Control).

"Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan negara," jelas dia.

MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY tetap tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri nasional tembakau dari hulu ke hilir.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas