Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ini Kata Ahli Hukum soal Kasus IM2

Gunawan Widjaja, menegaskan Kejagung tidak bisa serta-merta melaksanakan keputusan kasasi MA manakala terjadi dua kasasi yang bertentangan

Editor: Sanusi
zoom-in Ini Kata Ahli Hukum soal Kasus IM2
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN
Anggota serikat pekerja Indosat beristirahat saat berunjukrasa di sekitar bundaran HI Jakarta Pusat terkait kasus dugaan pidana penggunaan bersama frekuensi radio 3G 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya dua putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang bertentangan dalam perkara penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz, antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2), mendapat tanggapan dari sejumlah ahli hukum.

Ahli hukum administrasi dan korporasi, Dr Gunawan Widjaja, menegaskan Kejaksaan Agung tidak bisa serta-merta melaksanakan keputusan kasasi MA manakala terjadi dua kasasi yang bertentangan. Apalagi, dua putusan kasasi yang bertolak belakang tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht).

Sebagai catatan, dalam perkara IM2, memang ada dua putusan kasasi yang tidak sinkron. Pertama, kerja sama Indosat dan anak usahanya tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3 triliun berdasarkan perhitungan BPKP.

Hal ini tertuang dalam putusan Kasasi Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai dengan denda sebesar Rp 300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun yang dibebankan kepada manajemen IM2.

Sedangkan putusan lain adalah keputusan kasasi Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2.

Dalam putusan PTUN di tingkat pertama dan banding, PTUN memutuskan hasil perhitungan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun dalam perkara IM2 adalah tidak sah. Putusan PTUN pada 1 Mei 2013 lalu mengabulkan gugatan mantan Dirut IM2, Indosat, dan IM2 terkait laporan audit BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara Rp 1,3 triliun dalam pembangunan jaringan frekuensi radio 2.1 GHz/3G oleh Indosat dan IM2.

Saat itu, dalam pertimbangannya, PTUN menyatakan, audit kerugian negara oleh BPKP dalam kasus Indosat-IM2 tidak sah. Pertama, BPKP dinilai tidak berwenang mengaudit badan hukum swasta, seperti Indosat dan IM2.

Berita Rekomendasi

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, BPKP harusnya memeriksa internal instansi pemerintah, bukan badan usaha atau lembaga-lembaga swasta.

Dengan ditolaknya kasasi dari BPKP tersebut, otomatis putusan PTUN tingkat pertama dan banding yang memutuskan hasil perhitungan BPKP ada kerugian negara Rp 1,3 triliun, tidak berlaku lagi.

Menurut Gunawan, dalam perkara IM2, pihak Kejaksaan harus melihat dasar hukum perhitungan kerugian negara yang sudah dinyatakan tidak sah oleh putusan kasasi PTUN. Memang, putusan kasasi pidana Nomor 282K/PID.SUS/2014 keluar terlebih dulu, yakni pada 10 Juli 2014. Namun, di saat putusan kasasi PTUN juga in kracht, yakni pada tanggal 21 Juli 2014, maka otomatis dasar hukum untuk mengeksekusi uang pengganti oleh IM2 sebesar Rp 1,3 triliun tidak berlaku lagi. Sehingga eksekusi tidak bisa dilakukan.

Gunawan mengharapkan MA turun tangan untuk mengatasi dua putusan yang tidak sinkron. Namun dia menyarankan jalan terakhir yang bisa dilakukan adalah melakukan Peninjauan Kembali (PK).

“Kejaksaan Agung tidak bisa serta merta bisa melakukan eksekusi Rp 1,3 triliun atas IM2 sebelum ada keputusan dari MA yang menyinkronkan dua putusan kasasi yang bertolak belakang tersebut. Sebab, putusan kasasi PTUN yang menolak kasasi BPKP juga sudah in kracht berarti putusan pidana tidak berlaku lagi,” kata Gunawan, kepada wartawan, Kamis (13/11).

Pakar hukum administrasi dan korporasi dari Universitas Tarumanagera tersebut menegaskan, pada saat putusan PTUN sudah berlaku in kracht, maka putusan kasasi tidak ada artinya. Dia menambahkan, sudah selayaknya IM2 tidak memenuhi pembayaran uang pengganti Rp 1,3 triliun, sebab hasil putusan kepada PT IM2 tidak ada dasar hukumnya. “Ini karena IM2 bukan pihak dalam perkara tersebut. Jadi eksekusi tidak bisa dilakukan,” kata Gunawan.

Kerja sama PT Indosat Tbk dan PT IM2 juga seperti model bisnis yang dilakukan oleh ISP (internet service provider/penyedia jasa internet) sesuai dengan amanat Undang-undang no. 36 tahun 1999, terutama pasal 9 adalah dengan cara kerjasama antara perusahaan Penyedia Jasa Layanan Internet yang memakai jaringan dari perusahaan Penyelengga Jaringan.

“Kerja sama penggunaan frekuensi tersebut adalah masalah perdata. Kalau misalnya PT IM2 tidak bayar, ya didenda saja, jangan dibawa ke pengadilan Tipikor,” tegas Gunawan.

Menurut Gunawan, putusan terhadap IM2 bisa membahayakan para ISP lainnya, yang bisa mengakibatkan kerugia ekonomi lebih besar. Sebab, model bisnis Indosat dan IM2 juga banyak dilakukan oleh para penyelenggara internet lain.

Hal ini pula yang menyebabkan banyak kekhawatiran di antara banyak stakeholders. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) misalnya, telah resmi meminta fatwa MA atas kasus IM2. APJII menganggap secara tidak langsung ataupun langsung, perkara IM2 mengancam industri telekomunikasi karena skema bisnis yang dilakukan oleh Indosat dan IM2, juga dilakukan oleh sebagian besar anggota APJII.

Sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum pada anggota. Upaya yang dilakukan APJII ini agar dalam menjalankan usaha legal sehingga tidak harus menghentikan layanan kepada masyarakat yang berakibat matinya layanan internet Indonesia.

Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) telah mendesak pemerintah dan DPR untuk turut menuntaskan kasus IM2.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas