Aturan Capping Bunga Kredit Mikro Dikritik Perbanas
OJK meminta meminta kepada kalangan perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit mikro
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji aturan untuk capping alias pembatasan besaran suku bunga kredit segmen mikro. OJK meminta meminta kepada kalangan perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit mikro, sebab bunga kredit mikro yang tinggi akan memberatkan debitur untuk membayar beban bunga.
Tak tertutup kemungkinan, tingginya beban bunga berpotensi menjadi pendorong meningkatnya rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) di perbankan. Aturan yang sejatinya dijanjikan OJK akan keluar sebelum tutup tahun 2014 ini, menurut Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, akan memberatkan perbankan.
Menurutnya, dengan di-capping-nya suku bunga kredit mikro, maka margin bunga bersih alias net interest income (NII) perbankan, lama kelamaan akan tergerus. Sebab, menurut Sigit, bisnis bank akan semakin berat.
"Bisnis bank akan semakin berat. Sebab, sudah regulasinya banyak, ada kecenderungan semuanya diatur lagi. Saya tidak komentari kebijakan satu per satu tapi secara keseluruhan. Aturan regulator sebaiknya tidak sampai mengatur hal yang mikro, seperti suku bunga mikro dan sebagainya. Baiknya, biarkan mekanisme pasar sehingga bank berkompetisi dan melakukan efisiensi," kata Sigit, Jumat (28/11).
Menurut Sigit, dengan membiarkan mekanisme pasar yang bekerja, maka dengan sendirinya besaran suku bunga kredit mikro akan turun dengan sendirinya. "Sebab, di Indonesia, tingkat inflasi itu tinggi. Tapi dengan efisiensi dan persaingan sehat, maka suku bunga kredit bisa semakin turun," ucapnya.
Catatan saja, OJK meminta kepada kalangan perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit mikro. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad mengungkapkan, perlu ada harga yang murah untuk bunga kredit mikro. Saat ini, bank pemain mikro mematok bunga kredit untuk pinjaman kecil minimal sebesar 10,25% sampai 22,00%.
Menurut Muliaman, tahap pertama dapat diawali oleh bank-bank besar, kemudian diikuti oleh bank lain. Misalnya, per Juni 2014, suku bunga dasar kredit (SBDK) mikro untuk BRI sebesar 19,25%, Bank Mandiri sebesar 22,00%, Bank CIMB Niaga 20,00%, dan Bank Danamon Indonesia sebesar 20,94%.
OJK menghimbau kepada bank besar untuk bersama-sama menurunkan bunga kredit mikro, karena bank masih dapat memperoleh margin besar dari bunga kredit segmen lain seperti korporasi, konsumsi dan ritel. Di mana tingkat bunga kredit segmen tersebut, rata-rata di bawah bunga kredit mikro.
Muliaman menambahkan, masih ada ruang penurunan tingkat bunga kredit mikro menjadi satu digit. Misalnya, memangkas premi risiko, biaya operasional dan biaya dana (cost of fund). Kedepan, kata Muliaman, OJK akan melakukan fokus besar dan inisiatif untuk menjaga harga tersebut.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyarankan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur premi risiko suku bunga kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pengaturan itu untuk menghindari perilaku bank untuk memperoleh keuntungan melalui suku bunga berlebihan (eksesif).
Dengan pengaturan ini maka diharapkan suku bunga kredit akan bergerak turun dan mendorong UMKM menjadi lebih kompetitif sehingga dapat berkompetisi pada Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 nanti. Saran ini telah disampaikan Ketua KPPU Nawir Messi dalam suratnya kepada OJK pada 24 Juni 2014.
KPPU menyarankan OJK untuk melakukan beberapa tindakan; pertama, mengatur proses penetapan premi risiko oleh bank yang lebih terukur dan transparan. Itu untuk mencegah perilaku bank mendapatkan keuntungan yang eksesif dalam penetapan suku bunga kredit UMKM.
Kedua, mendorong hadirnya lembaga independen yang memiliki kewenangan mengeluarkan premi risiko. Lembaga ini akan menjadi acuan bagi seluruh bank di Indonesia sehingga proses penetapan premi risiko akan lebih transparan.
Ketiga, pengaturan terkait dengan proses transparansi dan perhitungan premi risiko diserahkan kepada OJK selaku otoritas pengawas perbankan Indonesia. Saran itu, menurut KPPU, diusulkan berdasarkan kajian intensif selama beberapa bulan terakhir.
Kajian tersebut menunjukkan bahwa nilai premi risiko yang melebihi nilai suku bunga dasar kredit (SDBK) banyak terjadi di kredit UMKM, dengan alasan tingginya resiko penyaluran kredit ke UMKM.
Hal ini diperburuk dengan sulitnya memperoleh informasi oleh debitur terkait penghitungan premi risiko oleh bank. Metode perhitungan risiko sangat subjektif dan tanpa benchmark perhitungan yang valid.
Selain itu juga muncul kemungkinan duplikasi pengenaan biaya (double charge) untuk margin keuntungan dan margin risiko. Kajian KPPU memperlihatkan, nilai premi risiko dapat mencapai 20% yang melampaui rata-rata suku bunga dasar kredit UMKM 15% terutama di daerah Indonesia Timur.
Dengan kondisi tersebut maka suku bunga dasar kredit, tidak dapat berfungsi menjadi acuan konsumen dalam memilih bank. Industri perbankan merupakan salah satu industri prioritas pengawasan KPPU.
Industri ini menjadi fokus seiring dengan tingginya suku bunga perbankan di Indonesia. Margin industri perbankan Indonesia tergolong tinggi dibandingkan industri perbankan negara ASEAN lainnya.
Pada 2012, Net Interest Margin (NIM) bank-bank Indonesia berada di atas 5%, lebih tinggi dari NIM bank-bank negara ASEAN lainnya yang berkisar 3,5%. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh nilai Return On Equity (ROE) dan Return On Asset (ROA).
Rata-rata nilai ROE bank di Indonesia berada dikisaran 18% dan rata-rata nilai ROA sebesar 1,9%, lebih tinggi dibandingkan bank-bank negara ASEAN lainnya yang nilai rata-rata ROE-nya berada di kisaran 15% dan ROA sebesar 1,6%. Kondisi ini berdampak terhadap konsumen kredit, khususnya kredit UMKM yang mempunyai nilai suku bunga kredit tertinggi dibandingkan dengan suku bunga kredit lainnya.
KPPU menemukan bahwa nilai suku bunga yang diperoleh konsumen, setelah ditambah dengan premi risiko melonjak tinggi. Besaran suku bunga akhir di tangan konsumen, bisa mencapai dua kali lipat (bahkan lebih) dari nilai SBDK. Padahal transparansi mengenai SBDK telah diatur dan diumumkan secara berkala sesuai ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013. (Dea Chadiza Syafina)