Bob Sadino Tak Ingin Anak-anak Buahnya Disebut Karyawan, Ini Alasannya
Bob Sadino tak ingin menyebut anak-anak buahnya sebagai 'karyawan.' Mereka dipanggilnya anak-anak. Ini alasannya.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Berbeda dengan para pebisnis yang selalu menetapkan target-bisnis setiap tahun, saya memilih tidak melakukannya. Saya membiarkan bisnis saya seperti air mengalir saja.
Kunci usaha saya adalah anak-anak bisa mengelolanya. Mereka betah ikut saya selama 35 tahun, bahkan ada yang 40 tahun masih terus ikut. Bagi saya, mereka bukan karyawan, melainkan anak-anak. Ini juga yang membuat Kemchicks tetap eksis di tengah-tengah serbuan gajah-gajah ritel yang ada sekarang ini. Mereka merasa memiliki dan mengelola bisnis Kemchicks.
Saya percaya bahwa anak-anak punya kemampuan, bahkan lebih besar dari saya. Mereka bisa menentukan apa yang mereka mau. Tidak harus menjadi seperti saya.
Saya bukan tipikal pemimpin atau orang tua yang over protektif. Saya juga tak kejam ke anak-anak. Itu tidak ada dalam kamus saya. Mereka tak harus meneruskan bisnis saya. Mereka bisa memilih apa yang mereka mau. Makanya, ketika anak saya minta sekolah perhotelan, saya mencarikan sekolah perhotelan yang terbaik di dunia, Swiss. Satunya lebih tertarik sekolah perhotelan di Singapura. Saya membebaskan mereka memilih apa yang mereka inginkan.
Apakah kemudian mereka juga terjun ke perhotelan, saya tidak tahu. Saya memilih tidak perlu ikut campur dengan urusan mereka. Bukan abai, toh saya dekat sekali dengan mereka. Itu pilihan mereka yang harus mereka pertanggungjawabkan. Ini sama halnya saya mengelola Kemchicks. Anak-anak bekerja sesuai yang mereka inginkan dan targetkan. Kalau ingin maju, mereka akan mengupayakan.
Cuma satu hal yang saya perhatikan, bisnis mereka harus sehat. Kelakuan mereka juga harus sehat. Untuk memastikan itu, saya terus memantau agar bisnis dan kelakuan mereka tetap sehat. Prinsip saya, selama mereka bahagia, saya pasti bahagia. Anak-anak adalah produk zaman sekarang.
Ini berbeda dengan anak-anak pada zaman saya. Mereka punya cara berbisnis yang berbeda dengan zaman saya. Tugas saya hanya mengalirkan budaya dari orang tua yang dialirkan ke saya dan kemudian saya teruskan ke mereka. Saya dan anak-anak paham yang namanya bisnis ada untung dan rugi. Tidak bisa selalu untung, atau sebaliknya tidak selamanya merugi terus.
Banyak pengusaha yang menjual usahanya yang dalam kondisi rugi, saya tidak begitu. Justru kalau merugi tidak saya jual karena saya tak ingin menyengsarakan orang lain. Seperti Kemfood yang saya jual, itu perusahaan yang bagus. Banyak yang minta padahal saya tidak pernah menawarkan. Proses negosiasinya pun berlangsung sangat singkat.
Cuma, apakah itu artinya saya tidak mengalami problem dalam bisnis? Saya bilang: tidak ada bisnis yang tidak ada problem. Logika bisnis saya memang berbeda dari pengusaha lain. Saya percaya setiap aksi ada reaksi, ada sebab ada pula akibat. Mereka semua menuju dua arah, positif dan negatif.
Dari pengalaman saya, semua bisnis menghasilkan dua arah itu. Dan, kita tidak bisa hanya mengambil satu sisi yakni yang positif saja. Dua-duanya harus kita ambil. Hal terpenting menjadi pemimpin adalah tahu saat sudah cukup.
Tahu saat berhenti. Saya merasa, orang zaman sekarang bilang cukup itu susah. Orang yang kaya, dari bangsa atau suku apa pun, tidak ada yang merasa cukup. Mereka mau bertambah besar lagi. Saya merasa sudah cukup, dan ini membuat saya bahagia. (Andri Indradie)