Ekonom Kritik Kenaikan Cukai Rokok
Kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 27 persen terus menuai kritikan
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 27 persen terus menuai kritikan. Pemerintah juga dianggap terlalu ambisius mengingat target penerimaan cukai rokok tahun lalu yang sebesar Rp 116,28 triliun juga tidak tercapai.
Ekonom Aviliani yang mengkritisi keputusan pemerintah yang menaikkan tarif cukai untuk industri berbasis tembakau di tahun ini menjadi sebesar Rp 141,7 triliun. Menurut Aviliani, dengan mematok target cukai rokok setinggi itu, pemerintah kurang cerdas dalam mencari celah pendapatan untuk negara. Sehingga lagi-lagi hanya cukai yang diotak-atik. Padahal, masih banyak objek cukai yang masih bisa digali, misalnya cukai minuman keras.
"Cukai rokok dinaikkan dengan dalih paling gampang dan tidak elastis. Meski harga naik permintaan tidak turun. Itu tidak fair karena pengusaha juga butuh kepastian," tegasnya, Selasa (3/2/2015).
Seperti diketahui, pada tahun ini pemerintah menargetkan memungut cukai rokok sebesar Rp 141,7 triliun sesuai APBN Perubahan yang telah disepakati Badan Anggaran DPR RI dengan Pemerintah beberapa hari lalu. Pada APBN 2015 atau versi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono target cukai rokok ditetapkan sebesar Rp 120 triliun.
Dengan target pendapatan dari cukai rokok sebesar Rp 141,7 triliun pada tahun ini, industri harus membayar cukai 27 persen lebih besar dari realisasi tahun lalu. Kenaikan cukai sebesar itu merupakan kenaikan tarif cukai tertinggi sepanjang satu dekade ini.
Aviliani menambahkan, dengan kenaikan ini industri memastikan jumlah pabrik rokok bakal menyusut drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun sudah di depan mata.
Bahkan, keputusan kenaikan cukai itu juga bermasalah karena kebijakan cukai itu tidak melibatkan industri. Padahal setiap kebijakan yang diambil, pemerintah wajib melakukan dengar pendapat dengan atau public hearing dengan industri. "Mesti ada. Itu yang belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah," tegasnya.
Ia menyarankan, akan lebih baik pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak. Pembayar pajak utama dari target 50 juta orang baru tercapai 25 juta dikejar dengan dibarengi kebijakan seperti sunset policy.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengingatkan pemerintah soal dampak PHK atas kenaikan cukai. Pada 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, 10 ribu pekerja pabrik rokok kretek harus kehilangan pekerjaan.
Pengusaha menilai, sikap pemerintah yang tidak melibatkan industry dalam memutuskan kenaikan cukai ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 39/2009 tentang Cukai. Padahal, Gappri melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sudah memberikan pandangannya soal kenaikan cukai ini dan dampaknya.
Catatan Gappri, pada 2009, masih beroperasi sebanyak 4.900 pabrik rokok. Namun jumlah itu terus menyusut. Saat ini industri rokok yang masih aktif kurang lebih tinggal 100 perusahaan. Dengan kenaikan cukai sebesar itu, diperkirakan pabrik rokok bakal menyusut tinggal 60an perusahaan. “Kami berharap pemerintah mau mendengarkan kami," tandas dia.
Beban industri juga makin berat karena di saat yang sama mereka harus membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dipatok undang-undang sebesar 10 persen dari cukai yang dibayarkan industri.