Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan Dinilai Lecehkan Negara
Posisi negara harus lebih tinggi dari perusahaan tambang
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat pertambangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Lukman Malanuang, menilai renegosiasi kontrak karya pertambangan (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang saat ini dilakukan oleh pemerintah dengan perusahaan pertambangan justru melecehkan negara. Pasalnya, renegosiasi itu menyejajarkan posisi negara dengan perusahaan tambang.
"Posisi negara harus lebih tinggi dari perusahaan tambang, jadi KK dan PKP2B seharusnya langsung disesuaikan sesuai yang dikendaki oleh negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 huruf B UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Butabara (UU Minerba)," ujar Lukman, Jumat (6/3/2015).
Ditegaskan Lukman, saat ini renegosiasi harus dihentikan karena tidak sesuai dengan UU Minerba. UU ini hanya memberikan waktu selama 1 tahun pasca diberlakukannya pada 12 Januari 2009. Jadi, kata ia, setelah 12 Januari 2010 seharusnya renegosiasi yang dilakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan dan amanat undang-undang.
"Hasil renegosiasi tersebut juga patut dipertanyakan dari sisi legalitasnya karena sudah tidak berdasar hukum," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Energi Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, memertanyakan lambatnya pemerintah mengurus renegosiasi. "Sudah 6 tahun lebih UU Minerba berlaku, baru 1 perusahaan dari 107 perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang sudah tuntas renegosiasinya."
Pemerintah, kata ia, harus jelas apakah bisa menyelesaikan renegosiasi ini dengan waktu yang secepatnya atau sudah menyerah dan menyatakan gagal. "Tata kelola pertambangan saat ini harus dengan sistem izin yang lebih sesuai dengan Pasal 33 Konstitusi UUD 1945," tuturnya.