Sejak 2012, Tingkat Kesejahteraan Petani Makin Menurun
Tingkat kesejahteraan petani Indonesia berdasarkan Nilai Tukar Petani (NTP) kian menurun sejak tahun 2012
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingkat kesejahteraan petani Indonesia berdasarkan Nilai Tukar Petani (NTP) kian menurun sejak tahun 2012 sebesar 105,2 persen hingga 102 persen di tahun 2014.
Sebagaimana dipaparkan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, Kamis (26/3/2015), masalah pangan tak bisa dijauhkan dari kesejahteraan petani.
"Dari grass root ya ini kesejahteraan. Jadi bahaya kalau pengepul punya kekuatan lebih besar dari petani," jelas Huda.
Penurunan NTP tersebut menurut Huda menunjukkan daya beli yang menurun seiring dengan harga-harga yang semakin melambung tinggi. "Masalah ini timbul salah satu akibat disparitas harga yang tinggi antara harga di tingkat petani/ produsen dengan di tingkat konsumen. Pokok masalah ini ialah adanya pengepul/middle man," jelas Huda.
Dampak pengepul tersebut, kata dia, menyebabkan disisentif pada petani lalu produktivitas menurun. "Jadinya stok turun sehingga kita mengimpor," kata Huda.
Tersudutnya petani-petani kecil kian terlihat dari ketergantungan modal petani kepada pengepul. Sehingga pengepul membeli produk dari petani dengan harga yang murah. "Pinjam ke pengepul, karena jumlah kredit di produksi sektor pertanian hanya 5 persen dari total kredit produksi. Perbankan belum mampu untuk masuk ke sektor ini," imbuh Huda.
Selain itu, dalam acara yang sama, Peneliti INDEF, Mohammad Reza Hafiz mengatakan dalam kurun waktu 2002-2013, jumlah rumah tangga petani (RTP) berkurang signifikan. Jika dilihat dari luas lahan, RTP dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,1 Ha turun drastis sebesar 53 persen (2003-2013).
"Sedangkan yang punya lahan besar lebih dari 3 hektar meningkat sebesar 22,8 persen sejak 2003 hingga 2013. Artinya makin banyak dikuasai oleh perseorangan lahan pertanian," jelas Reza.
Terkait permasalahan ini, Huda mengatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu lebih berperan langsung dalam pengawasan ke pasar petani. Selain itu, KPPU perlu menggunakan metode ilmiah yang fleksibel dalam melihat perilaku kartel ataupun kolusi di pasar petani. "Kemudian, pemerintah melalui Bulog harus menjalankan fungsinya sebagai agen pemerintah dalam mengtasi hal ini," kata Huda.(Stefanno Reinard Sulaiman)